Penelitian terbaru mengungkap Patahan Palukoro, Sulawesi Tengah, yang menyimpan potensi gempa di daratan hingga magnitudo 7 sangat aktif dan diperkirakan mendekati siklusnya. Sebagian segmen patahan itu diidentifikasi berada di Kota Palu sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan kerusakan masif.
Aktivitas patahan Palukoro disampaikan ahli gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mudrik R Daryono dan Danny Hilman, pada diskusi di Dewan Energi Nasional, Jakarta, Kamis (11/8). Diskusi diadakan Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Perkumpulan Skala, Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana, dan Kementerian Koordinator Bidang Maritim, serta sejumlah lembaga dalam rangka persiapan ekspedisi Palukoro.
”Dari penggalian paleoseismik di kawasan ini ditemukan indikasi jeda siklus gempa besar sekitar 130-an tahun,” kata Mudrik. ”Gempa kuat terakhir di zona ini di segmen Saluki di sesar Palukoro tahun 1909. Skalanya di atas M7, tergolong kuat,” katanya, menambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengutip catatan geolog Belanda, Abendanon, Mudrik menyebut, gempa pada 1909 itu menimbulkan kerusakan besar di Sulawesi Tengah. ”Disebutkan, akibat gempa, rumah hancur dan ditinggalkan penduduknya. Bahkan, daun dari buah kelapa muda pun berjatuhan. Menandakan kekuatan gempa,” ujarnya.
Sebelum gempa 1909 itu, kata Mudrik, terjadi gempa pendahuluan pada 1907 dengan posisi tegak lurus dengan sesar Palukuro. ”Gempa di kawasan itu tahun 1907 mirip yang terjadi tahun 2012. Karena itu, kami sempat khawatir akan memicu gempa lebih besar yang memang sudah mendekati siklusnya,” ujar Mudrik, yang disertasinya tentang kegempaan di kawasan itu.
Menurut Danny, selain sesar Palukoro, di kawasan itu juga terdapat 20 zona sesar lain. Untuk pergeseran batuan di kawasan Palukoro, rata-rata 4 sentimeter per tahun. Sebagai perbandingan, pergeseran batuan di sesar Sumatera sekitar 12 cm per tahun, sedangkan di Jawa hanya 3 milimeter per tahun. ”Selain sesar Sumatera, zona sesar di Palukoro ini pun tergolong sangat aktif dan terbukti memiliki riwayat gempa besar,” ujarnya.
Namun, kata Danny, untuk mengetahui pasti kapan siklusnya, masih dibutuhkan penelitian lebih rinci. Selama ini, penelitiannya di kawasan itu belum banyak, dibandingakn dengan di sesar Sumatera. (AIK)
Sumber: KOMPAS, 12 Agustus 2016