Gerhana Bulan total akan terjadi bersamaan dengan Bulan super pada Rabu (31/1) dan akan tampak di sejumlah wilayah di Indonesia. Namun, masyarakat diminta mewaspadai dampak fenomena Bulan super, Bulan biru, dan Bulan merah darah, yang terjadi bersamaan, berupa pasang maksimum yang bisa mengganggu pelayaran dan memicu banjir rob.
“Gerhana Bulan total (GBT) kali ini istimewa karena tiga fenomena gerhana bulan bersamaan. Peristiwa ini terakhir kali terjadi 31 Maret 1866 atau 152 tahun lalu. Tiga fenomena itu terjadi karena siklusnya bersamaan,” kata pakar astronomi dari Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, di Kota Bandung, Selasa (30/1).
Dampak tiga fenomena itu ke Bumi adalah akan ada peningkatan arus pasang di lautan akibat dekatnya posisi Bulan ke Bumi. Bumi dan Bulan memiliki gravitasinya masing-masing dan saling tarik-menarik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saat terjadi Bulan super, jarak air laut dengan pusat Bulan lebih dekat dibanding jarak pusat Bumi dengan pusat Bulan. Akibatnya, gravitasi Bulan menarik air laut lebih kuat daripada gravitasi Bumi. Akibatnya, air laut sedikit menggembung pada permukaan Bumi dan jadilah pasang,” katanya.
Posisi Matahari, Bumi, dan Bulan berada di satu garis lurus pada 30 Januari-1 Februari 2018. Fenomena langka Bulan super ini bertepatan dengan GBT. Posisi Bulan berada pada jarak terdekatnya terhadap Bumi pada 30 Januari. Karena jaraknya mendekat, Bulan akan tampak lebih besar sehingga disebut Bulan super (supermoon). Sementara bulan purnama terjadi pada 31 Januari bersamaan dengan GBT.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, keseluruhan proses gerhana bisa diamati di Samudra Pasifik serta bagian timur Asia, Indonesia, Australia, dan bagian barat laut Amerika. Di Indonesia, fenomena ini tampak terang mulai dari perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah hingga sebelah barat Sumatera.
Meski fenomena ini langka dan menarik diamati, Dwikorita mengingatkan warga di pesisir untuk mewaspadai tinggi pasang maksimum 1,5 meter. Sebaliknya, fenomena ini bisa mengakibatkan surut minimum 1-1,1 meter di beberapa pesisir. Tinggi pasang maksimum bisa berdampak pada terganggunya transportasi sekitar pelabuhan dan pesisir, aktivitas perikanan darat, serta bongkar muat di pelabuhan.
Kepala Bidang Informasi dan Prediksi Cuaca BMKG Ramlan mengatakan, hampir seluruh wilayah pesisir Indonesia berpotensi terdampak pasang tinggi. Kewaspadaan terutama untuk daerah rawan banjir rob seperti utara Jakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Makassar, dan Manado.
Menurut peneliti BMKG, Siswanto, pengaruh Bulan super dan GBT terhadap pasang naik air laut tergantung karakter dan variasi harian dari pasang surut berbeda untuk tiap lokasi atau pesisir. Saat terjadi Bulan super 2-4 Januari lalu, beberapa wilayah di Indonesia terdampak banjir rob, antara lain Mamuju, Madura, Surabaya, Gorontalo, dan Jakarta Utara. Saat itu pasang maksimum di Jakarta Utara sekitar 90 sentimeter.
“Pada Bulan super kali ini, karena jaraknya lebih jauh dari Bumi, dampak tarikan gravitasi Bulan pada pasang air laut sedikit lebih rendah. Jakarta Utara diprediksikan pasang maksimal 80 cm. Daerah lain umumnya lebih rendah dari kejadian Bulan super sebelumnya,” kata Siswanto.
Secara terpisah, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin menjelaskan, saat Bulan purnama, tak harus ada GBT, akan meningkatkan pasang air laut karena tarikan gravitasi Bulan pada air laut akan diperkuat gravitasi Matahari. Saat gerhana, efeknya bertambah karena posisi Matahari, Bumi, dan Bulan segaris.
“Untuk GBT 31 Januari nanti, efeknya lebih kuat karena bersamaan Bulan super atau berada di dekat titik terdekat dari Bumi,” ujarnya. Namun, maksimumnya pasang air laut akan menimbulkan banjir tergantung kondisi cuaca dan geografis tiap daerah. Hal yang harus diwaspadai, khususnya di Jakarta, jika bersamaan pasang maksimum itu terjadi hujan deras di darat dan laut.
Terkait hal itu, Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta bersiap menghadapi GBT. Sebanyak 1.000 pasukan biru disiapkan untuk bersiaga di pesisir utara Jakarta. Menurut Kepala Dinas SDA DKI Teguh Hendarwan, dinas SDA bersiap untuk kemungkinan terburuk, yakni gelombang tinggi hingga 2,5 meter atau siaga satu.
Pasukan biru atau pasukan khusus Dinas SDA itu akan bersiaga 24 jam di seluruh pesisir utara Jakarta. Dinas SDA juga menyiapkan karung-karung pasir dan peralatan berat untuk mengantisipasi banjir rob.
Memicu gempa
Menurut Thomas, kajian menunjukkan saat purnama atau Bulan baru bertepatan terjadi gerhana, itu bisa memicu pelepasan energi di batas pertemuan lempeng Bumi hingga terjadi gempa. Contohnya, saat gempa Aceh tahun 2004, terjadi purnama. Saat pagi hari posisi bulan di barat, sehingga perairan sekitar Aceh surut maksimum.
Dengan demikian, lempeng Indoaustralia di Samudra Hindia semula tertekan massa air laut, saat surut maksimum penekanan turun. Itu memicu penyusupan lempeng samudra pada lempeng benua (Eurasia) dan menimbulkan getaran. Gerhana bukan penyebab gempa, tetapi jadi pemicu. “Kita tak tahu kapan pelepasan energi itu,” ujarnya.
Pengamatan
Moedji menyatakan, tiga fenomena gerhana bulan ini jadi momen bagi ilmuwan memperhatikan permukaan Bulan. Untuk memenuhi rasa ingin tahu masyarakat, Planet Sabuga bekerja sama dengan Jurusan Astronomi ITB, Planet Sains, Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB, Alumni Astronomi ITB, dan Rumah Salman ITB mengadakan kegiatan Observasi GBT Bersama Moedji Raharto. Acara yang diadakan di Sabuga pukul 16.00- 22.00 akan berisi pengamatan bulan dengan teropong, pemutaran film tentang gerhana, dan diskusi gerhana.
Di Jakarta, Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PP-Iptek) TMII menggelar kegiatan pengamatan GBT pukul 17.30-21.00 di pelataran atas Gedung PP-Iptek. Menurut Direktur PP-Iptek M Syachrial Annas, pihaknya menyiapkan tiga teropong.(AIK/YUN/BKY/HLN/DD17)
Sumber: Kompas, 31 Januari 2018