SEBELAS MARET bagi bangsa Indonesna merupakan tonggak sejarah yang tidak bisa dihilangkan begitu saja karena peristiwa pada tanggal itu tepatnya, 26 tahun yang lalu, telah mengukir perjalanan politik yang sangat vital bagi Bangsa Indonesia. Dengan bergantinya sistem pemerintahan dari Orde Lama menjadi Orde Baru, melalui keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret yang dimandatkan oleh Presiden Soekarno untuk dilaksanakan Pangab pada waktu itu Mayor Jendral Soeharto, yang akhirnya menjadi Presiden Indonesia hingga saat ini.
Peristiwa bersejarah itu, 10 tahun kamudian terpatri menjadi nama Perguruan Tinggi Negeri yang terletak di kota Solo. Dan pada hari Rabu ini 11 Maret 1992, Universilas Sebelas Maret yang diharapkan mampu mencetak sarjana-sarjana yang bisa menjadi penerus dari tonggak sejarah yang telah ditancapkan itu, telah memasuki usianya yang ke-16 atau dwi windu.
Perjalanan usia 16 tahun itu apabila diumpamakan seorang anak sedang memasuki masa efektif (12-20 tahun) yang ditandai dengan semangat untuk melakukan aktivitas serta mencari dan mengejar prestasi semaksimai mungkin. Dalam usaha menancapkan identitas dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu, tidak berbeda dengan UNS. Memasuki usia yang ke-16 ini perjalanan untuk mencari identitas diri, serta tantangan yang harus dihadapinya karena tuntutan yang sudah harus dipikulnya menjadi warna dari tanggung jawab yang harus disandang seluruh civitas akademikanya.
UNS memang berkembang dengan pesat. Memiliki fasilitas kampus yang terbilang paling megah di Jawa Tengah. Dengan bangunan kampus yang bercirikan khas rumah adat Jawa Tengah” joglo”, ditambah lagi dengan pertamanan serta pepohonan yang semakin rimbun mengelilingi kawasan kampus yang kondisi tanahnya berbukit-bukit. Dan saat ini, bisa dikatakan bahwa UNS adalah Kampus “hijau” yang tidak kalah dengan UGM yang sudah dikenal dari dulu sebagai Kampus “Biru”.
Tetapi, kemegahan serta kebanggaan bagi segenap civitas akademikanya itu, yang kadang membikin “iri” Perguruan Tinggi lain yang sudah lama berdiri. Dihadapkan oleh berbagai tantangan yang harus dihadapinya, dan jawaban dari tantangan itu apakah di usianya yang sudah mencapai 16 tahun ini, UNS sudah mampu untuk menjawab problem yang ada di sekitarnya?
Salah satu yang mempertanyakan tentang ke “aku”an UNS dengan segala realita yang sudah dilaksanakan itu, pernah diungkapkan Ketua Komite Politik Presidium GMNI, Ananta Vahana dalam sarasehan di Sekretanat DPC GMNI Solo.
Dalam sarasehan itu, ia menegaskan bahwa lembaga perguruan tinggi sudah harus mempunyai kepedulian terutama dalam menjawab problem-problem yang ada di sekitarnya, atau minimal mendeskripsikan dengan kondisi yang ada di sekitarnya. “Keterkaitan dan ketergantungan dengan fungsi mendidik secara ilmiah, dan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara logis harus tersirat pada tuntutan adaptasi dengan lingkungan masyarakat umum,” kata Ananta waktu itu.
Sudah seharusnyalah dalam fungsi itu, perguruan tinggi harus ada relevansinya dengan kebutuhan dari masyarakat yang kadang-kadang sangat perlu dan mendesak untuk dipikirkannya. OIeh karena itu, fungsi perguruan tinggi bukan Iagi semata-mata harus sebagai transfer of knowledge. Tetapi ironisnya kata Ananta, kita sering melihat pada tingkat ini saja (fungsi menjawab atau mendiskripsikan problem sekelilingnya) perguruan tinggi belum mampu untuk mewujudkannya.
Lalu bagaimana dengan UNS sendiri? Pada awalnya UNS itu didirikan untuk memenuhi harapan masyarakat Solo, guna menopang dan mengembangkan eksistensi kota Solo. Dilain pihak dari sisi kemahasiswaan UNS diharapkan dapat melahirkan intelekuial-intelektual yang berkualitas “komplit” atau sarjana yang sujana.
Tetapi dalam kenyataannya sampai sekarang kelihatannya hal tersebut masih jauh dari kenyataan. Sebab UNS sebagai lembaga pendidikan masih terperangkap pada pengejaran pencapaian target lulusan yang sebanyak banyaknya.
Kebijakan itu jelas akan mempengaruhi kehidupan kemahasiswaannya, yang mengarah pada situasi yang pragmatis minimalis.”Oleh karena itu, UNS perlu untuk melakukan penataan-penataan kembali.“
MENJAWAB pertanyaan tentang kredibilitas UNS terhadap serta tanggung jawab yang harus dipikulnya dari tuntutan warga kota Solo, Rektor UNS Prof Dr Kunto Wibisono memberikan pernyataan, “secara jujur bisa saya katakan bahwa rasa kepedulian dari segenap civitas akademika UNS baik itu staf pengajar dan mahasiswanya terhadap keberadaan perguruan tinggi yang mempunyai tanggung jawab pada masyarakat sekitarnya memang dirasa masih kurang”.
Sebetulnya dengan kondisi UNS sekarang ini yang telah sarat dengan segala fasilitas yang ada, mahasiswa atau dosen bisa mengembangkan kemampuan serta daya inovasinya di dalam mengejar pengetahuan, serta ilmu yang digelutinya. Dan, kalau mereka sadar, UNS selalu memberikan kebebasan bagi civitas akademikanya kalau ingin melakukan kiprah terhadap tantangan atau problem yang dihadapi masyarakat di luar kampus. Sebab, sarana dan prasarana untuk menjawab problema itu, telah dimiliki UNS. Seperti misalnya, Lembaga-lembaga penelitian serta Pengabdian yang ada memang didirikan untuk menjawab kepedulian UNS terhadap masyarakat sekitar Solo.
Hanya saja, lanjut rector, kadang UNS yang usianya masih muda masih dianggap belum mampu dan belum bisa atau cenderung diremehkan kemampuannya untuk menjawab problema yang ada di masyarakat sekarang ini.
“Hal ini tidaklah benar. Janganlah usia yang masih muda itu menjadi kambing hitam dari sifat ketidak mampuan. Keberadaan perguruan tinggi sehingga mampu “eksis” di mata masyarakat itu, tidak bisa diukur dari umur. Karena terkenalnya sebuah perguruan tinggi, kalau masyarakat akademiknya memang mempunyai rasa kepedulian serta rendah diri,” ungkap Prof Kunto Wibisono.
Universitas Cenderawasih Irian Jaya itu, bisa dijadikan contoh. Meskipun usianya masih muda, ternyata dengan semangat kepeduliannya dan perasaan rendah diri, saat ini telah menciptakan perasaan “ekses”dari masyarakat sekitarnya.
UNS yang sekarang ini mempunyai mahasiswa kurang lebih 17.986 orang, dengan jumlah fakultas 8, yaitu: Fakultas Sastra, KIP, Hukum, Ekonomi, ISIP, Kedokteran, Pertanian, dan Teknik. Dalam wisudanya yang ke-44 menjelang dies ke-16, telah menelorkan sarjana sebanyak 18.958 orang. Ini berarti jumlah lulusan dari UNS telah melampaui jumlah mahasiswanya sekarang.
Dengan jumlah lulusan sebanyak itu maka tanggung jawab serta beban berat semakin dipikul para dosennya. Karena bagaimana pun juga kredibilitas serta kemampuan dosen dalam menerapkan ilmunya kepada mahasiswanya sangat diperlukan sekali. Dan mutu sarjana tidak bisa dipungkiri pula, tergantung dari kualitas dosennya.
Hanya saja, apakah desen-dosen di lingkungan UNS sekarang ini sudah semakin sadar akan tuntutan yang dipikulnya untuk menelorkan sarjana yang sujana. Dan tidak menjadi sarjana yang akhirnya menjadi beban masyarakat dan negara, karena tidak mampu diterima dalam dunia yang semakin kompetitif.
Rasa optimis menjadikan UNS menelorkan sarjana yang siap pakai memang masih merupakan kendala, apabila yang dikatakan Dr Muhajir Darwin, staf pengajar Fisip UNS yang mengatakan, masih banyak dosen di UNS ini yang melakukan penelitian hanya asal-asalan hanya karena untuk mengejar cum saja. Kalau hal itubetul, rasanya tanggungjawab dosen untuk mencetak sarjana yang sujana perlu untuk dipertanyakan.
Jalan yang perlu ditempuh pimpinan UNS sekarang ini, menyediakan sarana perpustakaan dengan isinya yang lebih lengkap. Yang menurut Eddy Abdul Malik, mahasiswa Fisipol jurusan Administrasi Negara, yang juga mantan Ketua SMPT UNS bahwa fasilitas perpustakaan di lingkungan UNS sekarang ini masih kurang. Tidak sehebat dengan pembangunan sarana gedung yang megah di bumi Kentingan itu.
“Kita tidak perlu sedih kalau ada dosen yang disangsikan kredibilitasnya, asalkan kita tetap percaya terhadap kualitas buku yang kita baca, karena buku jelas tidak akan membohongi kita” kata Eddy Abdul Malik. (lex)
Sumber:Harian Bernas, 11 Maret 1992