Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, melalui Center for Plasma Research atau CPR, mengembangkan mesin penghasil ozon untuk penanganan medis. Ozon yang dihasilkan dari oksigen murni itu dapat mengobati luka lebih cepat ketimbang penanganan biasa.
Guru Besar Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro (Undip) Muhammad Nur mengatakan, pada prosesnya, oksigen dari tabung masuk ke dalam reaktor di dalam mesin. Kemudian, dihasilkan ozon dengan tingkat konsentrasi yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Guru Besar Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro Muhammad Nur (kiri) menunjukkan mesin Medical Ozone di Pusat Penelitian Plasma (CPR) Undip, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/10/2019). Alat itu menghasilkan ozon dari oksigen murni yang dapat dimanfaatkan untuk mengobati luka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada penderita luka mengelupas di kaki, misalnya, melalui selang, ozon dialirkan ke sekitar kaki yang telah dibalut gelembung plastik (bagging). Sisa ozon proses tersebut dialirkan ke tempat pemusnahan agar udara tidak terkontaminasi. Setelah itu, kaki juga diberi minyak dengan kandungan ozon.
”Saat masuk (ke dalam gelembung), ozon akan membunuh kuman-kuman pada bagian luka. Selain itu, juga menstimulasi pertumbuhan jaringan baru sehingga penyembuhan bisa cepat,” kata Nur, yang juga pendiri CPR, di kampus Undip, Kota Semarang, Kamis (10/10/2019).
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Guru Besar Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro Muhammad Nur, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/10/2019).
Nur menuturkan, teknologi terapi ozon telah ada di sejumlah klinik di Indonesia, tetapi menggunakan mesin impor. Sementara M’Ozone yang ia kembangkan sepenuhnya dirancang dan diproduksi oleh CPR Undip. Penerapan teknologi pada mesin itu sepenuhnya terukur dan berstandar internasional.
Salah satu percobaan M’Ozone yang telah dilakukan yakni pada tikus. ”Hasilnya sangat baik. Dalam 14 hari, luka pada tikus yang diberi ozon, termasuk dengan dioleskan minyak ozon, sembuh. Hasil berbeda didapati pada luka tikus yang tidak ditangani dengan ozon,” ujar Nur.
Pada beberapa kasus di Indonesia, kata Nur, terapi ozon membuat penderita diabetes yang sebelumnya harus diamputasi menjadi tidak perlu. Adapun M’Ozone, yang mulai dikembangkan pada 2018, sudah diproduksi enam unit untuk keperluan penelitian dan praktik dengan pasien masyarakat umum.
Legalitas
Nur menambahkan, setelah menguasai teknologi mesin tersebut, kini M’Ozone menuju legalitas dalam pemanfaatannya. ”Tentu ada aspek kajian kedokteran, tingkat bahaya dan lainnya. Dengan didukung kampus, berikutnya kami mengajukan ke Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Peneliti CPR Undip, Maryam Restiwijaya, menambahkan, terapi ozon, termasuk yang sudah ada di Indonesia, tak hanya untuk penyembuh luka. Ada juga untuk terapi peningkatan daya tahan tubuh dan kecantikan. Namun, saat ini pihaknya masih fokus pada penananganan luka luar.
”Segala pemanfaatan ozon ini bergantung dosisnya. Pada penanganan luka dengan bagging, misalnya, (konsentrasi) ozon berkisar 80-100 ppm (part per million). Sementara jika sudah pada tahap terapi, lebih rendah, yakni 20-30 ppm,” kata Maryam.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Suasana di Teaching Industry, Pusat Penelitian Plasma (CPR) Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/10/2019). Sejumlah produk yang telah dihasilkan antara lain D’Ozone, M’Ozone, dan Zeta Green.
Maryam menambahkan, saat ini baru Jerman, Rusia, dan Amerika Serikat yang benar-benar konsisten dalam pemanfaatan ozon untuk medis. Dalam pengembangan M’Ozone, pihaknya mengacu pada standar yang diterapkan Jerman, mulai dari alat, komponen, pemakaian, hingga cara kerja.
Sebelumnya, Wakil Rektor IV Undip Ambariyanto menuturkan, pihaknya terus mendorong peningkatan riset dan inovasiyang didukung peta jalan laboratorium riset. Pada 2019, tersedia dana riset dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sebesar Rp 49 miliar untuk Undip.–ADITYA PUTRA PERDANA
Editor GREGORIUS FINESSO
Sumber: Kompas, 11 Oktober 2019