Ujian Keabadian Salju Puncak Jaya

- Editor

Jumat, 13 Desember 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indonesia dan dunia harus bersiap-siap mengalami kehilangan yang sangat cepat lapisan es pada Puncak Jaya Papua dalam sepuluh tahun ke depan. Itu akan terjadi jika laju pemanasan global seperti sekarang.

Grafis penyusutan es Puncak Jaya Papua. Sumber: jurnal pada https://www.pnas.org/content/early/2019/12/03/1822037116

Hasil riset terbaru menunjukkan Indonesia dan dunia harus bersiap-siap mengalami kehilangan yang sangat cepat lapisan es pada Puncak Jaya Papua. Bila kondisi penghangatan global terus berlangsung seperti ini maka dalam waktu kurang dari 10 tahun mendatang satu-satunya puncak es di Indonesia, ini hanya tinggal cerita masa lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bahkan bagi dunia, kehilangan es Puncak Jaya Papua ini pun menjadi penanda kuat akan peristiwa serupa yang bisa terjadi pada es di Quelccaya di Peru (bagian Pegunungan Andes di Amerika Selatan) dan Kilimanjaro di Tanzania Afrika. Dampak pencairan es ini secara langsung pada kenaikan muka air laut hingga kehilangan ekosistem unik salju tropis yang belum banyak diteliti di Indonesia.

Dalam riset yang dipublikasikan Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) pada 9 Desember 2019, peneliti BMKG Donaldi S Permana dan sejumlah peneliti, melaporkan El Nino pada 2015 telah mencairkan es hingga 5,4 kali dibandingkan pencairannya per tahun. Ini didasarkan dari pengamatan yang dilakukannya bersama Ohio State University serta sejumlah lembaga mulai tahun 2010.

Judul publikasi Disappearance of the Last Tropical Glaciers in The Western Pacific Warm Pool (Papua, Indonesia) Appears Imminent tersebut menempatkan Donaldi sebagai penulis utama. Selain itu terdapat sejumlah nama dari Ohio State University, Indiana University, Russian Academy of Sciences, University of Louisville, University of Bern, University of Maryland, Universidad de Concepcion Peru, dan PT Freeport Indonesia.

Pada tahun 2010, peneliti mengambil lapisan inti paling tebal dengan kedalaman sekitar 32 meter. Penelitian ini menyusul pengambilan sampel inti es pada pegunungan tropis yang telah dilakukan sebelumnya di Andes (1987) dan Kilimanjaro (2002). Di Pegunungan Puncak Jaya tersebut, tim peneliti mengambil tiga es inti di Puncak Sumantri dan Puncak Sukarno. Selain pengambilan sampel secara langsung, tim juga mengamati serentetan seri citra satelit untuk mengukur luasan salju.

Pada lubang bekas pengeboran tersebut peneliti memasang pipa PVC pada kedalaman tersebut. “Lima tahun kemudian (2015), kami lakukan pengecekan, pipa sudah lima meter (terekspos ke udara),” katanya, Kamis (12/12/2019). Ini menandakan ketebalan es telah berkurang 5 meter.

Sejak saat itu, penelitian bekerja sama dengan tim lingkungan PT Freeport Indonesia untuk mengamati penanda tersebut. Hasilnya, pada Maret 2016, saat helikopter Freeport bisa mendekat ke lokasi pengambilan sampel, ketebalan es telah berkurang empat meter dan terakhir pada tahun 2016 ketebalan berkurang 5,7 meter.

“Penurunan lebih banyak, hampir 5 kali lipat. Diduga ini karena tahun 2015 merupakan El Nino, dampak di Papua, meningkatkan suhu lebih dari normal dan mengurangi hujan yang turun. Hal sama juga terlihat di Andes pada periode tersebut,” kata Donaldi, peneliti madya BMKG yang kini bertugas sebagai Kepala Global Atmospheric Watch di Palu, Sulawesi Tengah.

Dalam periode tahun 2010-2016, ketebalan es berkurang hampir 11 meter. Sejak terakhir dipantau 2016, pihaknya sempat survei ke lokasi namun terkendala cuaca dan heli tak berani mendekat.

Kemudian dari luasan, analisa citra satelit resolusi tinggi diperbandingkan foto tahun 2002 (bulan Maret dan Juni), 2015 (Maret), 2016 (Mei dan Agustus), dan 2018 (Maret). Pada tahun 2002, luas es sekitar 2 kilometer persegi dan pada tahun 2018 luas es hanya 0,45 km persegi atau selama 16 tahun tersebut luasan es berkurang 75 persen. “Secara umum hal ini disebabkan pemanasan global. Ini juga terjadi di Andes dan Kilomanjaro,” ungkapnya.

Lebih cepat
Namun diperkirakan, dampak pencairan lebih cepat terjadi di Indonesia. Ini karena Pegunungan Puncak Jaya memiliki ketinggian terendah yaitu 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl) sedangkan Kilimanjaro mencapai 6.000 mdpl dan Andes 5.000-7.000 mdpl. Semakin tinggi, kondisinya relatif lebih dingin.

Faktor ini membuat es di Puncak Jaya lebih rentan dan menghadapkan Indonesia menjadi wilayah tropis pertama yang kehilangan puncak es. Hal ini pun akan disusul Andes dan Kilimanjaro seiring peningkatan suhu global yang telah melebihi 1 derajat sejak zaman revolusi industri.

Ditanya kapan salju abadi Puncak Jaya bakal hilang, Donaldi mengatakan pada model skenario iklim paling konservatif, es tersebut bertahan sekitar 10 tahun dan memungkinkan untuk menghilang lebih cepat. “Dulu disebut salju atau es abadi, tapi kenyataan mungkin tak akan abadi lagi,” kata dia.

Donaldi menuturkan selain penghangatan global, pencairan es di Puncak Jaya pun dipercepat oleh pencairan di lapisan bawah. Ketika es kian menipis, warna hitam batuan setempat bersifat menyerap panas sehingga menyebabkan basal melting.

Selain itu, wilayah setempat yang memiliki curah hujan tinggi, membuat salju kian tergerus oleh air hujan. Ini karena suhu setempat yang tak lagi nol derajat membuat hujan turun berupa air hujan bukan salju. Air ini akan memasuki rekahan-rekahan pada es yang membuat pencairan kian cepat.

Ia mengakui penuturan dari Freeport menunjukkan daerah setempat (terutama wilayah kerja di Tembagapura) pada bulan Januari-Februari kerap turun salju saat malam dan pagi hari. Namun salju itu mencair saat beranjak siang. “Jadi tidak cukup membentuk es yang baru. Untuk membentuk sebuah lapisan es yang luas itu butuh uap air dan suhu (minimal) nol derajat,” ujarnya.

Ia berharap riset ini dalam waktu dekat diikuti dengan riset sosial budaya maupun ekosistem setempat, sebelum kehilangan besar itu terjadi. Ini untuk menginventarisir maupun mengantisipasi dampak ari pencairan es Puncak Jaya, selain dari sisi kenaikan muka air laut.

Dalam riset ini, Donaldi menambahkan penelitian pada inti es tersebut. Para peneliti meneliti kandungan radioaktif tritium (H3) pada inti es Papua. Ini didapatkan sangat tinggi pada bagian kedalaman 23 meter. Kandungan tritium tinggi itu penunjuk tahun 1964 saat Rusia mengadakan ujicoba nuklir yang melepas zat radioaktif ke udara dan tertempel pada es Papua, Andes, dan Kilimanjaro.

Analisis lebih lanjut, contoh es juga diteliti akan kandungan isotope hydrogen dan oksigen, molekul penyusun air. Pembandingnya, pada tahun 1957 – 1991 di Jayapura pernah dilakukan pengumpulan sampel hujan setiap bulan. Kandungan isotop oksigen yang tinggi menandakan terjadinya El Nino dan sebaliknya kandungan isotope oksigen yang rendah menandakan La Nina.

Donaldi hingga kini masih mencari parameter lanjutan untuk menguak fenomena yang terjadi pada es kedalaman 23 – 32 meter. Es ini menjadi semacam prasasti alami yang menyimpan cerita perubahan iklim selama periode waktu.

Dengan waktu menipis, es di Pegunungan Puncak Jaya masih menyimpan sejumlah informasi alam yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun “keabadian” salju Papua agaknya dihadapkan pada ancaman perubahan iklim yang masih terus melaju seiring pelepasan emisi gas rumah kaca.

Lonnie Thompson, pakar dari Ohio State University yang juga penulis senior dalam laporan tersebut pada Sciencedaily 9 Desember 2019, menuturkan fenomena alam di depan mata ini ibarat penyakit kanker. “ini mirip dengan mengunjungi pasien kanker stadium akhir, dan mendokumentasikan perubahan dalam tubuh mereka, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa,” kata dia.

Apa yang terjadi di Puncak Jaya ini tak hanya terjadi di Indonesia, sejumlah penelitian pun menunjukkan sejumlah gudang gunung es seperti Greenland pun mengalami penyusutan parah. Dampaknya, dunia kehilangan pengendali suhu dan volume besarnya menimbulkan peningkatan muka air laut yang membahayakan daerah-daerah pesisir maupun pulau-pulau kecil berpenghuni.

Akankah pertemuan akbar dunia Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC-COP) Ke-25 di Madrid, Spanyol yang sedang berlangsung saat ini bisa menghasilkan langkah nyata umat manusia bagi penyelamatan planet Bumi?

Oleh ICHWAN SUSANTO

Editor: EVY RACHMAWATI

Sumber:Kompas, 13 Desember 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 28 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB