Ketika pembangunan berlangsung tahun 1960-an, dunia dikejutkan oleh udara buram berkabut di Eropa, penyakit Minamata di Jepang, dan sunyinya burung-burung berkicauan di musim semi Amerika Serikat. Maka, dunia pun cemas akan kerusakan lingkungan. Karena itu, diselenggarakanlah Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia, Juni 1972, di Stockholm, Swedia.
Konferensi ini menyepakati: Pertama, ”Deklarasi Stockholm” yang memuat prinsip-prinsip mengelola lingkungan hidup untuk masa depan, khususnya melalui hukum lingkungan internasional. Kedua, ”Rencana Aksi” mencakup perencanaan permukiman, pengelolaan sumber daya alam, pengendalian pencemaran, pendidikan, dan informasi tentang lingkungan hidup. Ketiga, segi kelembagaan, membentuk Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Program/UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya.
Sepanjang 1972-1982 lingkungan hidup diperlakukan sebagai sektor tersendiri tanpa menyentuh pembangunan ekonomi. Karena itu, dalam Konferensi UNEP 1982 disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development/WCED) dipimpin Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem Brundtland. Sepanjang 1984-1987 ia mengkaji kaitan lingkungan dengan pembangunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Komisi Brundtland mengusulkan perubahan pola dari ”pembangunan konvensional” melalui satu jalur ekonomi saja ke ”pembangunan berkelanjutan” melalui tiga jalur: ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dilaksanakan serentak.
KTT Bumi
Sepuluh tahun kemudian diselenggarakan Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (World Conference on Environment and Development, WCED) di Rio de Janeiro, Brasil, 3-14 Juni 1992. Konferensi dihadiri para kepala pemerintahan negara-negara sedunia membahas pola ini.
Konferensi Tingkat Tinggi—lebih dikenal sebagai KTT Bumi—ini menghasilkan dokumen Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, memperteguh komitmen Deklarasi Stockholm 1972. Tekanannya adalah keterkaitan lingkungan dengan pembangunan.
Dokumen kedua memuat ”Agenda 21” tentang program pelaksanaan dengan perincian pembiayaannya. Program ini melibatkan ”kelompok utama”, seperti para legislator anggota parlemen, pemerintahan lokal, pengusaha, ilmuwan, perempuan, pemuda, dan lembaga swadaya. Secara khusus disorot tentang keuangan, teknologi, dan kelembagaan.
Dokumen ketiga adalah ”Prinsip-prinsip Kehutanan” memuat pola ”Pengelolaan Hutan secara Berkelanjutan”. Dokumen keempat adalah ”Konvensi Perubahan Iklim” dan dokumen kelima adalah ”Konvensi Keanekaan Hayati”.
KTT Bumi 1992 diliputi semangat kerja sama global tinggi yang didukung iklim politik global dengan meredanya ketegangan ”perang dingin” antara Blok Komunis dan Blok Kapitalis (1992-2000). Dinding pemisah Berlin Timur dengan Berlin Barat runtuh. Ada harapan ”laba perdamaian dunia” yang terhimpun kini bisa dimanfaatkan untuk membiayai Agenda 21 Pembangunan Berkelanjutan.
Tahun 2000 Sekjen PBB Kofi Annan mengangkat isu kemiskinan dalam Target Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals, 2000), melengkapi pembangunan berkelanjutan.
Tiba-tiba meletuslah ”Perang melawan Terorisme” sebagai akibat pegeboman New York, 11 September 2001. Hancur suasana optimistis dan hilang pula ”laba perdamaian”. Tahun-tahun menjelang akhir 2000 juga ditandai krisis ekonomi global. Indonesia adalah salah satu korban. Pemerintahan Orde Baru pun digantikan Orde Reformasi sejak 1998. Kekuatan ekonomi Jepang surut, sedangkan kekuatan ekonomi Republik Rakyat China (RRC) bangkit. Peta kekuatan ekonomi pun bergeser dari Barat ke Timur.
Dunia berubah
Dalam suasana perubahan politik dan ekonomi global seperti ini berlangsunglah World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan, Juni 2002. Kesepakatan Konferensi penting adalah Deklarasi Johannesburg yang memuat visi masa depan umat manusia dengan penjabaran lebih luas dari segi-segi pembangunan berkelanjutan Rio 1992.
Juga disepakati saran keuangan hasil Pertemuan Menteri-Menteri Keuangan di Monterrey (2001) dan saran perdagangan hasil Pertemuan Menteri-Menteri Perdagangan di Doha (2001). Untuk pertama kali menteri non-lingkungan aktif dalam konferensi lingkungan.
Kesepakatan kedua adalah Johannesburg Plan of Implementation yang menambah Agenda 21 dengan isu HIV/AIDS, dimensi sosial pembangunan berkelanjutan, kesetaraan jender, air, energi, kesehatan, pertanian, dan keanekaan hayati.
Dunia kini sedang menyiapkan UN Conference on Sustainable Development, Rio+20, di Rio de Janeiro, Brasil, Juni 2012. Dokumen utamanya adalah ”The Future We Want”, mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan, ditopang keuangan, sains-teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia. Dokumen kedua menjabarkan kelembagaan pelaksanaannya dalam lingkungan PBB.
Tampak trend perkembangan dari sekadar isu pencemaran tahun 1972, Konferensi Rio+20 kini berkembang lebih luas. Sekjen PBB merencanakan kerangka Sustainable Development Goals (SDG) memuat upaya MDG, perubahan iklim, keberlanjutan keanekaan hayati, sekuritas pangan, energi, dan lain tantangan global penting bagi keberlanjutan kehidupan manusia masa datang.
Untuk inilah Sekjen PBB meminta Presiden Republik Indonesia, Presiden Liberia, dan Perdana Menteri Inggris menjadi Co-Chairs memimpin High Level Panel on SDG, memberi masukan tentang ”peta jalan” dari Rio+20 (2012) ke MDG-Summit (2013) dan ke masa depan melalui pola pembangunan berkelanjutan dengan ukuran keberhasilan ”produk domestik bruto dimensi ekonomi plus sosial plus lingkungan”.
”Peta jalan” dunia ini juga penting bagi Indonesia menanggapi keberlanjutannya ke-100 pada 2045. Maka sangatlah urgen melengkapi pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial dan lingkungan menuju Indonesia 2045.
Emil Salim Menteri Lingkungan Hidup 1978-1993
Sumber: Kompas, 5 Juni 2012