GUNUNG Sinabung memakan korban. Lebih dari 15 orang tewas, sebagian besar terpapar awan panas. Awan panas bukan barang baru, tetapi selalu memicu rasa ingin tahu. Nama populer awan panas, wedhus gembel, menjadi kian populer saat Gunung Merapi meletus empat tahun lalu.
Empat tahun lewat, awan panas Gunung Sinabung mempertebal fenomena awan panas Merapi yang menewaskan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi.
”Awan panas merupakan gas magmatik yang terperangkap di bawah kubah yang terbentuk saat terjadi erupsi, yang kemudian terlepas,” ujar mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono saat dihubungi Senin (3/2), di Jakarta. Surono kini menjadi staf ahli Menteri ESDM Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gas magmatik—gas yang keluar saat magma dimuntahkan pada proses erupsi, bersuhu sekitar 1.300 derajat celsius. ”Gas-gas tersebut mengalami proses pendinginan. Sebagian besar lalu terperangkap di bawah kubah,” kata Surono.
Pada saat kubah terbuka, karena runtuh, gas terperangkap itu terdorong keluar ke berbagai arah berkekuatan tinggi. Sebagian tersembur ke atas, sebagian meluncur menyusuri lereng gunung membawa berbagai material piroklastik, mulai dari yang berukuran amat kecil, yaitu abu, hingga batu besar. ”Di Sinabung hanya abu. Di Merapi bisa berupa batu besar,” katanya.
Temperatur awan panas berkisar 400-600 derajat celsius. Bisa juga 500-650 derajat celsius, seperti dikatakan ahli geofisika Juergen Kienle dan Samuel E Swanson yang dikutip Haryono Kusumosubroto pada ”Aliran Debris & Lahar”.
Kecepatan aliran dipengaruhi gravitasi, biasanya mengalir ke lembah. Kecepatannya 150-250 kilometer per jam. Aliran ini bisa menjangkau jarak puluhan kilometer, meskipun bergerak di atas air atau permukaan laut (Departemen Pertambangan dan Energi, 2008).
Awan panas memiliki banyak sebutan lain: glowing cloud, glowing avalanche, dan nuee ardente (Haryono Kusumobroto, 2013). Dalam bahasa Jawa ada istilah ladu di samping wedhus gembel untuk letusan Merapi.
Jalur bahaya
Pada saat gunung api meletus dan memuntahkan material piroklastik, saat itu pula pengamatan secara intensif dilakukan. Tingkat bahaya ditetapkan sesuai tingkat aktivitas vulkanik. Luncuran awan panas bukanlah hal spesifik di Sinabung, seperti terjadi pada Sabtu (1/2) lalu.
Dalam laporan berkala PVMBG, luncuran awan panas pertama kali teramati 30 Desember 2013 ke tenggara, sejauh 500 meter hingga 1.500 meter. Pada 31 Desember 2013, tercatat 14 kali luncuran awan panas ke tenggara sejauh 0,5-3 km.
Setelah itu, luncuran awan panas terjadi fluktuatif. Namun, arah luncuran tetap, yaitu jalur tenggara dan tenggara-selatan.
Jangkauan terjauh terjadi 27 Januari 2014, yaitu mencapai jarak 4,5 kilometer ke arah tenggara-selatan. Zona Berbahaya ditetapkan pada radius 5 km.
Surono membandingkan jumlah material letusan antara Merapi dan Sinabung. ”Tahun 2010, Merapi menyemburkan material hingga 150 juta meter kubik, Sinabung sekitar 4 juta meter kubik,” katanya. Letusan Sinabung, belum sehebat Merapi. ”Kita harus melihat sejujurnya.”
Citra kantong magma
Peristiwa letusan gunung berapi belum bisa diprediksi. Apalagi mengetahui akan berlangsung berapa lama, berapa banyak material yang akan dimuntahkan dari kantong magma atau dapur magma.
Dua letusan terakhir Merapi, tahun 2006 dan 2010, menjadi semacam indikasi bahwa Merapi meletus lima tahun sekali. ”Ini amat menarik perhatian para ilmuwan di dunia,” ujar Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB Sri Widiyantoro.
Ia mengungkapkan, saat ini sedang berlangsung penelitian kerja sama antara ITB, UGM, Savoie University (Perancis), dan PVMBG pada Gunung Merapi. ”Kami memasang 50 seismometer di seputar tubuh gunung. Ini adalah yang terapat yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Seismometer ditempatkan dengan grid berjarak sekitar satu kilometer antarsatu seismometer dengan yang lain, tergantung kondisi lapangan. Kadang-kadang kondisinya tidak memenuhi syarat pemasangan.
”Kami akan mencitrakan kantong magma melalui rekaman dari 50 seismometer. Lebih rapat pemasangan alat, resolusi citra akan semakin tinggi sehingga bisa lebih jelas datanya,” tambah Widiyantoro.
Penelitian yang dimulai Agustus 2013 diharapkan memberikan hasil awal, setahun setelahnya. Lewat metode tomografi, antara lain, diperoleh informasi kantong magma: di mana posisinya, berapa volumenya, sehingga bisa diprediksi berapa volume muntahan saat erupsi.
Widiyantoro mengatakan, ”Semakin komplet data, kesimpulan semakin bagus. Tidak bisa bertumpu pada satu data saja yang menjelaskan semua. Ada tekanan, temperatur, unsur kimia, dan sebagainya. Harus terintegrasi datanya. Hingga kini belum ada yang bisa memprediksikan kapan tepatnya meletus, berapa lama, berapa besar, masih banyak lagi.”
Seperti kata Surono, ”Alam jauh lebih besar dari pada kita. Jadi, lebih baik jujur dalam memberikan informasi sesuai ilmu kita agar bisa menekan jumlah korban.”
Oleh: Brigitta Isworo Laksmi
Sumber: Kompas, 4 Februari 2014