Makin banyaknya jalur masuk seleksi mandiri calon mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada adalah wujud komersialisasi pendidikan. Menjadi mahasiswa kini makin identik dengan kemampuan ekonomi membayar sumbangan. Pendidikan untuk lompatan sosial dipertanyakan.
Menurut pengamat pendidikan, Darmaningtyas, dominasi penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri harus dihentikan. Pola penerimaan mahasiswa baru di UGM cenderung menguntungkan calon mahasiswa yang mampu secara ekonomi karena bisa berkali-kali ikut seleksi melalui berbagai jalur. “Komersialisasi akan menggerogoti mutu UGM. Tanpa perubahan, tinggal menunggu waktu runtuhnya UGM,” ujarnya, Jumat (24/9).
Perbaikan sistem penerimaan mahasiswa baru, ujar Darmaningtyas, perlu segera dilakukan. Darmaningtyas berpendapat, jalur penerimaan mahasiswa baru akan lebih baik jika dikembalikan seperti di masa Orde Baru dengan dua jalur penerimaan, yaitu penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) dan ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). Dengan itu, mahasiswa dengan latar belakang ekonomi apa pun berkesempatan sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Administrasi dan Akademik UGM Yogyakarta Budi Prasetyo Widyobrato mengatakan, unit cost pendidikan atau biaya untuk mencetak mahasiswa di UGM saat ini besarnya sekitar Rp 14 juta setahun atau Rp 1,16 juta sebulan. Biaya di UGM ini terbilang murah jika dari standar unit cost pendidikan secara nasional yaitu Rp 18 juta setahun atau sekitar Rp 1,5 juta sebulan.
Anak petani
Unit cost pendidikan di perguruan tinggi ini jauh lebih tinggi dari upah minimum provinsi DI Yogyakarta sebesar Rp 750.000. Tingginya perbandingan ini setidaknya memberi gambaran jauhnya biaya pendidikan tinggi untuk masyarakat yang bermimpi sejahtera. Akibatnya, mayoritas mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke atas.
Sejumlah sumber dana digunakan untuk meringankan biaya pendidikan seperti beasiswa, bantuan dana, dan subsidi silang. “Kalau tidak ada sumber dana lain, biaya perguruan tinggi yang ditanggung masyarakat akan sangat mahal. Dengan adanya bantuan, kami bisa memberi beasiswa pada 28 persen mahasiswa,” katanya.
Dari data mahasiswa UGM, jumlah mahasiswa angkatan 2009/2010 dari jalur ujian tertulis yang orangtuanya petani dan nelayan berjumlah 142 orang. Pekerjaan orangtua terbanyak adalah pegawai negeri sipil, yaitu 1.596 orang, termasuk di antaranya sejumlah pejabat di level nasional.
“Memang banyak pejabat yang mengirimkan anaknya ke sini. Mereka rata-rata alumni sini juga,” ucapnya.
Pendidikan yang dikuasai kekuatan kapital, menurut Darmaningtyas, tidak lagi mencerminkan semangat kerakyatan. Banyaknya jalur seleksi mandiri penerimaan mahasiswa baru juga memunculkan kastanisasi pendidikan. Apalagi, jalur-jalur seleksi mandiri menjadi salah satu cara pengumpulan dana pendidikan.
Keberhasilan pengumpulan dana pendidikan tergambar dari Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan (RKAT) UGM yang lebih besar dari APBD DIY.
Menurut Direktur Kemahasiswaan UGM Haryanto, total anggaran UGM dalam satu tahun bisa mencapai Rp 2 triliun atau melebihi APBD DIY yang hanya Rp 1,4 triliun.
Haryanto mengatakan, hasil audit keuangan UGM menunjukkan laporan wajar tanpa pengecualian. Audit dilakukan satuan audit internal UGM maupun eksternal seperti oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. “Dana kembali ke proses. Kita harus bersyukur karena UGM bertahan ketika banyak perguruan tinggi lain gulung tikar,” ujar Haryanto.
Pertanyaannya, untuk apa dan untuk siapa UGM kini bertahan? (IRE/WKM)
————–
Sepeda Yuniasih di UGM
Yuniasih (18) tak pernah berani berharap dapat kuliah di Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta. Pendapatan ayahnya yang buruh serabutan tak akan cukup membiayai kuliahnya. Saat mimpi itu menjadi nyata, Yuniasih tetap memijakkan kaki dengan sepeda.
Setiap kali berangkat kuliah, Yuniasih mengayuh sepeda hadiah dari UGM. Deretan mobil-mobil baru yang diparkir menyesaki jalan dan halaman kampusnya dilintasi. Di dalam tasnya tak ditemukan laptop apalagi Blackberry yang menjadi semacam isi wajib tas teman-temannya.
Yuniasih memang berbeda dari teman-temannya di Fakultas Psikologi UGM. Dia masuk ke UGM sebagai penerima beasiswa penelusuran bibit unggul tak mampu (PBUTM). Selama empat tahun kuliah, Yuniasih tidak dipungut biaya.
Karena tiadanya biaya, tak pernah sekali pun terbersit di benak warga Jetis, Yogyakarta, itu dapat kuliah di UGM. Tiga kakaknya hanya lulus SMK karena pendapatan orangtua mereka Rp 100.000 sebulan. “Saya diterima PBUTM karena didaftarkan guru saya. Kalau dari jalur biasa, tak mungkin orangtua saya mampu bayar sumbangan Rp 5 juta itu,” ujarnya, Jumat (24/9).
Dari sekitar 7.000 mahasiswa baru di UGM, kurang dari 20 orang mendapat beasiswa penuh seperti Yuniasih. Mereka merupakan anak-anak tak mampu dengan kecerdasan jauh di atas rata-rata.
Mahasiswa-mahasiswa tak mampu ini merupakan keunikan tersendiri di antara mahasiswa UGM yang banyak dari kalangan mampu. Sejumlah besar fakultas di UGM didominasi mahasiswa dari kalangan mampu. Tentu saja, yang mampu adalah orangtua dan keluarga mereka.
Jalur mahal
Mencari mahasiswa berkelimpahan di Fakultas Kedokteran UGM, misalnya, lebih mudah dibanding mencari mahasiswa dari kalangan tidak mampu. Mayoritas mahasiswa berseliweran di lingkungan kampus dengan aneka tentengan barang berteknologi tinggi keluaran terbaru.
Laptop, Blackberry, Ipad, hingga mobil mewah mudah ditemui di fakultas yang menjadi penyumbang dana tertinggi di UGM ini. Pada pendaftaran mahasiswa baru tahun 2010, Fakultas Kedokteran menjadi jalur mahal yang paling diminati. Tingginya status sosial mahasiswa antara lain bisa disaksikan dari sesaknya lokasi parkir mobil di kampusnya. Larangan parkir di lokasi parkir dosen sampai harus diberlakukan supaya pengajar yang juga gemar memakai mobil tidak kesulitan mencari lahan parkir.
Mahasiswa semester I Fakultas Kedokteran UGM asal Medan, Handri, misalnya, mengaku tak bisa membayangkan jika nanti harus bersentuhan dengan orang miskin di pedesaan ketika pendidikan koas (magang sebagai dokter) menjelang kelulusan. “Sejak kelas 2 sekolah dasar, saya sudah tinggal di Qatar. Belum bisa membayangkan bagaimana nanti melayani orang miskin,” katanya.
Dengan uang masuk 10.000 dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 89 juta, Handri memilih mengambil program internasional dengan biaya kuliah per tahun sebesar 3.000 dollar AS. “Saya tak biasa dengan bahasa Indonesia sehingga memilih program internasional,” ujar Handri.
Meskipun mahal, Handri tertarik mengambil kuliah di Fakultas Kedokteran UGM karena telah berstandar internasional. Menargetkan penyelesaian kuliah dalam lima tahun, ia memilih akan melanjutkan kuliah S-2 di luar negeri untuk jalur spesialisasi kedokteran.
Nantinya, Handri pun ingin bekerja sebagai dokter di luar negeri. Status sosial dan ekonomi para mahasiswa juga tercermin dalam gaya hidupnya. Indarwati (19) dari Program Internasional Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM naik taksi setiap hari untuk pulang dan pergi ke kampusnya.
Setiap bulan, Indarwati menerima kiriman uang saku Rp 2,5 juta dari orangtuanya. Untuk kuliah mahasiswa asal Jakarta itu membayar Rp 20 juta per semester.
Jumlah ini tak menjadi beban bagi orangtua Indarwati yang mewarisi bisnis keluarga dan hendak mewariskannya kepada anaknya. Namun, orang-orang seperti Yuniasih harus menunggu beasiswa untuk bisa bermimpi melompati kemiskinan yang menjerat keluarga mereka. Pendidikan tinggi sebagai loncatan sosial tidak lagi memihak mereka. (WKM/IRE)
Sumber: Kompas-DIY, 25 September 2010