Perairan laut di Indonesia bisa dikatakan tersubur di dunia. Salah satu alasannya adalah arus utama Samudra Atlantik dan Pasifik bertemu di perairan Indonesia. Selain itu, posisi geografis di khatulistiwa dengan angin muson juga menyebabkan laut sebagai sumber nafkah berlimpah bagi nelayan.
Peserta diskusi panel yang digelar harian Kompas bersama Oxfam, Senin (25/9), di Kantor Redaksi Kompas di Jakarta mengakui, kondisi tersebut sampai saat ini tetap terjadi. Diskusi bertajuk ”Menelisik Ketimpangan dalam Rantai Nilai Pangan Laut” menghadirkan narasumber Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar, Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria, Sekjen Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia Masnuah, Guru Besar Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Etty Riani, serta Ketua Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana.
Sekitar 90 persen nelayan Indonesia adalah nelayan kecil dengan kapal di bawah 10 gros ton (GT). Jumlah nelayan kini sekitar 800.000 nelayan sesuai sensus 2013. Angka itu separuh dari tahun 2003, yaitu 1,6 juta nelayan. Dengan wilayah tangkap terbatas, 0-12 mil, persaingan amat tinggi terjadi di wilayah ini. Nelayan kecil secara ekonomi bergantung kepada punggawa atau juragan, yaitu pemilik modal besar. Sebagian dari nelayan kecil berada di dalam struktur relasi patron-klien: pemilik modal atau juragan dengan nelayan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai gambaran, dalam pola relasi itu, pemilik modal menanggung risiko terbesar: jika nelayan ditangkap karena melanggar, pemilik modal memberi jaminan untuk mereka agar dibebaskan. Pemodal memberi pinjaman untuk keluarga nelayan: modal melaut, biaya untuk anak sakit, uang sekolah, dan sebagainya. Karena faktor risiko yang besar, muncul praktik penggunaan formalin, bom ikan, dan racun ikan demi efisiensi.
Padahal, bagi nelayan kecil, kesehatan ekosistem laut menjadi faktor penting. Indonesia kaya akan terumbu karang yang merupakan tempat pemijahan, membesarkan, dan tempat ikan mencari makan. Sekitar 18 persen terumbu karang di dunia berada di wilayah Indonesia. Jika ekosistem rusak, terumbu karang terancam rusak dan jumlah ikan pun turun drastis. Laju penurunan ekosistem juga dipercepat oleh aktivitas di kawasan pesisir: perluasan permukiman, pertambangan, dan berbagai peruntukan lahan pesisir lainnya.
Nelayan tradisional telah memahami perlunya pelestarian dari cara-cara penangkapan ikan secara tradisional yang ramah lingkungan, tanpa menggunakan teknologi. Secara turun temurun nelayan menangkap ikan dengan cara tersebut sampai-sampai ada sebutan ”nelayan anti-teknologi” bagi nelayan tradisional di pantai utara Pulau Jawa.
Menjadi nelayan tradisional adalah profesi turun menurun tanpa menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang menguntungkan. Masyarakat nelayan bekerja dalam diam, tanpa mengeluarkan suara yang berarti. Baru pada 2007 mereka membentuk organisasi untuk memperkuat diri. Dalam struktur ekonomi di sektor perikanan tangkap, keuntungan terbesar ada di tangan pengepul dan bakul bukan ke tangan nelayan yang turun ke laut.
Posisi ekonomi nelayan selalu berada di garis marjinal. Persoalan utama adalah ketidakpastian produksi mulai dari melaut, mengolah hasil tangkapan-karena ketiadaan alat produksi memadai, seperti fasilitas penyimpanan dingin (cold storage). Kondisi alam dengan cuaca yang kerap ganas adalah tantangan pertama yang harus mereka hadapi. Karena itu, kasus nelayan kecil yang terdapat di mana-mana adalah persoalan utang. Secara nasional, nelayan jadi penyumbang kemiskinan di Indonesia yang terbesar, 25 persen.
Data BPS (2015) menyebutkan, terdapat 10.639 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekitar 524 kabupaten/kota se-Indonesia. Dari desa pesisir tersebut, jumlah penduduk miskin di pesisir mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Sementara pada September 2017, BPS menyebutkan, dari 28,59 juta jiwa penduduk miskin, sebesar 17,94 juta jiwa tinggal di perdesaan.
Sebanyak 92 persen tangkapan nelayan tradisional adalah untuk konsumsi domestik. Kondisi kampung nelayan yang amis dan kumuh menjadi titik lemah untuk ekspor.
Melihat fakta tersebut, negara dinilai absen dalam memastikan hak-hak dasar dan program peningkatan kesejahteraan nelayan tepat sasaran. Program bagi pemerintah untuk nelayan lebih sering jatuh ke tangan tengkulak yang memanfaatkan ketidakhadiran negara. Seperti diutarakan salah satu narasumber, di perkampungan nelayan berlaku prinsip ”siapa kuat menang”.
Kondisi ini seiring dengan terjadinya marjinalisasi sosial dan politik oleh kekuasaan sehingga pelayanan hak dasar: pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan-akses mendapatkan fasilitas pendanaan.
Tak ada pengakuan
Puncak marjinalisasi dialami oleh kaum perempuan. Dalam hukum negeri ini, sosok perempuan nelayan tidak dianggap ada. Mereka hanya dicatat berperan sebagai ”membantu” nelayan. Sosok nelayan yang muncul dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 adalah sosok ”laki laki”—pada pasal 1 ayat 2. Konsekuensi logisnya: tidak tersedia data apa pun terkait perempuan nelayan.
Karena tidak ada pengakuan, implikasinya adalah tidak ada perlindungan terhadap perempuan nelayan. Mereka akhirnya bersama lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah membentuk wadah untuk berbagi ilmu pengetahuan, pengalaman, dan cerita khas perempuan nelayan. Mereka menguatkan kembali nilai-nilai kesadaran perempuan akan budaya dan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam. Meningkatkan kesadaran kritis dan membangun mekanisme dialog kelompok perempuan untuk menciptakan ruang advokasi dengan pihak-pihak eksternal. Memastikan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, konsultasi, dan persetujuan, serta berusaha memastikan tidak ada lagi campur tangan militer/muspida di wilayah.
Lalu sebenarnya mereka siapa? Mereka perempuan yang bekerja 17 jam di nelayan tangkap dan 16 jam di sektor nelayan budidaya. Mereka menanggung beban ketika suami melaut. Namun, sebagian perempuan nelayan pun melaut. Ruang untuk dapat menyatakan aspirasi dalam penentuan kebijakan pun amat minim. Menjadi perempuan nelayan ibaratnya mengalami marjinalisasi secara berlapis setelah lapis pertama adalah atribut nelayan.
Marjinalisasi nelayan dan nelayan perempuan akan terus ada jika pemerintah mengabaikan mandat dari UU No 18/2012 tentang Pangan. Dalam mandat untuk melakukan pemenuhan hak atas pangan, pemerintah pusat dan daerah wajib melindungi dan memberdayakan nelayan dan pembudidaya ikan. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan penyuluhan dan pendampingan, menghilangkan kebijakan yang menurunkan daya saing, dan mengalokasikan anggaran. Melihat apa yang terjadi di lapangan, rasanya mandat tersebut masih minim pelaksanaannya.
Kotak pandora dunia perikanan tangkap telah dibuka. Semoga janji pemerintah terwujud sehingga tak perlu ada lagi yang termarjinalkan dari ruang hidup laut dan pesisir.(ISW/AIK/LKT/SON)
Sumber:Kompas, 2 Januari 2018