Ular Berbisa; Jenis Anti Bisa Minim, Angka Kematian Tinggi

- Editor

Senin, 27 Juli 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tingkat kematian kasus gigitan ular diyakini tinggi. Salah satu penyebabnya adalah jenis anti bisa tak cocok dengan karakter bisa pada ular yang menggigit mengingat jenis ular berbisa di Indonesia beragam. Pemerintah didorong bekerja sama dengan negara produsen anti bisa agar mampu menyediakan anti bisa lebih beragam dengan harga murah.

“Data 2011-2014, tingkat kematian 40 persen. Setelah itu, saya terhubung dengan lebih banyak rumah sakit sehingga tingkat kematian diyakini mencapai 50 persen,” kata Kepala Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Dr H Koesnadi Bondowoso, Jawa Timur, Tri Maharani, Minggu (12/7).

Data dimaksud adalah jumlah kasus gigitan ular pada 2011-2014 di rumah sakit di lima kota, yakni Malang, Surabaya, Serang, Batam, dan Merauke. Hasilnya, angka kejadian lebih dari 200 kasus. Jumlah itu bisa lebih banyak karena ada yang hanya dibawa ke puskesmas atau dukun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Maharani, yang juga merupakan pakar gigitan ular dan toksikologi, salah satu faktor utama kematian adalah jenis anti bisa ular Indonesia minim. Serum yang ada hanya polivalen produksi Biofarma untuk kasus gigitan ular kobra (Naja sputatrix), welang (Bungarus fasciatus), dan ular tanah (Agkistrodon rhodostoma). Serum polivalen memang dapat mengobati gigitan lebih dari satu jenis ular, tetapi efektivitasnya lebih rendah daripada serum monovalen (spesifik untuk satu jenis ular).

Di Indonesia, banyak kasus gigitan ular selain jenis yang bisa ditangani polivalen. Di Bondowoso, misalnya, ada 40 kasus gigitan ular dalam tiga bulan terakhir atau 13 kasus per bulan. Dari total tersebut, 35 kasus (87,5 persen) diakibatkan gigitan ular hijau (Trimeresurus albolabris).

Maharani menyatakan, akhir pekan lalu, satu pasien anak laki-laki dan satu laki-laki dewasa masuk Jumat (10/7) dan satu ibu hamil masuk Sabtu (11/7) ke IGD RSUD Dr H Koesnadi. Ketiganya digigit ular hijau.

Karena serum polivalen di Indonesia tak bisa menangani gigitan ular hijau, Maharani terpaksa membeli serum monovalen Green Pit Viper Antivenin produksi Thailand. Malaysia mengimpor seharga 250 dollar AS (sekitar Rp 3,3 juta) per ampul (10 mililiter). “Karena saya kenal produsen dan membeli insentif, saya dapat pengurangan harga menjadi 60 dollar AS (sekitar Rp 800.000) per ampul,” ujarnya.

a50e7c15ec1041e89236f3b0cd0cd258FOTO-FOTO: LIPI/AMIR HAMIDY–Wujud ular hijau (Trimeresurus albolabris) di Taman Nasional Baluran, Situbondo, perbatasan dengan Bondowoso, Jawa Timur, yang difoto 19 April 2007. Sebanyak 87,5 persen kasus gigitan ular di Bondowoso disebabkan jenis ular itu. Sayangnya, serum anti bisa ular di Indonesia tidak untuk menangani gigitan ular hijau.

Maharani mendesak pemerintah bernegosiasi dengan Thailand agar bisa mengimpor anti bisa ular dengan harga lebih murah. “Jika menunggu riset selesai, angka kematian keburu naik lagi,” katanya. Sambil mengimpor, pemerintah juga tetap wajib memacu penelitian untuk menghasilkan anti bisa beragam. Untuk itu, riset data jenis ular yang paling banyak menggigit manusia per daerah perlu dibuat.

Jenis prioritas
Amir Hamidy, peneliti herpetologi (mempelajari reptilia dan amfibi) pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan, Indonesia memiliki sekitar 370 jenis ular, tetapi hanya 45 jenis di antaranya yang berbisa. Jumlah jenis serum monovalen yang dibutuhkan Indonesia tidak perlu sebanyak total jenis ular berbisa, tetapi pemerintah bisa membuat prioritas menurut data jenis ular yang paling banyak menggigit.

Untuk Indonesia barat, mulai Sumatera hingga Nusa Tenggara, kemungkinan hanya 15 jenis yang biasa menggigit. Di wilayah Indonesia timur yang mencakup Maluku dan Papua, terdapat dua ular yang umum menyebabkan kasus gigitan, salah satunya ular putih (Micropechis ikaheka).

Pada sisi lain, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan menghadapi kasus gigitan ular. Itu karena tidak semua kasus bisa ditangani serum polivalen. Bahkan, pada kasus tertentu, polivalen malah bisa menjadi racun karena tidak cocok dengan jenis bisa.

Amir juga berharap tenaga kesehatan senantiasa berkonsultasi dengan ahli herpetologi jika menemui kasus gigitan. Konsultasi dilakukan agar jenis ular yang menggigit dapat diidentifikasi sebelum memberi anti bisa. (JOG)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juli 2015, di halaman 14 dengan judul “Jenis Anti Bisa Minim, Angka Kematian Tinggi”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
BJ Habibie dan Teori Retakan: Warisan Sains Indonesia yang Menggetarkan Dunia Dirgantara
Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Berita ini 93 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Rabu, 11 Juni 2025 - 20:47 WIB

Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB