Rendahnya produksi testosteron akibat gangguan klinis yang dikenal dengan hipogonadisme, khususnya pada laki-laki, patut diwaspadai. Hipogonadisme bisa menyebabkan sindrom metabolik, osteoporosis, depresi, hingga disfungsi seksual.
Gejala hipogonadisme bisa berupa penurunan dorongan seksual, disfungsi dan penurunan frekuensi ereksi, penurunan kepadatan tulang, penurunan kekuatan dan massa otot, sulit konsentrasi, dan cepat merasa lelah. Gejala lain, daya tahan menurun, gangguan perasaan dan depresi, serta peningkatan massa lemak.
Banyak yang mengabaikan gejala hipogonadisme dan menganggap lazim karena menghubungkan dengan tambah usia. Padahal, hipogonadisme mengganggu metabolisme tubuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hipogonadisme pada laki-laki adalah sindrom klinis akibat gagalnya testis memproduksi testosteron yang normal. “Itu terjadi karena ada gangguan bagian tertentu di otak sehingga stimulasi produksi testosteron terganggu,” kata ahli andrologi dari Rumah Sakit Fatmawati Jakarta, Nugroho Setiawan, pada seminar di Jakarta, Kamis (19/11),
Pada kondisi normal, bagian otak, yakni hipotalamus dan hipofisis, akan mengeluarkan hormon yang menstimulasi produksi testosteron di testis. Akan tetapi, pada orang dengan hipogonadisme, stimulasi itu terganggu. Hipogonadisme juga bisa terjadi jika stimulasi berjalan baik, tetapi ada gangguan pada testis.
“Penyakit kronis, gaya hidup, dan stres yang tinggi bisa mengganggu stimulasi dari otak untuk memproduksi testosteron. Selain itu, faktor genetik, trauma, dan infeksi biasanya jadi penyebab tidak optimalnya testis memproduksi testosteron,” lanjutnya.
Testosteron memiliki peran di berbagai bagian tubuh. Di otak menentukan libido dan perasaan (mood), di kulit memengaruhi pertumbuhan rambut, di tulang mempercepat pertumbuhan dan penutupan ujung tulang panjang, sedangkan di otot meningkatkan kekuatan dan volume otot.
“Testosteron tidak cuma untuk fungsi seksual. Laki-laki dengan testosteron yang optimal akan lebih percaya diri, punya tulang kuat, energik, massa ototnya optimal, pikirannya lebih tajam,” kata Nugroho.
Saat hipogonadisme terjadi, ujarnya, bisa diatasi dengan terapi sulih testosteron.
Psikolog klinis dari Sanatorium Dharmawangsa dan Klinik Lighthouse, Tara de Thouars, menuturkan, testosteron dinilai sebagai faktor penting bagi laki-laki. Hormon ini sangat terkait dengan dorongan seksual, pembentukan sperma, ereksi, dan ejakulasi.
Meski demikian, ujar Tara, jika dikaitkan dengan disfungsi ereksi, ada 15 persen kasus disfungsi ereksi yang berhubungan dengan faktor psikologis, bukan gangguan klinis.
Menurut Tara, hipogonadisme pada seseorang akan menimbulkan rasa tidak percaya diri, cemas, dan depresi. Meski begitu, sedikit orang yang mau mengonsultasikan hipogonadisme yang dialaminya kepada tenaga profesional. Berkonsultasi dianggap membuka kelemahan sendiri. Kebanyakan orang percaya bahwa masalah itu akan membaik dengan sendirinya.
Tara menyarankan, apabila gejala hipogonadisme terjadi, sebaiknya segera berkonsultasi dengan tenaga profesional untuk mengetahui sejauh mana gangguan yang dialami. Lalu, mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat dan konseling individual untuk mengatasi disfungsi seksual yang disebabkan faktor psikologis. (ADH)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 November 2015, di halaman 13 dengan judul “Waspadai Rendahnya Produksi Testosteron”.