Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengikuti pemberitaan mengenai dokumen diplomatik Amerika Serikat yang bocor lewat situs WikiLeaks. Kasus ini menjadi pembelajaran agar informasi jangan bocor. Kasus ini juga menjadi pelajaran tentang etika diplomat untuk menghindari penekanan dan penyogokan.
Demikian disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Politik Luar Negeri Teuku Faizasyah, Minggu (12/12) di Jakarta. Faizasyah menambahkan, pemberitaan tersebut tidak menjadikan Presiden Yudhoyono reaktif.
”Kasus bocornya dokumen itu menjadi pembelajaran bagi semua negara untuk memastikan informasi rahasia harus dipastikan tidak bocor dan mengakibatkan komplikasi hubungan antarnegara,” ujar Faizasyah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut dia, misi diplomasi dalam etika hubungan antarnegara, di mana pun itu, salah satunya bertugas mengumpulkan data dan informasi mengenai suatu negara secara komprehensif. ”Namun, jangan sampai pengumpulan data dan informasi itu melanggar hukum seperti lewat penyuapan atau cara-cara lain yang melanggar etika. Konsekuensi dari pelanggaran hukum dan etika adalah diplomat itu bisa dipulangkan,” ujarnya.
Faizasyah tidak mau berkomentar saat ditanya tentang gaya diplomat AS, yang menggambarkan ”gaya Rambo”.
”Dokumen diplomatik yang bocor dalam situs WikiLeaks tersebut setidaknya menunjukkan bahwa ada dua masalah muncul, yaitu soal dokumen bocor itu sendiri dan substansi dari data yang dibocorkan itu,” kata Faizasyah.
Pemerintah mengkaji
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, pemerintah terus berupaya mengamati, mempelajari, dan mengkaji dampak kebocoran lebih dari 250.000 dokumen kawat rahasia Pemerintah AS, terutama tentang dokumen bocor yang terkait atau berhubungan langsung dengan kepentingan Indonesia.
Kepada Marty ditanyakan tanggapan soal informasi yang dibocorkan WikiLeaks, di mana terlihat arogansi Pemerintah AS dalam berdiplomasi.
Marty mengaku enggan mengomentari hal itu. ”Terlalu menyimplifikasikan masalah juga ya, kalau mau mengatakan seperti itulah cara kerja diplomasi mereka. Salah satu hal yang bisa menjadi pengetahuan dari kasus ini adalah memang kerja diplomasi (seorang duta besar) seperti itu. Tidak hanya ikut konferensi atau pertemuan, tetapi juga mengumpulkan informasi untuk negaranya,” ujar Marty.
Namun, Marty menilai selama ini tidak ada yang salah dalam hubungan diplomasi RI-AS. ”Dari yang kami rasakan sehari-hari, (dalam berdiplomasi dengan AS) terdapat nuansa kemitraan, kesetaraan, sikap saling menghormati dan menghargai. Semua itu tecermin di semua bidang kerja sama kita dengan AS. Terakhir, hal itu juga tampak ketika Presiden Barack Obama mengunjungi Indonesia,” kata Marty.
Refleksi kebijakan AS
Dari berbagai dokumen yang bocor itu terlihat bahwa para diplomat hingga sejumlah korporasi AS di sejumlah negara melakukan berbagai tekanan dan ancaman untuk melanggengkan kepentingannya sendiri.
Pengamat politik Bara Hasibuan mengatakan, sejauh ini belum ada informasi yang spektakuler dalam isi kawat diplomatik rahasia AS yang sudah bocor melalui WikiLeaks. ”Tak ada yang tak terduga, semua konsisten dengan yang kita tahu soal kebijakan luar negeri AS selama ini. Itu menjadi semacam konfirmasi saja dari sesuatu yang sudah kita tahu selama ini,” tutur Bara saat dihubungi Kompas di Jakarta, Sabtu lalu.
Bara mengatakan, hal itu merujuk pada refleksi kebijakan luar negeri AS, yang seenaknya, bernuansa menekan, bahkan arogan. Hal ini terlihat dalam banyak kawat diplomat AS yang bocor.
James M Lindsay, Wakil Presiden Council on Foreign Relations (CFR/www.cfr.org), menulis, ”Masalah WikiLeaks ini bukan sebuah kegagalan intelijen, tetapi (lebih membawa efek) kejengahan diplomatik.”
Kejengahan diplomatik tersebut diakui akan membawa perubahan dalam berbagai aspek hubungan luar negeri AS. Para diplomat negara-negara di dunia, termasuk para sekutu terdekat AS, diduga akan lebih berhati-hati dan tak berterus terang secara polos saat bertemu rekannya dari AS. Sumber-sumber intelijen dan para informan pun akan menarik diri dan lebih sulit dimintai informasi.
Pengamat intelijen dari Universitas Indonesia Andi Widjajanto berpendapat, ada motif politik tertentu di balik kehebohan WikiLeaks ini. Bahkan, ada kemungkinan, pihak-pihak di dalam negeri AS sendiri yang sengaja membocorkan kawat-kawat tersebut. ”Saya menduga ada pertarungan relasi kekuasaan di AS di balik pembocoran tersebut,” ungkap Andi.
Andi juga mengingatkan, pemerintah saat ini tak usah panik menghadapi bocornya kawat diplomatik tentang Indonesia. Andi mengingatkan pemerintah tak usah berusaha memblokir arus informasi saat bocoran itu nanti keluar karena hanya akan sia-sia belaka.
”Diterima saja, kemudian disikapi secara cerdas. Pemerintah Indonesia justru bisa belajar menerapkan prinsip open government,” tandasnya.
Pengamat perminyakan Dr Kurtubi menegaskan, kasus ini juga memperingatkan kita untuk waspada dalam mengantisipasi trik-trik AS ke depan, terkait dengan tekanan-tekanan yang dilakukan di banyak negara. (DWA/HAR/MON/DHF)
Sumber: Kompas, 13 Desember 2010