Mereka yang Termuda di Kampus Teknik Tertua
Wawan Dhewanto (44) menjadi profesor termuda di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB). Sementara Musa Izzanardi (18) menjadi wisudawan termuda di pendidikan teknik tertua di Indonesia tersebut.
SBM ITB—-Wawan Dhewanto, profesor termuda di Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Belum genap berusia 45 tahun, Wawan Dhewanto meraih gelar profesor bidang kewirausahaan dan startup. Ia menjadi guru besar termuda di Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB). Sementara Musa Izzanardi Wijanarko yang berumur 18 tahun lulus sarjana sebagai wisudawan termuda di kampus pendidikan tinggi teknik tertua di Indonesia tersebut.
Karier Wawan di ITB dimulai pada 2004 saat menjadi dosen muda dan bergabung dengan Kelompok Keahlian Kewirausahaan dan Manajemen Teknologi SBM. Sejumlah jabatan penting pernah diembannya selama 17 tahun mengabdi sebagai pendidik.
Wawan dipercaya menjadi Ketua Program Studi Kewirausahaan pada 2013-2017. Ia juga menjabat Kepala Divisi Pengembangan Kewirausahaan Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB pada 2012-2015. Sejak 2019, jabatan Sekretaris Jenderal Senat Akademik menambah jejak pengabdiannya.
Lulusan doktor dari Monash University, Australia, itu tak pernah menyangka memperoleh gelar profesor di usia saat ini. ”Enggak pernah terbayang sebenarnya. Satu sisi senang diapresiasi, tetapi ada tanggung jawab yang harus dijaga. Keilmuan serta kontribusi bagi mahasiswa dan masyarakat mesti lebih banyak,” ujarnya di Bandung, Jawa Barat, Selasa (3/8/2021).
Kewirausahaan telah menyita perhatiannya sejak lama. Menurut dia, wirausaha tak sekadar dapat menambah pendapatan nasional, tetapi turut mengentaskan pengangguran dan rakyat miskin.
Dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa, Indonesia sangat berpotensi bagi dunia wirausaha. Sayangnya, potensi itu justru banyak dimanfaatkan menjadi pasar dari produk impor. Kondisi ini menjadi tantangan produk lokal untuk merebut pasar dalam negeri.
Wawan berharap, kelak mahasiswanya bisa menghadirkan solusi untuk mengurai persoalan itu. Berwirausaha dengan mengembangkan produk sendiri dan bersaing dengan produk luar negeri.
”Tidak semuanya memang bisa berwirausaha, tetapi jangan semuanya juga jadi karyawan. Perlu ada yang berwirausaha dan menyediakan produk bagi pasar nasional maupun pasar internasional,” ujarnya.
Bagi Wawan, menjadi dosen tidak sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter mahasiswa dengan menanamkan idealisme dan nasionalisme.
”Bagaimana agar berkontribusi untuk negara. Mendidik, mengontekstualkan penelitian, dan mengabdikan ilmu untuk masyarakat,” ucapnya.
Minat Wawan pada kewirausahaan tidak hanya disalurkan lewat ruang-ruang formal di kampus. Ia juga aktif dalam beragam program pengabdian masyarakat, seperti pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), kewirausahaan pesantren dan desa, serta menjadi penulis pendamping berbagai buku tentang wirausaha.
Di Jawa Barat, misalnya, pria kelahiran Surabaya, 19 Oktober 1976, itu aktif menjadi narasumber dalam program One Pesantren One Product. Program ini diikuti ribuan pesantren untuk mengembangkan kewirausahaan di berbagai bidang, seperti pertanian, perikanan, dan konfeksi.
Nikmati proses
Di kalangan mahasiswa, Musa Izzanardi Wijanarko menjadi lulusan sarjana termuda ITB pada wisuda pertengahan Juli lalu. Ia menyelesaikan kuliah di Program Studi Matematika Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam pada usia 18 tahun 8 bulan.
Sebelum memulai kuliah di ITB pada 2017, Izzan, sapaan akrabnya, merupakan siswa home schooling. Ia belum pernah mengikuti sekolah formal.
Adaptasi belajar di kelas saat kuliah yang menjadi pengalaman pertamanya terasa aneh. Namun, ia menikmati prosesnya. Bertemu orang-orang baru dengan gaya pikir dan ketertarikan yang unik.
”Memang orang di ITB pada aneh-aneh, tetapi tidak apa-apa karena saya juga orang aneh,” ujarnya berkelakar.
Izzan mewarnai perjalanannya di bangku kuliah dengan aktif berorganisasi. Langkah ini diambil berkat pesan dari teman sekelas dan kakak kelasnya yang menyarankan agar tidak lupa bersosialisasi.
Ia pun mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Genshiken ITB. UKM berbasis kekaryaan tersebut bergerak dalam bidang industri kreatif dan studi budaya visual modern. Cakupannya luas, di antaranya studi literasi, pengembangan gim, apresiasi dan komposisi musik, dan pemindai.
Di UKM itu, Izzan pernah menjadi Ketua Bidang Medkominfo pada 2019-2020 dan Ketua Divisi Logistik Genshiken Staff Training pada 2019. Ia membagi waktu agar kegiatan kuliah dan organisasi berjalan seimbang. Caranya dengan memahami sebaik mungkin materi perkuliahan di kelas.
Jadi, ia tak perlu banyak belajar lagi di luar kelas, kecuali saat mengerjakan tugas. Dengan demikian, waktu setelahnya ia gunakan untuk kegiatan berorganisasi dan nonakademik lainnya.
Pandemi Covid-19 nyaris merampas semangat Izzan di tahun terakhirnya kuliah. Ia sempat tidak punya motivasi untuk masuk kelas dan mengerjakan tugas akhir.
”Biasanya saya bermain gim untuk procrastinate (menunda) dari kuliah dan skripsi. Untungnya, dosen masih aman sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi. Kuliah selesai walaupun sempat terseok-seok. Sangat bersyukur akhirnya berhasil menjadi wisudawan Juli ini,” ujarnya.
Sama dengan kebanyakan mahasiswa lainnya, Izzan pun kerap kehilangan motivasi sesudah ujian tengah semester. Hal itu membuatnya jarang belajar dan tidak fokus. Imbasnya, nilai ujian akhir semester turun.
”Kuliah memang berat bagi mereka yang tidak bisa mengatur waktu dan diri dengan baik, termasuk saya,” katanya.
Akan tetapi, tekad menyelesaikan kuliah dalam empat tahun membuatnya dapat melalui pasang surut bangku kuliah. Terlebih, keluarga dan teman-temannya selalu memotivasi untuk segera menyelesaikan kuliah demi menyiapkan bekal masa depan.
Termuda di kampus tertua jadi prestasi luar biasa. Kini, giliran mereka mengamalkan semuanya untuk masyarakat yang lebih sejahtera.
Oleh TATANG MULYANA SINAGA
Editor: CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Sumber: Kompas, 3 Agustus 2021