PEPATAH mengatakan; gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karya. Tetapi, pepatah apa yang pas untuk lembaga pendidikan? Perguruan tinggi itu akan disegani dan dihormati bila mampu menghasilkan lulusan yang bermutu dan sejauh lembaga itu mampu menemukan sesuatu yang baru dan universal (original research), yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Prediksi ini mungkin terlalu ideal. Sebetulnya, apa yang tertera dalam ketiga butir Tridharma Perguruan Tinggi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat adalah hal yang sangat lengkap untuk meneropong sejauh mana keberadaan sebuah perguruan tinggi di mata masyarakat dan dunia internasional.
Namun kenyataannya, yang terjadi bagi kalangan Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia pada umumnya, belum semulus dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dua aspek terakhir, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, sering masih menjumpai hambatan dalam penerapan. Kebanyakan PT di tanah air lebih memusatkan perhatiannya pada butir pendidikan. Sedangkan dua butir berikutnya acapkali masih tersendat-sendat jalannya, kalau tidak hendak dikatakan sama sekali tercecer. Dana. Kedengarannya semboyan klise. Namun pada kenyataannya, inilah yang dirasakan sebagai penghambat utama jalannya roda kegiatan, baik untuk penelitian maupun untuk pengabdian kepada masyarakat. Padahal, dua dharma ini dapat menjadi umpan balik bagi kemajuan pendidikan sebuah PT.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendidikan rekayasa sipil di Bandung yang kini telah berumur 75 tahun agaknya tidak terlalu tua untuk terlepas dari kendala dana, terutama bagi keperluan riset. ”Kendala dana, membuat rekayasa sipil di Bandung memasuki masa suram jika ditinjau dari segi original research yang dihasilkan,” ujar Prof Dr Ir MS Besari, Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam perayaan HUT menyambut 75 tahun Rekayasa Sipil di Bandung.
Menyangkut dana, telah dibuat suatu masa yang panjang, sejak tahun 1952-1990 kegiatan penelitian berkurang setelah nyaris terhenti sama sekali di masa Perang Dunia ke II dan Perang Kemerdekaan. Pada masa Nood Universiteit sampai tahun 1952 juga kegiatan penelitian dirasakan sangat kurang.
“Keberhasilan dan reputasi De Technische HoogeSchool Bandoeng (THB) di bidang riset sebenarnya telah diakui internasional. Namun keharuman itu telah memudar selama Perang Dunia II dan zaman Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Bahkan, De Hoogeschool van Technische Wetenschap, yang kemudian menjadi ITB, sampai kini masih kurang berhasil menangkap kembali nama baik itu,” katanya.
PENDIDIKAN rekayasa sipil di Bandung sebenarnya berawal tahun 1917. Dijelaskan, beberaggpa orang swasta Belanda yang tergabung dalam perkumpulan Koniklijk Instituut voor Hoger Technisch Onderwijs in Naderlandsch-Indie (KIVHTO-NI), berkeinginan memberi hadiah kepada Nederlandsch-Indie, sebagai kepedulian mereka. Perkumpulan yang diketuai dr JW Ijzerman, pada awal 1919, telah berhasil mengumpulkan dana sekitar tiga juta Gulden, sebagai modal awal pendirian Technische Hogeshool (Sekolah Tinggi Teknik-STT), serta rancangan kurikulum Pendidikan Teknik Sipil dan Teknik Kimia.
Di atas lahan seluas 30 hektar yang disediakan untuk berbagai keperluan, STT itu diresmikan tanggal 3 Juli 1920 dengan persamaan ijazah STT Delft di Belanda bertempat di Aula Timur, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sekolah swasta ini melaksanakan wisuda pertamanya tanggal 1 Juli 1924 dan tanggal 14 Oktober 1924 STT itu diambil oleh negara dengan membubarkan KIVHTO-NI.
Kini, berbagai pembangunan fasilitas terus dilaksanakan. Aula Timur dibangun sebagai laboratorium penelitian bahan di mana bahan-bahan milik Buger Openbare Werken (Pekerjaan Umum) yang ada di Welteverden yang merupakan laboratorium yang pada saat itu, dianggap sangat maju dipindahkan. Bagian tengah Aula Barat, dipergunakan sebagai ruang gambar. Bagian Utara Aula Barat merupakan ruang untuk perpustakaan, sedang bagian selatan merupakan ruang-ruang rapat para dosen dan profesor.
Pada Oktober 1920, dibangun kompleks jurusan Ilmu Alam, Laboratorium yang dibangun di kompleks itu diberi nama Laboratorium Ilmu Alam Boscha di mana didirikan juga fasilitas kursus untuk pembuatan instrumen dan peniup gelas.
Sejak tahun 1927 di dalam kompleks ini dibangun berbagai fasilitas berupa laboratorium yakni teaching laboratory untuk masalah aliran air, studio gambar, mekanika tanah, pembangunan lajur percobaan badan jalan, pusat laboratorium elektro, mekanika teknik, teknik penyehatan dan assainering.
TAHUN 1935, laboratorium pengetahuan dan penelitian bahan-bahan menjadi fasilitas penelitian bahan dan struktur yang termodern di belahan selatan bumi ini. Pada saat itu, laboratorium tersebut sudah memiliki antara lain: alat tekan tarik universal manual dengan kapasitas beban sampai lima ton, alat percobaan tarik berkapasitas 25 ton, 50 ton, 300 ton, alat tekan beton besar dengan kapasitas 450 ton, alat tekan untuk percobaan pipa-pipa riol. ”Sekarang ini mana ada alat-alat bertonase seperti itu,” ujar Besari.
Laboratorium bahan itu telah banyak digunakan Prof Ir PP Bijlaard dalam percobaan-percobaannya di bidang kekuatan sambungan keling dengan pembebanan dinamik (berulang), plastisitas setempat yang hasilnya ditulis dalam bentuk makalah. ”Hasil-hasil penelitian ini di kemudian hari, sesudah Perang Dunia II sangat mempengaruhi perkembangan ilmu teknik elasto-plastic, split rigidity theory dan lain-lainnya,” kata Besari.
Makalah itu sangat bersejarah, karena penulis telah menggunakan nama Institute Technology Bandoeng untuk pertama kalinya, kendati negara Republik Indonesia belum lahir. Itu kemudian dirujuk banyak peneliti di bidang plastisitas. Prof Bijlaard menulis lebih dari 100 makalah dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda dan merupakan original research yang diakui di seluruh dunia sebagai keunggulan rekayasa sipil di Bandung.
Keberhasilan penelitian yang mengesankan juga terjadi di bidang struktur jalan raya berkat adanya laboratorium Proefbaan (test course) yang berbentuk oval untuk meneliti kekuatan dan keawetan struktur jalan raya. Proefbaan itu selesai dibangun tahun 1926 dan dilengkapi tahun 1930. ”Sejak itu, dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, telah dapat menghasilkan karya tulis sebanyak 136 buah. Suatu prestasi yang sangat signifikan,” ungkap Besari.
Sesudah itu, kegiatan penelitian di THB bukan hanya karya tulis saja tetapi berbagai karya fisik di bidang irigasi, mekanika tanah dan lain-lain.
REKAYASA Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) telah mengalami berbagai rintangan sejarah yang telah mengantarnya pada bentuknya yang sekarang. Melalui berbagai bentuk perubahan nama bahkan perubahan status selaras dengan sejarah bangsa Indonesia sejak zaman Jepang, kemerdekaan, perang mempertahankan kedaulatan RI, ITB juga telah, melewat masa yang disebut Prof Besari sebagai The Dark Ages dalam segala bentuk dan eksistensinya.
Sejak diresmikan Presiden Soekarno 2 Maret 1959 sebagai institut yang mandiri hingga tahun 1990, amat sedikit penemuan-penemuan orisinil, baik oleh para profesor maupun mahasiswa ”Kali ini hal itu lebih banyak disebabkan minimnya dana yang tersedia bagi upaya-upaya mengembangkan penelitian,” aku Besari.
Sejak 1990 hingga kini kegiatan penelitian mulai digalakkan kembali meski dengan dana dan fasilitas terbatas. Fasilitas dan dana yang sangat terbatas seperti yang ada kini, agaknya sangat tidak memungkinkan bagi Rekayasa Sipil di ITB untuk melakukan percobaan-percobaan yang sifatnya original research. Kalaupun boleh, itu harus dilakukan bekerja sama dengan lembaga-lembaga riset di luar negeri yang biasanya memberikan harga pinjam peralatan dengan biaya yang sangat mahal.
Dengan keadaan seperti ini apakah rekayasa sipil ITB dapat menangkap kembali zaman keemasan yang lampau? Hal itu masih harus dibuktikan. Penggalakan penelitian oleh pemerintah sekaligus akan membuka kesempatan bagi ITB untuk, selain melaksanakan tugas nasional yang diembannya, juga memenuhi cita-cita pendirian Technische Hoogeshool te Bandoeng, 75 tahun yang lalu.
Karya rekayasa sipil mana yang dapat dikategorikan karya yang signifikan, tidak mudah ditentukan di era kemajuan yang pesat seperti ini. Dengan pesatnya perkembangan bidang-bidang lainnya apalagi di dunia komputer, rekayasa sipil akan mendapat beban yang semakin berat dan sulit, namun sangat menantang karena dengan demikian, dari pikiran yang eksplorasif, dapat dilihat luasnya bidang riset yang harus diarungi.
Dengan demikian, para teknokrat di ITB diharapkan dapat merebut kembali reputasinya yang hilang, sekaligus memenuhi maksud para pendiri.
Pembangunan habitat di bulan sebagai teknologi masa depan akan memerlukan bahan rekayasa. Pada saat ini diperkirakan bahan yang terbaik untuk pembangunan habitat itu adalah beton berteknologi tinggi pada hampa udara yang dipengaruhi gaya tarik bulan yang besarnya hanya 1/6 grafitasi. “Mampukah rekayasa sipil ITB memikirkan bulan?” tanya Prof Besari serius. (Ricky Pitoy Tafuama)
Sumber: KOMPAS, JUMAT, 23 JUNI 1995