Peredaran pil paracetamol, caffeine, carisoprodol atau PCC perlu diwaspadai setelah Badan Narkotika Nasional menggerebek tempat produksi PCC di Kota Semarang dan Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu (3/12). Anak muda menjadi sasaran peredaran, antara lain, karena harganya yang lebih murah daripada narkotika.
BNN bersama Kepolisian Daerah Jawa Tengah menyita total 13 juta butir dari pabrik di Semarang dan Solo. Sebanyak 20 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jateng. Djoni (39) dan Ronggo (51) merupakan pemilik pabrik serta pemodal, sedangkan sisanya adalah para pekerja.
Kepala BNN Jateng Brigadir Jenderal (Pol) Tri Agus Heru, Rabu (6/12), mengatakan, PCC bisnis menjanjikan bagi para bandar. ”Sebulan, mereka mendapat keuntungan Rp 2,7 miliar, tetapi yang tercandu dan menderita anak muda. Ini obat keras, pengalihan dari narkotika. Harganya jauh lebih murah,” ujar Agus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Agus mencontohkan, harga sabu bisa sekitar Rp 1,5 juta per gram. Lalu, harga pil ekstasi sekitar Rp 100.000 per butir. Namun, pil PCC dijual Rp 3.000-Rp 6.000 per butir. Dampak yang didapat dari penyalahgunaan pil PCC bisa lebih dahsyat sabu atau lainnya, yakni halusinasi yang tidak terkendali.
Harga sabu bisa sekitar Rp 1,5 juta per gram. Lalu, harga pil ekstasi sekitar Rp 100.000 per butir. Namun, pil PCC dijual Rp 3.000-Rp 6.000 per butir.
Para penyalahguna PCC atau obat antidepresan lain umumnya mengejar efek perasaan tenang, riang, ringan, dan berujung pada halusinasi. Perasaan ringan melayang yang dirasakan pengguna bisa berlanjut pada aksi melukai atau bunuh diri (Kompas, 15/9).
Adapun peredaran pil PCC pertama kali terungkap setelah 64 orang menjadi korban (dua di antaranya tewas) di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada pertengahan September 2017. Delapan tersangka ditahan dengan barang bukti 2.631 butir obat bertuliskan PCC.
Selanjutnya, Kepolisian Resor Bintan, Kepulauan Riau, menyita 12 ton serbuk yang diduga aneka jenis obat, termasuk carisoprodol. Carisoprodol merupakan salah satu zat kandungan pil PCC yang sebelumnya beredar di Kendari.
Setelah itu, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Makassar, Sulawesi Selatan, menemukan 29.000 butir obat PCC yang dikemas dalam 29 bungkus masing-masing berisi 1.000 butir. Dari keterangan tersangka, obat didapat dari Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Di Kota Jayapura, Papua, juga ditemukan 1.000 butir.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengatakan, peredaran obat ilegal merupakan kejahatan kemanusiaan. ”Kejadian di Kendari, Sulawesi Tenggara, mengejutkan. Menjadi wake up call bagi kita semua karena menimbulkan korban dalam jumlah besar dan secara serentak,” katanya (Kompas 20/9).
Setelah penyitaan di Makassar dan Jayapura, aparat Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri menggerebek gudang obat PCC di Kelurahan Mulyorejo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (19/9) dini hari. Polisi menyita 1,28 juta butir PCC dan menahan tersangka Hariyoko Setiawan (42). Dari pengakuan tersangka, PCC bersal dari pabrik besar di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jateng.
Pada hari yang sama, Bareskrim Polri bersama Polres Banyumas kemudian menggerebek dua ruko yang menjadi tempat produksi PCC di Purwokerto. Sejumlah mesin alat produksi dan ribuan butir PCC disita. Dari penggeledahan ruko di Purwokerto tersebut ditemukan 3 mesin pencetak, 1 boiler, dan 1 mesin pengering. Adapun produksinya berkapasitas ratusan ribu pil per malam.
Pabrik Semarang
Pengungkapan tempat produksi PCC di rumah kontrakan di Jalan Halmahera Raya, Kota Semarang, digelar oleh BNN dan Polda Jateng, Senin (4/12). Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso dan Kepala Polda Jateng Inspektur Jenderal Condro Kirono menunjukkan proses produksi pembuatan pil PCC yang diperkirakan menghasilkan 4 juta butir per hari itu.
Di ruangan pertama terdapat alat untuk mengayak bahan baku. Di ruangan berikutnya terdapat mesin pencetak pil. Salah satu bagian dinding dilapisi peredam suara agar aktivitas tak terdengar ke luar rumah.
Di ruang terakhir, yang sepenuhnya kedap suara, terdapat mesin press untuk mengemas pil PCC. Terdapat saluran udara menuju turbin ventilator di atas genting. Juga terdapat kamera pemantau (CCTV). ”Jadi, Djoni (pemilik pabrik) tinggal mengawasi dari mes dan gudang di Jalan Gajah, Semarang,” ujar Budi.
Budi menuturkan, penggunaan pil PCC berlebihan dapat berdampak seperti tembakau gorila atau flakka, yang membuat penggunanya seperti zombi. ”Di Kalimantan, peredarannya lebih banyak ketimbang di Jawa. Sebab, di Jawa produk ini ’bersaing’ dengan ekstasi dan sabu. Bagaimanapun, ini kejahatan luar biasa karena dampaknya merusak generasi bangsa,” kata Budi.
Menurut Budi, produksi pil PCC tersebut tidak ada kaitannya dengan farmasi. Artinya, bahan baku dicampur berdasarkan perkiraan dan pengalaman. Kendati demikian, kata Budi, dirinya menduga Djoni bukan pemain baru. Karena itu, pihaknya pun akan terus mendalami segala hal berkaitan dengan produksi ataupun peredaran.
Menurut Budi, pengiriman paket pil PCC menggunakan jasa ekspedisi, melalui jalur darat dan laut ke sejumlah daerah di Kalimantan. Jumlah yang dikirim untuk setiap penerima 20-50 dus (20.000 butir per dus) sebelum kemudian diedarkan lagi. Adapun harga Rp 3.000-Rp 6.000 per butir.
Keterlibatan oknum
Kepala BNN Jateng Brigjen (Pol) Tri Agus Heru menambahkan, tim gabungan sudah bergerak untuk mendalami produksi dan peredaran pil PCC. ”Keterlibatan oknum dari berbagai instansi juga akan kami telusuri. Apalagi, produksi sudah berjalan sejak awal 2017. Berjalan enam bulan, lalu berhenti sebulan, dan mulai beroperasi lagi dua bulan terakhir,” ujarnya.
Menurut Agus, berdasarkan pemeriksaan sementara, mesin-mesin yang digunakan berasal dari China. Sementara itu, bahan baku berasal dari China dan India. Hal tersebut didukung dengan catatan pada paspor Djoni dan Ronggo yang diketahui beberapa kali bolak-balik ke China dan India.
Lebih lanjut, Agus mengatakan, pihaknya akan terus menggencarkan upaya pencegahan peredaran gelap obat ilegal dan narkotika, antara lain dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Diharapkan, masyarakat peduli dengan lingkungannya. Paling tidak, memberikan informasi apabila ada aktivitas yang mencurigakan.
Mesin-mesin yang digunakan berasal dari China. Sementara itu, bahan baku berasal dari China dan India. Hal tersebut didukung dengan catatan pada paspor Djoni dan Ronggo yang diketahui beberapa kali bolak-balik ke China dan India.
Pelaksana Harian Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Semarang, Woro Puji Hastuti, menuturkan, pihaknya menguji sejumlah kandungan dalam pil PCC yang disita, termasuk carisoprodol. ”Saat ini masih dalam proses pengerjaan di laboratorium. Lama waktu pengujian sesuai dengan standar sistem mutu yang ada,” ujar Woro.
PCC, kata Woro, secara farmakologis yakni sebagai relaksan otot yang bersifat singkat, di mana dapat menimbulkan efek menenangkan atau sedatif, tetapi sering disalahgunakan, antara lain diharapkan sebagai penenang, menimbulkan rasa percaya diri, bahkan obat kuat. Pihaknya pun akan terus mengembangkan dan mengefektifkan operasi pemberantasan obat yang sering disalahgunakan.–ADITYA PUTRA PERDANA
Sumber: Kompas, 6 Desember 2017