Tim peneliti Institut Pertanian Bogor tengah meneliti predator alami hama ulat grayak jagung. Hama dari Amerika Tengah yang sangat merusak ini telah menyebar di 12 provinsi di Indonesia.
–Ciri-ciri fisik hama baru ulat grayak jagung atau Spodoptera frugiperda dari Amerika Tengah yang kini mewabah di sejumlah daerah di Indonesia. Sumber: Dewi Sartiami dkk, IPB, 2019
Hama tanaman jagung dari Amerika Tengah yang dikenal sangat merusak yaitu, ulat grayak jagung atau Spodoptera frugiperda, diketahui telah masuk di Indonesia. Sejak pertama kali dideteksi keberadaannya di daerah Pasaman Barat, Sumatera Barat pada Maret 2019, hama ulat grayak ini sudah menyebar di 12 provinsi dan dikhawatirkan bisa menghancurkan produksi jagung nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Temuan tentang keberadaan ulat grayak jagung ini disampaikan para peneliti dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dalam lokakarya di Bogor, Senin (15/7/2019). Hadir dalam diskusi para akademisi, dinas pertanian sejumlah daerah, sejumlah direktorat di Kementerian Pertanian, dan praktisi budidaya tanaman dan obat-obatan.
“Kami mengidentifikasi pertama keberadaan Spodoptera frugiperda ini pada 26 Maret 2019 di Pasaman Barat,” kata Dewi Sartiami, pengajar dari Departemen Proteksi Tanaman IPB, mewakili tim survei. Selain Dewi, tim survei IPB beranggotakan Dadang, Idham Sakti Harahap, Yayi Munara Kusumah, Ruly Anwar, dan Hagia Shopia Khaira.
Sebulan kemudian, ulat grayak ini ditemukan dalam skala luas di Aceh dan Sumatera Utara. Bisa juga Aceh lebih dahulu, mengingat lebih dekat dari daratan Asia Tenggara yang memang sudah lebih dahulu terserang. Kini, hama tanaman ini telah ditemukan di hampir seluruh wilayah Sumatera, Kalimantan Barat, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
“Survei di lapangan menemukan, ulat ini menyerang tanaman jagung saat daun masih menggulung sehingga saat membuka tampak gejala lubangnya simetris. Ulat ini juga dijumpai di dalam tongkol jagung. Dalam satu tanaman bisa sampai 11 ekor ulat,” kata Dewi. Selain daun, hama ini diketahui juga memakan biji jagung.
Selain beberapa ciri fisik, seperti adanya penanda huruf “Y” terbalik di bagian kepala, garis berwarna pucat di dorsal tubuh, dan garis tebal berupa pita yang memanjang di bagian bawah, Spodoptera frugiperda ini juga dikonfirmasi berdasarkan molukuler.
Menurut Dewi, ulat grayak ini telah lama menjadi hama utama jagung di Amerika Tengah. Namun, pada tahun 2016 hama ini diketahui mewabah di Afrika dan berikutnya pada 2018 menyebar di India. Pada Januari 2019 hama ulat ini dilaporkan menyebar di China dan Maret 2019 di Thailand.
Kerusakan tanaman jagung akibat serangan ulat grayak jagung atau Spodoptera frugiperd. Hama ini diketahui sangat invasif dan bisa menurunkan produksi tanaman jagung hingga 40 persen.
–Sumber: Dewi Sartiami dkk, IPB, 2019
Dampak serangan
Guru Besar Ahli Pengendalian Hama Terpadu IPB Aunu Rauf mengatakan, laporan dari sejumlah negara menunjukkan, ulat ini bisa menyerang tanaman hingga tingkat 100 persen dengan penurunan produksi jagung di Afrika sebesar 11,57 persen, di Nicaragua hama ini menurunkan produksi jagung 15-30 persen, Indiana (Amerika Serikat) 15,3 – 18,6 persen, dan Brazil kehilangan 34 persen produksi jagungnya.
Di Indonesia, meski diketahui telah menyebar di 12 provinsi sejak ditemukan pertama kali pada Maret 2019, belum diketahui berapa luas lahan yang terserang hama ini.
Menurut Aunu, sebetulnya ulat grayak asli Indonesia juga ada, bahkan mencapai tujuh jenis. “Di lapangan tidak semua ada jenis, bahkan jarang sekali ditemukan, karena ada musuh alaminya. Kalau jenis Spodoptera frugiperda ini memang hama baru masuk dan harus diwaspadai karakternya, termasuk dicari predator alaminya,” kata dia.
Menurut Aunu, penyebaran Spodoptera frugiperda ke Afrika pada 2016 merupakan awal penyebaran hama ini secara global. Ada tiga kemungkinan penyebarannya, yaitu dengan cara terbang dan melalui bantuan angin. Imago (fase dewasa) serangga ini berupa jenis ngengat yang memiliki kemampuan terbang sangat kuat, yaitu mencapai 100 km per malam. Di Amerika Tengah, serangga ini diketahui terbang hingga 500 km sebelum meletakkan telurnya.
Kemungkinan kedua, karena terbawa komoditas lain yang diperdagangkan yang membawa telur ulat ini. Berikutnya, indukan serangga ini bisa menjadi penumpang gelap pada pesawat.
Kemungkinan terbawa angin dianggap kecil peluangnya karena arah angin justru dari Afrika ke Amerika. “Lagi pula, kalau karena terbawa angin kenapa baru sekarang? Padahal, serangga ini sudah mewabah di Amerika sejak 1901 Sedangkan ekspor komoditas pertanian dari Amerika ke Afrika juga kecil,” kata dia.
Dengan data-data ini, peluang terbesarnya sebagai penumpang gelap di pesawat dari Amerika ke Afrika. Berikutnya, dari Afrika ke Asia hingga ke Indonesia, menurut Aunu, serangga ini bisa menyebar dengan banyak cara, salah satunya dengan terbang dan terbawa angin.
Menurut Aunu, berbagai kajian menunjukkan, serangga ini memiliki dua strain, yaitu corn strain (strain jagung) yang biasa menyerang jagung, sorgum, dan kapas. Berikutnya, rice strain (strain padi) yang biasa menyerang jagung, padi, dan rerumputan.
Total lebih dari 80 spesies dari 23 famili tanaman yang bisa dimakan. Sekalipun tanaman utama yang diserang terutama anggota Poaceae seperti jagung, sorgum, gandum, padi, tebu, dan rerumputan, serangga ini juga bisa menyerang kapas, kacang tunggak, kedelai, kentang, stroberi, pepaya, dan apel.
Kepala Departemen Proteksi Tanaman IPB Suryo Wiyono mengatakan, untuk mengatasi serangan hama baru ini dibutuhkan kolaborasi dan langkah segera dari banyak pihak. Dari kalangan akademisi, IPB berkomitmen untuk melakukan riset dan monitoring, termasuk mencari predator dan patogen utama hama ini.
“Yang jelas, jangan buru-buru menggunakan pestisida karena ulat ini di Amerika sudah menunjukkan resisten terhadap pestisida. Langkah jangka pendek yang bisa dilakukan petani adalah dengan mengumpulkan telur dan larva ulat dan memusnahkannya,” kata Suryo.
Aunu menambahkan, ada beberapa musuh alami yang berpeluang mengendalikan hama ulat grayak jenis baru ini. Di antaranya tomcat (Coleoptera) dan cocopet (Dermaptera).
Dewi juga menemukan, berdasarkan survei di lapangan, sebagian ulat grayak ini terserang cendawan Metarhizium rileyi dan kemudian mati. Diduga kuat, cendawan ini merupakan salah satu patogen dari ulat grayak. “Kami masih teliti untuk kepastian apakah cendawan ini bisa jadi musuh alaminya,” kata Dewi.–AHMAD ARIF
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 16 Juli 2019