Para ilmuwan baru-baru ini menemukan virus-virus beku yang terperangkap selama 15.000 tahun dalam gletser es di daratan tinggi Tibet. Virus-virus purba bisa terlepas ke lingkungan seiring menghangatnya suhu Bumi.
AP PHOTO/MARTIN MEJIA, FILE–Dalam dokumentasi foto bertanggal 12 Agustus 2016 ini terlihat sekumpulan turis berjalan di depan Gletser Tuco di Taman Nasional Huascaran dalam tur bertajuk ”Rute perubahan iklim” di Huaraz, Peru. Bakteri dan virus yang terperangkap selama ribuan tahun dalam lapisan es bisa terlepas ke lingkungan akibat pemanasan global.
Sepanjang sejarah, manusia telah hidup berdampingan dengan bakteri dan virus. Dari wabah pes ke cacar, manusia telah berevolusi untuk melawan mereka dan mikroba itu pun telah mengembangkan cara-cara baru untuk menginfeksi manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama hampir seabad manusia memiliki senjata perang melawan patogen berbentuk antibiotik. Sebagai tanggapannya, bakteri merespons dengan mengembangkan resistensi terhadap antibiotik. Pertempuran itu tiada habisnya karena kita menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengatasi patogen.
Namun, apa yang terjadi jika kita tiba-tiba terpapar bakteri dan virus yang telah lama tidak muncul atau bahkan kita belum pernah bertemu sebelumnya? Hal itu semakin mungkin terjadi seiring dengan mencairnya lapisan es akibat perubahan iklim secara global.
Saat Bumi hangat, lebih banyak lapisan akan mencair. Pemanasan global secara lengkap memperlihatkan lapisan permafrost yang lebih tua. Bakteri dan virus yang selama ini terperangkap di dalam lapisan es kemudian terlepas ke lingkungan akibat mencairnya lapisan es.
Baru-baru ini para ilmuwan menemukan virus-virus beku yang terperangkap selama 15.000 tahun terakhir di gletser yang terletak di daratan tinggi Tibet bagian barat laut China. Tim peneliti melihat dua inti dari gletser di Tibet ini dan berhasil mengungkap 28 kelompok virus yang belum pernah dijumpai ilmuwan.
Penyelidikan virus-virus misterius bisa membantu para ilmuwan. Salah satunya adalah penumpang gelap bisa mengajari para peneliti tentang virus mana yang tumbuh subur di lingkungan berbeda dari waktu ke waktu. Hasil studi itu dipublikasikan di database bioRxiv, awal Januari lalu.
”Dalam skenario terburuk, pencairan es dari perubahan iklim dapat melepaskan patogen ke lingkungan,” kata para peneliti yang menulis studi itu yang belum ditinjau rekan sejawat, sebagaimana dikutip LiveScience, Rabu (22/1/2020). Jika hal itu terjadi, langkah terbaik adalah mengetahui sebanyak mungkin tentang virus tersebut.
KOMPAS–Mahasiswa dan pekerja mengikuti simulasi pemindaian terduga penderita virus ebola di Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, DI Yogyakarta, Selasa (28/10/2014).
Penelitian es
Upaya mempelajari mikroba purba benar-benar menantang. Sebab, sampel inti dengan bakteri di zaman modern sangat mudah tercemar. Karena itu, para peneliti kemudian membuat protokol baru untuk mengambil sampel mikroba dan virus yang sangat bersih.
Sampel dua dari es tutup Guliya di dataran tinggi Tibet dikumpulkan pada 1992 dan 2015. Namun, saat itu tidak ada tindakan khusus yang diambil untuk menghindari kontaminasi mikroba selama pengeboran inti dan pengangkutannya.
Pada 2015, tim peneliti dari Amerika Serikat dan China menempuh perjalanan ke Tibet untuk mengumpulkan sampel es gletser. Tim tersebut mengebor hingga kedalaman 50 meter (164 kaki) ke dalam gletser untuk mendapatkan dua inti, kemudian mulai menjalankan protokol dekontaminasi.
”Studi kami menetapkan prosedur pengambilan sampel mikroba dan virus yang sangat bersih dari gletser es, yang melengkapi metode dekontaminasi silico. Ini untuk pertama kali kami memperluas prosedur pengambilan virus yang sangat bersih,” tulis tim tersebut sebagaimana dikutip sciencealert.com.
Dalam penelitian itu, bagian luar inti terkontaminasi, sedangkan bagian dalam asli. Untuk mengakses bagian dalam inti, para peneliti membangun tempat dalam ruang dingin, suhu minus 5 derajat celsius, dan memakai alat yang disterilkan untuk memotong 0,5 sentimeter dari es di lapisan luar. Kemudian, para peneliti membersihkan inti es dengan etanol untuk mencairkan kembali.
Setelah mengerjakan pengikisan sekitar 1,5 sentimeter, para peneliti mencapai lapisan yang tidak terkontaminasi sehingga dapat mereka pelajari. Metode itu bertahan bahkan selama pengujian yang mana para peneliti menutupi lapisan luar dengan bakteri dan virus lain.
KOMPAS–Masuk ke dalam gletser
Belum dikenal
Para peneliti menggunakan teknik mikrobiologi untuk memahami mikroba dalam sampel. Teknik itu mengungkap 33 kelompok genus virus, yang dikenal sebagai genera, dalam inti es. Dari jumlah itu, 28 kelompok virus di antaranya tak diketahui dalam sains. ”Mikroba-mikroba itu berbeda signifikan di dua inti. Itu mewakili kondisi berbeda saat pengendapan,” tulis para peneliti.
Tidak mengherankan jika gletser menyimpan virus-virus misterius dalam waktu amat lama. ”Upaya kami jauh dari selesai dalam mengambil sampel seluruh virus di Bumi,” kata Chantal Abergel, peneliti virologi lingkungan di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Perancis, yang tidak terlibat dalam studi itu.
Saat perubahan iklim manusia mencairkan gletser di dunia, hal itu mendukung kemampuan manusia untuk membuat katalog bentuk kehidupan kecil yang lengkap serta kemampuan kita untuk tetap aman dari bahaya penularan virus-virus purba.
Pencairan es dapat menghilangkan arsip mikroba dan virus yang dapat memberikan informasi mengenai iklim Bumi pada masa lalu. Penelitian mengenai virus purba menjadi jendela pertama melawan virus genom dan ekologinya dari gletser serta dampak bagi kelompok mikroba yang berlimpah hari ini.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Penelitian dengue di Unit Laboratorium Dengue Lembaga Eijkmen, Jakarta, Senin (31/10). Hingga kini, belum ada vaksin atau obat yang efektif dari penyakit akibat dengue dan pencegahan yang efektif dari gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Penelitian sebelumnya
Sebelumnya, penelitian juga mengungkap bakteri dan virus purba terkurung di lapisan es. Sebagaimana dikutip BBC, 4 Mei 2017, dalam studi tahun 2005, tim peneliti NASA menemukan bakteri Carnobacterium pleistocenium yang terkurung di kolam beku di Alaska selama 32.000 tahun.
Dua tahun kemudian, para ilmuwan berhasil menghidupkan kembali bakteri yang selama 8 juta tahun tertidur dalam es, di bawah permukaan gletser di Lembah Beacon dan Mullins di Antartika. Dalam studi yang sama, bakteri juga dihidupkan kembali dari es yang berusia lebih dari 100.000 tahun.
Namun, tak semua bakteri dapat hidup kembali setelah dibekukan dalam lapisan es. Bakteri antraks dapat membentuk spora yang sangat kuat sehingga bisa bertahan lebih dari satu abad. Bakteri lain yang dapat membentuk spora dan dapat bertahan hidup di lapisan es antara lain tetanus.
Beberapa virus juga dapat bertahan untuk waktu lama. Dalam studi tahun 2014, tim yang dipimpin Claverie menghidupkan kembali dua virus yang telah terperangkap dalam lapisan es Siberia selama 30.000 tahun. Dua virus itu dikenal sebagai Pithovirus sibericum dan Mollivirus sibericum.
Kedua virus itu adalah virus raksasa karena tidak seperti virus pada umumnya, keberadaan dua virus itu dapat dilihat di bawah mikroskop biasa. Mereka ditemukan 100 kaki di bawah tanah di tundra pantai. Begitu mereka dihidupkan kembali, virus-virus itu dengan cepat menjadi menular.
Claveria menyatakan, virus dari manusia pertama yang menghuni Kutub Utara bisa muncul. Kita bahkan dapat melihat virus dari spesies hominin yang sudah lama punah, seperti Neanderthal dan Denisova, di Siberia yang penuh dengan berbagai penyakit yang disebabkan virus.
Sisa-sisa Neanderthal pada 30.000-40.000 tahun lalu ditemukan di Rusia. ”Kemungkinan kita dapat menemukan virus dari Neanderthal yang telah lama punah menunjukkan anggapan virus dapat diberantas dari planet ini salah dan memberikan kita rasa aman yang salah pula,” kata Claveria.
Pertempuran antara manusia dengan bakteri dan virus masih jauh dari usai. Selain muncul virus-virus baru, seperti virus korona baru yang mewabah di China dan menyebar ke sejumlah negara, kita juga menghadapi ancaman munculnya bakteri dan virus purba sebagai dampak perubahan iklim.
Oleh EVY RACHMAWATI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 25 Januari 2020