TIDAK bisa disangkal, menjamurnya perangkat komunikasi bergerak semakin mendongkrak bisnis operator seluler. Namun, di lain pihak, ledakan pertumbuhan yang sangat cepat sulit diikuti dengan ketersediaan infrastruktur jaringan yang memadai.
Hal itu ditambah dengan luasnya wilayah dan kondisi ekonomi masyarakat pengguna yang masih memprihatinkan, alokasi frekuensi, dan tuntutan profit para penyelenggara jaringan.
Demikian tecermin dalam penelitian Ericsson ConsumerLab 2013. Pengguna ponsel di negeri ini sudah sangat menuntut adanya kualitas jaringan.
Penelitian itu memperlihatkan, kinerja jaringan operator telekomunikasi di Indonesia belum sesuai harapan konsumen. Akses internet yang lambat merupakan keluhan dominan. Ini bisa berakibat gagalnya pengunduhan konten, gagal membuka web, dan aplikasi menutup sendiri tanpa perintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melonjaknya pemakaian gadget pintar telah membuat internet makin menjadi bagian penting negeri ini. Data tahun 2012 memperlihatkan, dari total populasi penduduk Indonesia 248 juta orang, 55 juta (22 persen) merupakan pengguna internet dan 18 persen di antaranya pengguna jaringan sosial (Daily Info Graphic, 2012).
Apakah ini menjadi tanda bagi operator untuk mulai membangun jaringan seluler generasi keempat atau 4G?
Jawabnya bisa ya, tetapi bisa juga tidak. Bagaimanapun tuntutan aplikasi semakin berat membutuhkan jaringan yang semakin cepat pula. Jika melihat hasil penelitian di atas, tampaknya unsur pelayanan menjadi sangat penting, yaitu penyediaan jaringan yang andal, mulai dari BTS (base transceiver station) sampai ke jaringan backbone internasional.
Apalagi melihat kenyataan keterbatasan penyediaan pita frekuensi yang cukup lebar untuk implementasi 4G, lebih lebar dibandingkan pita untuk 3G yang ada saat ini. Pemenuhan kebutuhan ideal pita frekuensi untuk 4G sebesar 20 MHz sampai saat ini belum ada operator yang memiliki.
Yang paling mungkin untuk implementasi 4G pada pita 2.300 MHz yang semula untuk layanan WiMAX sekarang sudah dinyatakan boleh menggunakan teknologi netral. Namun, pita ini tidak untuk komunikasi dasar seperti suara (voice) dan SMS.
”Refarming”
Skenario untuk mewujudkan layanan 4G pada awalnya dengan refarming, memanfaatkan frekuensi yang sudah digunakan saat ini. Namun, upaya menerapkan pada pita frekuensi yang dikuasai operator saat ini, yaitu pada pita 850 MHz, 900 MHz, 1.800 MHz, maupun 2.100 MHz, tidak mudah karena harus menghentikan layanan 3G atau 2G yang menggunakan pita itu saat ini.
Perkembangan yang menarik adalah dengan akuisisi Axis oleh XL. Sesuai aturan, alokasi frekuensi yang dimiliki Axis harus dikembalikan untuk dilelang. Pada pita 2.100 MHz, Axis menggunakan pita selebar 5 MHz, yaitu pasangan frekuensi 1.930-1.935 MHz dan 2.120-2.125 MHz.
Yang menarik, pada pita 1.800 MHz, Axis memiliki lebar pita 15 MHz, yaitu pada rentang frekuensi 1.730-1.745 MHz (uplink) dengan pasangan 1.825-1.840 MHz (downlink). Jika pihak regulator memberikan izin untuk pengembangan teknologi netral pada pita ini, tentu sangat menarik bagi investor untuk memperebutkan.
Bagaimana dengan pita 900 MHz? Tampaknya hanya operator Indosat yang memiliki peluang untuk mengembangkan lebih jauh, termasuk untuk penerapan 4G. Ditambah frekuensi yang dimiliki StarOne seluruhnya Indosat memiliki 13 MHz pada pita 900 MHz.
”Tentu kami akan mengimplementasikan teknologi 4G pada pita 900 MHz, dengan teknologi LTE Advanced akan lebih efisien,” kata Yune Marketatmo, Group Head Technology Planning Infrastructure Indosat.
Seperti diketahui, operator terbesar kedua di Indonesia ini baru saja memodernisasi jaringan 900 MHz di Bali.
Indosat memandang pita 900 MHz sebagai fokus untuk mengembangkan layanan data. Selain ketersediaan lebar pita yang cukup, karakter frekuensi 900 MHz lebih baik dibandingkan pita 1.800 MHz atau yang lebih tinggi. Jangkauan perambatan gelombang lebih jauh sehingga memerlukan BTS lebih sedikit.
Sifat gelombangnya mirip dengan frekuensi 700 MHz yang digadang-gadang menjadi pita khusus 4G. Namun, pita 700 MHz saat ini masih digunakan untuk layanan televisi analog dan baru bisa dimanfaatkan setelah siaran televisi bermigrasi ke digital paling cepat pada 2017. Dengan demikian, akan ada sisa pita yang cukup digunakan layanan komunikasi 4G.
Modernisasi jaringan Indosat dilakukan dengan menempatkan bagian radio transceiver di atas menara menempel dengan antena sehingga kehilangan daya transmisi pada kabel bisa diminimalkan. Ini juga lebih hemat energi karena tidak lagi dibutuhkan ruang pendingin untuk meredam panas pada perangkat transceiver yang biasa ditempatkan di bawah dekat menara.
Pulau cerdas
Upaya menjadikan Bali sebagai pulau cerdas tampaknya beralasan. Selain sebagai kawasan wisata terkenal, kawasan ini juga menjadi favorit untuk berbagai pertemuan, baik bersifat nasional maupun internasional, seperti diungkapkan Asosiasi Konvensi dan Kongres Internasional (ICCA) pada akhir November lalu.
Sekalipun bukan merupakan daerah yang pertama jaringan Indosat dimodernisasi, Bali diselesaikan pertama mengingat tuntutan turis dunia yang membutuhkan data lebih baik. Program sejak 2012 dilakukan di Padang, Bukittinggi, menyusul Jabotabek serta ke berbagai kota besar di Jawa dan Bali. Berikutnya baru wilayah di luar Jawa.
Keyakinan untuk mengembangkan layanan internet cepat pada frekuensi 900 MHz terutama didukung vendor gadget.
Perangkat yang mendukung teknologi ini antara lain Samsung, Sony, Nokia, BlackBerry, HTC, Huawei, LG, ZTE, Polytron, Speed Up dan juga dongle dan mobile Wi-Fi dari Huawei.
Pengembangan Bali sebagai pulau cerdas memang menarik karena kawasan ini tidak begitu luas, alih-alih sebagai rintisan mengembangkan jaringan berkecepatan tinggi. Kendala yang masih dirasakan pengembang jaringan adalah infrastruktur jalan yang masih menyulitkan instalasi perangkat BTS.
Kecepatan jaringan bukan hanya semata mengandalkan BTS, melainkan juga jaringan backhaul dari BTS ke pengumpul di mana paling ideal menggunakan kabel serat optik. Hal ini menambah kesulitan pembangunan jika infrastruktur jalan tidak mendukung.
Hambatan itu memengaruhi keandalan pelayanan. Bukan semata-mata memasang BTS dengan teknologi 4G, lalu persoalan kecepatan beres. Implementasi 4G tidak sekadar penanaman citra. Tanpa didukung jaringan backhaul dan jaringan backbone internasional yang memadai, hal itu akan menyebabkan terjadinya bottleneck yang mengganggu kecepatan.
Oleh: AW Subarkah
Sumber: Kompas, 26 Desember 2013