”Bravo tu as gagné, et moi j’ai tout perdu” (Selamat, Anda menang, dan saya kalah— Mireille Mathieu, penyanyi Perancis, ketika menyanyikan hit ABBA ”The Winner Takes It All”).
Tatkala menatap Matahari senja di pengujung tahun seperti sekarang ini, tebersit pertanyaan, sudah berapa kalikah Matahari terbit dan tenggelam hingga hari ini? Persisnya tidak ada yang tahu. Tapi dari apa yang telah disepakati oleh para astronom, kita mengetahui umur Matahari, 4,5 miliar tahun, dekat dengan umur Tata Surya yang diperkirakan—dari kajian terhadap meteorit—4,56 miliar tahun. (Situs stars.astro.illinois.edu)
Itu berarti—kalau Bumi sudah terbentuk sekitar masa itu (dan langsung berotasi dengan periode 24 jam)—lebih kurang sudah 4.500.000.000 x 365 atau 1.642.500.000.000 Matahari terbit dan tenggelam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melalui buku seperti What on Earth Happened?: The Complete Story of the Planet, Life and People from the Big Bang to the Present Day (2008), kita bisa mengikuti riwayat perkembangan tidak saja planet Bumi, tetapi juga kehidupan yang berkembang di atasnya dari sejak Bumi lahir.
Awal yang ganas
Tata Surya pada tahap dini, menurut buku di atas yang disusun oleh sejarawan Christopher Lloyd, disebut sebagai tempat yang amat ganas dan amat tidak cocok untuk kehidupan. Dari dapur Matahari yang menggelora dahsyat, memancar partikel bermuatan bak pisau belati yang setajam silet.
Partikel-partikel tersebut praktis bisa memangkas nyaris semua yang ada di hadapannya. ”Angin Matahari” ini masih terus berlangsung. Kalau ada kehidupan yang mampu menahan panas di masa itu, dipastikan tewas seketika kena hantaman Angin Matahari.
Saat itu memang belum ada tanah yang padat, tak ada air, dan pasti juga tidak ada kehidupan. Dalam suasana khaotik itulah—dalam satu skenario—terjadi tubrukan Bumi dengan planet yang kini tak ada lagi, yang dinamai Theia.
Tubrukan membuat material logam cair dari Theia menyatu dengan inti Bumi, yang kemudian membantu terbentuknya tameng magnet yang menghalau sebagian besar efek mematikan Angin Matahari dari permukaan Bumi. Tameng itu juga lalu mencegah Angin Matahari, membelah air menjadi atom-atom oksigen dan hidrogen. Dengan tameng itu pula kehidupan bertumbuh terlindungi.
”Homo ludens”
Dalam perkembangan selanjutnya di Bumi berkembang bentuk-bentuk kehidupan mikroskopik, sekitar 3,7 miliar tahun silam, seperti diriwayatkan oleh Prof Harold Urey dari Universitas Chicago.
Melalui proses yang dikenal sebagai endosimbiosis, kehidupan pun berkembang jadi semakin kompleks. Berikutnya, fosil demi fosil mengisahkan perkembangan menuju homo sapiens. Selain berkesadaran dan cerdas, yang membuat spesies ini lalu dinamai homo sapiens, mereka juga mengembangkan ciri lain, yakni homo ludens atau makhluk yang bermain.
Kini kita tahu bahwa ciri homo ludens homo sapiens juga mewujud dalam sepak bola selain berbagai jenis olahraga permainan lainnya. Dalam kaitan ini pula manusia sebagai homo ludens telah berupaya mengembangkan sains olahraga. Kini telah mendalam dipelajari bagaimana atlet bisa berlari lebih cepat, melompat lebih tinggi, dan melontarkan lembing atau martil lebih kuat. Ketiganya mencerminkan moto Olimpiade ”Citius, Altius, Fortius” (Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat) yang secara terus-menerus ditingkatkan.
Untuk sepak bola yang hari-hari ini menjadi topik wacana masyarakat Indonesia, sains pun sebenarnya juga harus menjadi bagian dari para pengasuh dan pemainnya. Kalau pemain sepak bola juga mencerminkan kemampuan atlet, maka ia sebenarnya adalah juga ilmuwan yang melakukan eksperimen terhadap dirinya di hadapan khalayak penonton, yang jumlahnya bisa jutaan atau bahkan miliaran.
Ada rekor yang tampaknya tak tersentuh. Namun, dengan kerja keras bertahun-tahun, disertai teknik baru, beberapa juga disertai dengan perlengkapan baru, pada saatnya akan membuktikan, tak ada prestasi yang bersifat ”tak terjangkau”. (”The Science of Sport”, Popular Science, 8/08)
Pemenang dan pecundang
Dalam hiruk-pikuk permainan yang menjadi ciri manusia ini, orang dapat mendalami berbagai aspeknya secara mendalam lewat Homo Ludens, karya bersejarah sejarawan Belanda, Johan Huizinga yang terbit 1938.
Ketika mengulas karya Huizinga, Hector Rodriguez (gamestudies.org) menyebutkan, sebagian memandang bermain sebagai ”hal santai” dan ”tidak serius”. Sementara sebagian lain melihat, dalam permainan juga ada yang sampai harus memiliki risiko yang bisa mengancam jiwa sehingga bermain juga hal yang serius.
Lebih jauh lagi, Huizinga juga berpandangan bahwa ada banyak permainan yang kemudian menjadi budaya.
Dalam konteks budaya inilah sebenarnya yang diidamkan adalah elegance atau keanggunan. Kita percaya, permainan, termasuk sepak bola, bisa mengangkat keanggunan ini ke tengah-tengah masyarakat. Salah satunya tentu jiwa sportif, fair hingga dapat menerima menang-kalah.
Ketika tim Garuda tersungkur di kandang lawan, suka tak suka, irama yang terngiang jelas bukan sejenis Triumphal March (Mars Kemenangan) seperti yang terdengar dalam opera ”Aida” ciptaan Verdi, tapi suara legowo ”Bravo Tu as Gagne”, seperti dikutip di atas.
Ya, dalam kultur permainan memang selalu ada pemenang dan ada pecundang. On a gagné, on a perdu…. Itu juga hakikat homo ludens. (Ninok Leksono)
Sumber: Kompas, Rabu, 29 Desember 2010 | 04:17 WIB