Masa kontrak karya yang akan berakhir tujuh tahun mendatang mendorong PT Vale Indonesia (Tbk) bakal memanfaatkan potensi blok-blok konsesinya. Vale membidik potensi permintaan bahan baku baterai elektrik dari logam nikel yang diperkirakan terus meningkat seiring kemajuan teknologi dan kebutuhan kendaraan ramah emisi.
Di akhir 2018, perusahaan ini bakal mengumumkan rekan kerjanya dari sisi teknologi dan permodalan untuk mengeruk bijih nikel di Blok Bahadopi di Sulawesi Tengah dan Pomalaa di Sulawesi Tenggara. Namun, masih ada sejumlah tantangan karena izin prinsip pemanfaatan kawasan hutan dan ketersediaan sumber energi bagi tempat pengolahan di kedua blok ini masih harus dibenahi.
Vice President PT Vale Indonesia (Tbk) Bernardus Irmanto, Selasa (3/7/2018) malam, di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, mengatakan, rencana investasi masa depan perusahaan ini sangat penting karena bisa memengaruhi pertimbangan pemerintah menerbitkan perpanjangan kontrak karya yang nanti bernama izin usaha pertambangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Pemandangan “lahar” memijar tersebut merupakan slag atau kerak hasil samping dari pengolahan bijih nikel menjadi nickel matte di tempat penampungan PT Vale Indonesia (Tbk) di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018). Saat dibuang, slag ini bersuhu 1.500 derajat Celcius dan saat mengering akan digunakan sebagai bahan pengerasan jalan tambang. Setiap tahun perusahaan tambang ini menghasilkan 80.000 ton nickel matte.
”Tidak seperti tahun 1960-an, sekarang kami harus berkompetisi mendapat kepercayaan pemerintah mengelola kandungan nikel di sini (Sorowako, Bahadopi, dan Pomalaa),” katanya.
Oleh karena itu, Vale menargetkan tahun ini sudah bisa menentukan arah pengembangan bisnisnya, di antaranya memenuhi peta jalan investasi yang disusun. Irmanto mengatakan potensi bisnis yang terbuka di depan mata adalah pasokan baterai mobil listrik.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Tiga Pembangkit Listrik Tenaga Ai (PLTA) yang dikelola PT Vale Indonesia (Tbk) yaitu PLTA Larona, PLTA Balambano, dan PLTA Karebbe di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, memanfaatkan air bertingkat yang saling terhubung antara Danau Matano, Danau Mahalona, dan Danau Towuti. Tampak PLTA Barabbe, penyuplai listrik ramah emisi terbaru yang menyuplai listrik 90 megawatt dari total 365 megawatt dari ketiga PLTA itu. Foto diambil 3 Juli 2018.
Apabila hanya mengandalkan produk nickel matte yang selama ini dihasilkan, kata Irmanto, perusahaannya tidak akan banyak berkembang. Nickel matte yang dihasilkan melalui serangkaian proses pertambangan dan industri, berkisar 70-80 persen terserap untuk bahan pembuatan baja tahan karat. Ia memprediksi kebutuhan nikel pada industri baterai mobil listrik terus meningkat dan matang.
Senior Manager Communications Vale, Budi Handoko, menambahkan, kebutuhan nikel di dunia saat ini sekitar 2,2 juta ton per tahun, dengan kebutuhan baterai 4 persen. Tren kenaikan kebutuhan nikel untuk baterai ini dinilai sangat cepat dan menjanjikan. Selain untuk mobil, baterai juga bisa dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga bayu dan pembangkit listrik tenaga surya.
”Tambang nikel Vale di Indonesia memiliki jenis limonite yang cocok untuk pembuatan baterai mobil listrik. Kandungan limonite ada di Sorowako dan Pomalaa, area konsesi Vale,” kata Budi.
Namun, ia mengakui tantangan ketersediaan sumber energi, terutama untuk tempat pengolahan tambang, menjadi tantangan pengembangan lainnya di Pomalaa dan Bahadopi. Di Sorowako, kebutuhan energi yang sangat besar pada tempat pengolahan itu disuplai dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Larona, PLTA Barambano, dan PLTA Karebbe, yang menghasilkan listrik 365 megawatt, serta cadangan sumber energi pembangkit listrik tenaga uap dan pembangkit listrik tenaga diesel internal.
Ketiga PLTA yang dibangun Vale ini mendapatkan suplai air dari Danau Matano, Mahalona, dan Danau Towuti. Sementara di Bahadopi, Morowali, Sulawesi Tengah, Vale tidak bisa mengandalkan pada energi air. Alternatif-alternatif sumber energi masih dibahas dalam rencana investasi.
”Tidak ada sungai yang bisa dibendung dan punya elevasi untuk membuat PLTA. Yang pernah bicara dengan kami itu Poso Energy. Namun, apa punya jaringan ke Pomalaa dan Bahadopi, itu hal lain,” ujar Budi.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 5 Juli 2018