Hingga sebelum bencana melanda Aceh, 26 Desember 2004, kita tak mengira wilayah itu bisa terdampak gempa dan tsunami raksasa yang menelan 200.000 korban jiwa, terutama karena minimnya pengetahuan gempa. Kini, ilmuwan memprediksi, gempa sekuat Aceh bisa terjadi di selatan Jawa.
Tiga belas tahun setelah bencana Aceh, para ahli kebumian sampai pada kesadaran baru bahwa semua zona subduksi bisa mengalami gempa raksasa, termasuk area selatan Jawa. Peta Gempa Bumi Nasional 2017 mencantumkan potensi gempa berkekuatan M 8,7 bisa terjadi di selatan Jawa Barat. Jika segmen gempa selatan Jawa runtuh bersamaan, kekuatannya M 9,2 atau setara gempa Aceh 2004.
“Kita tak bisa mengabaikan ada potensi gempa sebesar Aceh-Andaman 2004 dari zona subduksi di selatan Jawa,” kata Phil Cummins, ahli gempa dari lembaga Geoscience Australia, lewat surat elektronik. Kekhawatiran Phil menguat setelah terjadi gempa M 6,9 di Tasikmalaya, Jumat (15/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Phil, yang juga Guru Besar dari Australian National University, beberapa tahun terakhir fokus pada kegempaan di Jawa. “Jika gempa itu terjadi, potensi panjang rupture (runtuhnya dasar laut) lebih dari 1.000 kilometer. Padahal, rupture gempa Tohoku (Jepang) tahun 2011 kurang dari 1.000 km, tapi memicu tsunami amat besar,” katanya.
Kekhawatiran gempa besar di selatan Jawa ini juga disampaikan peneliti gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rahma Hanifa. “Disertasi saya tentang potensi megathrust (subduksi besar) di Jawa Barat positif menunjukkan ada akumulasi energi yang bisa lepas sewaktu-waktu,” kata Rahma, yang menyelesaikan doktornya di Nagoya University, Jepang.
Zona selatan Jawa, khususnya dari segmen Pangandaran (Jawa Barat) hingga Pacitan dan Banyuwangi (Jawa Timur) dikenal sebagai daerah seismic gap atau zona sepi gempa besar. Gempa M 7,8 diikuti tsunami terjadi di Pangandaran tahun 2006 dan di Pacitan-Banyuwangi gempa M 7,8 pada 1994.
Di antara dua lokasi ini tak ada gempa besar di zona subduksi. Daerah sepi gempa juga terjadi di barat Pangandaran hingga Selat Sunda dan Banyuwangi sampai selatan Bali. Padahal, lempeng Indo-Australia mendorong lempeng Eurasia di selatan Jawa kecepatan 6,6 sentimeter per tahun.
Dalam 100 tahun, regangan batuan yang terkunci lalu terseret dorongan lempeng Indo-Australia 6,6 meter. Gempa bumi terjadi jika batuan saling mengunci terlepas seperti pegas. Ratusan tahun tanpa gempa besar, artinya akumulasi energi yang tersimpan amat besar.
Rahma mengatakan, zona seismic gap ini bisa runtuh bersamaan, seperti pada gempa Aceh 2004 dan gempa Jepang 2011. Ini disebut gempa megathrust yang kekuatannya bisa mencapai M 9,2.
Skenario lain, zona gempa di selatan Jawa akan runtuh per segmen, seperti gempa Pangandaran tahun 2006 dan gempa Banyuwangi 1994. Meski potensi gempa lebih kecil, ada bahaya lain dari zona kegempaan di selatan Jawa, yakni potensi tsunami earthquake atau gempa dengan guncangan kecil tapi tsunaminya amat besar.
“Guncangannya lemah karena terjadi di subduksi dekat palung atau accretionary prism yang sedimennya lembut. Ini meredam guncangan gempa, tapi melempar air lebih banyak karena elastis sehingga tsunami amat besar,” ujarnya. Tsunami earthquake mematikan karena masyarakat tak merasakan guncangan keras sehingga tak mengungsi sampai ada tsunami.
Seabad terakhir, kejadian tsunami earthquake terbanyak di dunia di sepanjang Palung Sunda-memanjang dari barat Sumatera sampai Nusa Tenggara. Beberapa kejadian yakni gempa Simeulue 1907, gempa Pacitan 1994, gempa Pangandaran 2006, dan gempa Mentawai 2010.
Soal waktu
Ahli gempa bumi ITB, Irwan Meilano, yang mengepalai Kelompok Kerja Geodesi Tim Revisi Peta Gempa Bumi Nasional 2017, mengatakan, potensi gempa besar di selatan Jawa tak diragukan secara keilmuwan. Itu berkali-kali disampaikan ke pemerintah dan publik.
“Namun, persiapan menghadapinya amat minim, jauh berbeda dengan yang dilakukan Jepang saat ilmuwan memperingatkan ancaman gempa besar Tokai (sekitar Tokyo),” katanya.
Setelah kalangan ilmuwan Jepang menemukan bukti ilmiah potensi gempa Tokai, Pemerintah Jepang bekerja keras memperbaiki tata ruang, termasuk memberi insentif untuk memperkuat bangunan strategis, terutama sekolah. “Mungkin kita belum bisa mengubah tata ruang, tapi perubahan perspektif risiko pun belum,” ujarnya.
Ahli konstruksi bangunan ITB yang juga Ketua Pusat Studi Gempa Nasional, Masyhur Irsyam, memaparkan, gempa Tasikmalaya pada Desember 2017, dengan kekuatan hanya M 6,9 memicu kerusakan hingga 2.000 rumah, menunjukkan lemahnya konstruksi bangunan. “Mengingat lokasi Indonesia rawan gempa, bangunan harus tahan gempa. Pemerintah daerah harus terlibat,” ujarnya.
Tantangan lebih berat karena pemerintah mengembangkan kawasan tertinggal daripada utara Jawa. Selain pembangunan bandara di Kulon Progo, akan dibangun jalan lintas pantai selatan Jawa, Bandara Kulon Progo, dan bangkitan ekonomi baru. Jadi, potensi risiko membesar seiring tumbuhnya pusat-pusat aktivitas baru.
Gempa bumi tak bisa diprediksi kapan terjadi. Demikian halnya zona gempa di selatan Jawa. Apalagi, sumber sejarah kita terbatas. Namun, dari riset-riset paleotsunami yang dilakukan di selatan Jawa, tim peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI terungkap tiga jejak tsunami raksasa di selatan Jawa, yaitu dari periode 500 tahun lalu, 1.000 tahun lalu, dan 1.800 tahun lalu.
Dengan data ini, siklus gempa raksasa diikuti tsunami di selatan Jawa 500-800 tahun sekali. Jika tsunami besar terakhir di selatan Jawa terjadi 500 tahun lalu, berarti kini kita memasuki fase keberulangannya.
Irwan khawatir, gempa di Tasikmalaya Desember lalu ialah rangkaian gempa mengarah lepasnya energi lebih besar. Riset oleh tim ITB pada 2016 menemukan, setelah gempa M 7,8 memicu tsunami di Pangandaran 2006, tatanan tektonik di selatan Jawa amat aktif. Kita belum tahu ujungnya. Semoga tak jadi penanda awal akan ada gempa lebih besar,” ujarnya.(AHMAD ARIF)
Sumber: Kompas, 4 Januari 2018