Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tak lagi bisa mengimbangi ancaman pada hutan beserta keberadaan biodiversitasnya. Modus kejahatan kian bervariasi serta ancaman hukuman yang rendah, membuat perundangan ini ketinggalan zaman.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Foto-foto vulgar yang didapatkan saat operasi di lapangan dan menemukan jerat dipamerkan untuk memeringati Hari Harimau Sedunia, Rabu (31/7/2019) di Jakarta. JJerat satwa ini memperangkap berbagai fauna rimba, termasuk harimau, gajah, badak, dan satwa lain. Jerat ini terbuat dari kawat sling baja maupun tali nilon. Hasil operasi SMART-RBM oleh tim patroli Ditjen KSDAE KLHK mengumpulkan 3.285 jerat dari tahun 2012-2019.
Aparat penegak hukum membutuhkan payung hukum yang kuat untuk menindak tegas pelaku. Selain penegakan hukum untuk menciptakan efek jera, langkah pencegahan membutuhkan pendekatan sosial-ekonomi pada masyarakat sekitar kawasan hutan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“UU 5 tahun 1990 kalau dibandingkan kondisi sekarang sudah tidak memadai. Bagaimana mengungkap tidak diatur, dan hukum acara juga tidak diatur khusus,” kata Komisaris Besar Adi Karya Tobing, Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Rabu (31/7/2019) di Jakarta.
Dalam diskusi memperingati Hari Harimau Sedunia tersebut, kejahatan tumbuhan satwa liar, termasuk perburuan harimau, disebut memiliki eskalasi kejahatan sama dengan peredaran narkotika. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan menyebutkan transaksi kejahatan TSL mencapai Rp 13 triliun. Selain dari nilai nominal transaksi yang tinggi, kesamaan kedua kejahatab tersebut yakni jaringan pelaku di lapangan, penadah, pengumpul, penjual, dan pembeli umumnya terorganisir dengan baik.
Adi Karya mencontohkan pada UU Narkotika, polisi diberi dukungan untuk melakukan pembelian terselubung (undercover buy) yang dibiayai anggaran negara untuk mengungkap jaringan perdagangannya. Namun pada kasus kejahatan tumbuhan dan satwa liar, hal ini tak bisa dilakukan.
Kejahatan tumbuhan dan satwa liar pun telah menyentuh jaringan perdagangan secara daring yang tersembunyi. Ini membutuhkan teknik dan strategi pengungkapan yang membutuhkan biaya maupun kewenangan lebih bagi aparat hukum, terutama penyidik pegawai negeri sipil yang memiliki keterbatasan gerak.
UU 5 tahun 1990 pun membutuhkan revisi dalam hal sanksi pidana penjara maupun denda. Saat ini denda maksimal Rp 200 juta dan kurungan selama maksimal lima tahun tak membuat pelaku yang tertangkap jera.
Ia mencontohkan sebuah kasus TSL di Jawa Barat yang hanya dihukum selama satu tahun dan delapan bulan. Setelah bebas, pelaku tersebut kembali mengulang perbuatannya dengan jejaring yang lebih ketat dan berlapis. Pelaku mengulang perbuatan karena hasil yang didapatkan dari kejahatan tersebut lebih tinggi dari ancaman denda dan kurungan.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengatakan posisi pemerintah masih pada “revisi UU 5 tahun 1990 belum diperlukan”. “Kita optimalkan pasal-pasal yang ada, kita optimalkan pasal berlapis,” kata dia.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno, Rabu (31/7/2019) di Jakarta, memperlihatkan contoh jerat satwa hasil operasi yang ditunjukkan bagi publik. Jerat satwa ini memperangkap berbagai fauna rimba, termasuk harimau, gajah, badak, dan satwa lain. Jerat ini terbuat dari kawat sling baja maupun tali nilon. Hasil operasi SMART-RBM oleh tim patroli Ditjen KSDAE KLHK mengumpulkan 3.285 jerat dari tahun 2012-2019. Jerat ini bisa mematikan karena menyebabkan infeksi. Kehilangan keaneakragaman hayati fauna berdampak langsung pada kelangsungan ekosistemnya.
Meski demikian, ia mengatakan pihaknya akan memberikan masukan pada kabinet yang akan dibentuk Presiden terpilih. “Kita lihat nanti, kerja-kerja lapangan terus dilanjutkan,” kata dia.
Pemerintah, lanjut dia, saat ini sedang menyusun rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyangga Kehidupan, RPP Cagar Biosfer, dan RPP Pemberdayaan Masyarakat sebagai pelaksanaan UU 5 tahun 1990. Keberadaan PP ini, terutama Pemberdayaan Masyarakat akan memperkuat pengamanan dan perlindungan hutan yang melibatkan masyarakat yang mendapatkan manfaat nonkayu dari hutan tersebut.
Revisi UU no 5 tahun 1990 tersebut sejak lama menjadi inisiatif DPR. Namun pemerintah secara resmi menyatakan belum membutuhkan revisi. Materi yang diatur UU No 5 Tahun 1990 masih relevan dengan kondisi saat ini dan diperkuat dengan Rancangan Renaksi Nasional Pengelolaan Terpadu Taman Nasional dan Kawasan Konservasi Perairan Nasional yang disiapkan oleh Kemenko Kemaritiman.
Dalam diskusi, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani pun mengatakan penegakan hukum diperlukan untuk menimbulkan efek jera. Ia mengemukakan saat ini terdapat sejumlah residivis kejahatan TSL bisa jadi karena hukuman kurang keras maupun atmosfir penegakan hukum kurang terasa.
Namun, ia menyebutkan sepanjang tahun 2015 -2019 menangani 260 kasus TSL yang berlanjut ke pengadilan. Jumlah ini lebih dari sepertiga kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan yang ditanganinya.
Terkait kejahatan perburuan dan perdagangan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), ia mengatakan terdapat 2 kasus pada tahun 2015, 10 kasus pada tahun 2016, 19 kasus pada tahun 2017, 6 kasus pada tahun 2018, dan satu kasus pada tahun 2019. Ditambahkan Rasio, kejahatan TSL ini termasuk kejahatan kelompok yang terorganisir, serta memiliki kekuatan atau backing oknum yang “menaungi” kejahatan tersebut.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 1 Agustus 2019