Pandemi Covid-19 di Indonesia dinilai belum mencapai puncaknya dilihat dari tren penambahan kasus dan rasio positif sejak Mei lalu. Tanpa upaya serius surveilans dan perubahan perilaku warga, wabah akan tak terkendali.
Penambahan kasus dan jumlah kematian akibat Covid-19 kembali mencapai rekor tertinggi. Namun pandemi penyakit yang disebabkan virus korona baru ini di Indonesia dinilai belum mencapai puncaknya dilihat dari tren penambahan kasus dan rasio positif sejak Mei lalu. Tanpa upaya serius surveilans dan perubahan perilaku warga, ledakan wabah tak terkendali.
Jumlah kasus baru Covid-19 secara nasional bertambah 3.622 orang dalam sehari, sehingga totalnya menjadi 184.268 kasus pada Kamis (3/9/2020). Ini merupakan rekor penambahan kasus harian tertinggi yang didapatkan dengan memeriksa 19.306 orang, yang berarti rasio positifnya 18,7 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara korban jiwa bertambah 134 orang, sehingga total menjadi 7.750 orang. Penambahan jumlah korban ini merupakan yang tertinggi kedua setelah pada 22 Juli lalu terdapat penambahan 139 korban dalam sehari.
“Indonesia masih di tahap awal pandemi kalau dilihat data kasus harian, masih terus meningkat dan rasio positif yang konsisten meninggi sejak bulan Mei 2020,” kata Ainun Najib, pendiri Kawalcovid19.id, dalam diskusi daring.
Pada bulan April 2020, rasio positif di Indonesia 13,1 persen lalu turun jadi 10,81 persen pada Mei 2020. Namun, rasio positif perlahan naik jadi 11,79 persen pada Juni lalu, 13,36 persen pada Juli, dan Agustus 2020 mejadi 15,42 persen. “Naiknya rasio positif ini menunjukkan wabah terus meningkat. Ini berarti kapasitas tes belum menyamai kecepatan penyebaran wabah,” kata Ainun.
Jika dilihat dari data kasus aktif, terjadi pelandaian sejak Juli lalu. Namun ini disebabkan Indonesia mengadopsi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menyatakan pasien sembuh, tanpa melalui dua kali tes usap negatif.
Menurut Ainun, selain masalah tes, kegagalan pengendalian wabah di Indoesia karena lemahnya pelacakan kasus. “Dari data kami, hanya seperempat kabupaten/kota di Indonesia menelusuri kontak kasus hingga ketemu puluha kasus aktif. Negara lain bisa lacak kasus dari satu sampai ratusan,” katanya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemkes) Achmad Yurianto mengakui, saat ini terjadi eskalasi atau peningkatan wabah. Namun, kasus di Indonesia bervariasi, karena kondisi geografis dan kepulauan.
“Indonesia tidak jelek banget (penanganan pandemi). Tetapi tidak lebih baik. Angka kesembuhan juga sedang saja. Rata-rata nasional kesembuhannya 4,2 persen. Kita tidak bisa dibandingkan Australia misalya. Mereka kontinen, kita kepulauan,” katanya. Dari kasus konfirmasi per satu juta penduduk, DKI Jakarta lebih banyak, tetapi itu menunjukkan ada ketimpangan tes antar provinsi.
Yuri menambahkan, upaya peningkatan tes terus dilakukan. “Saya ke salah satu kota di Jawa Tengah, pemeriksaan PCR (reaksi rantai polimerase) hanya bisa dilakukan di kota provinsi. Ini Jawa saja begini. Sementara tracing (pelacakan) juga tidak mudah, karena mereka harus bekerja dengan aman,” ujarnya.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2 September menyebutkan, baru tiga provinsi di Indonesia yang sudah memenuhi syarat tes minimal 1 per 1000 populasi per minggu, yaitu DKI Jakarta, Sumatera Barat, dan Yogyakarta.
Jakarta dan Sumatera Barat mencapai tolok ukur deteksi kasus minimum ini selama tiga minggu terakhir, sedangkan Yogyakarta baru memenuhinya minggu lalu. Namun, di antara tiga provinsi ini, hanya Sumatera Barat yang memiliki rasio positif kurang dari 5 persen, sekalipun trennya cenderung naik.
Rasio positif di Jakarta menunjukkan peningkatan dalam tiga minggu berturut-turut, sejalan dengan tren secara nasional. Adapun daerah yang mendapat sorotan karena rasio positif tertinggi, yaitu Sumatera Utara yang mencapai 30-40 persen dan Papua Barat mendekati 30 persen.
Layanan primer
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, kita harus mengevaluasi dan mengubah strategi penanganan pandemi Covid-19. Misalnya untuk tes, harus dibangun jejaring untuk pelayanan tes, tidak harus di semua kota. Tes bisa dilakukan di daeah yang ada sumber daya manusianya, namun spesimennya bisa dari daerah lain.
“Tidak harus buat laboratorium baru, itu tidak mungkin saat ini. Harus pakai manajemen wabah modern,” tuturnya.
Selain itu, pelacakan kontak harus mengoptimalkan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sebagai layanan kesehatan primer. “Kita fokus rumah sakit, justru layanan primer yang terpenting. Mereka melakukan tracing dan membangun kesehatan masyarakat. Cara ini dipakai Vietnam dan Thailand,” tuturnya.
Jika gagal melakukan surveilans sementara mobilitas penduduk terus meningkat, penularan wabah akan terus meluas. “Kita belum menyelesaikan gelombang pertama, dan jangan sampai mengalami gelombang kedua dan ketiga. Apalagi, orang yang meninggal juga naik terus,” katanya.
Selain itu, menurut Pandu, yang sangat penting dilakukan yakni mendorong perubahan perilaku masyarakat untuk menaati prookol kesehatan, sepeti memakai masker, menjaga jarak, dan cuci tangan. “Selama ini kita melupakan masyarakat sebagai ujung tombak. Jangan menyalahkan masyarakat saat ini yang abai, karena kita memang belum cukup berbuat banyak,” ujarnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 4 September 2020