Pandemi Covid-19 saat ini menjadi pelajaran dan pijakan penting untuk mereposisi orientasi pada pembangunan berkelanjutan yang benar-benar diimplementasikan.
Arah pembangunan Indonesia dinilai kian menjauh dari dimensi sosial dan lingkungan hidup sehingga dikhawatirkan tidak akan berkelanjutan. Pandemi Covid-19 dan tekanan perubahan iklim seharusnya membuka mata untuk mengubah orientasi pembangunan di Indonesia.
Pesan bagi para pemimpin negeri ini untuk mengubah orientasi pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tokoh ekonomi dan lingkungan hidup, Emil Salim, dalam orasi bertopik ”Menuju Indonesia Tinggal Landas 2045”, Kamis (18/6/2020), menyampaikan pesan kuat tersebut pada acara yang diselenggarakan Yayasan Kehati dalam rangka memperingati 90 tahun Emil Salim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Emil mengatakan, pola pembangunan seharusnya tidak hanya berdimensi ekonomi, tetapi juga berdimensi lingkungan dan sosial. Ia juga mengkritik pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law dan pengesahan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dikhawatirkan kian mempercepat laju perusakan lingkungan.
”Investasi penting, tetapi pembangunan juga harus berdimensi sosial dan lingkungan. Jangan demi ekonomi, pohon langka dikorbankan. Jangan demi ekonomi, batubara dan tambang lain diperluas sehingga merusak alam. Jangan hanya memikirkan keuntungan saat ini, tetapi juga generasi ke depan,” tuturnya.
Menurut Emil, cita-cita Indonesia tinggal landas pada tahun 2045 tidak akan terwujud jika Indonesia gagal menyelesaikan permasalahan lingkungan ini. Indonesia bisa berada dalam jebakan negara berpenghasilan menengah.
Selain itu, bonus demografi yang dimulai sejak 2020 juga tidak bisa dioptimalkan jika kualitas sumber daya manusia tidak ditingkatkan.
”Jika perubahan iklim tidak diatasi, akan semakin banyak masalah di masa depan. Covid-19 ini membuka mata kita pentingnya menjaga ekosistem. Alam telah melawan balik,” ujarnya.
Ketimpangan sosial
Ekonom Faisal Basri, yang menjadi penanggap mengatakan, dari aspek ekonomi, pembangunan di Indonesia juga berisiko tinggi dan tidak berkeadilan. Ini karena investasi di Indonesia berbasis pengerukan sumber daya alam dan dikuasai sedikit orang.
”Ini menyebabkan oligarki kita menguat dan demokrasi dalam ancaman,” ujarnya.
Faisal menyebutkan, pertumbuhan investasi di Indonesia tergolong tergolong tinggi, hanya kalah dari Vietnam. ”Masalahnya, investasi kita tidak berkualitas. Sebanyak 75 persen investasi untuk bangunan, di sektor mesin dan peralatan hanya 10 persen,” ujarnya.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI—Aktivitas bongkar muat batubara di Dermaga Muarajati, Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat, Senin (9/11/2019). Dalam sebulan, rata-rata 100 kapal bersandar di pelabuhan peninggalan masa kolonial itu. Sekitar 80 persen dari jumlah tersebut merupakan tongkang pengangkut batubara. Harga batubara tahun ini rata-rata 77,9 dollar AS per ton atau lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu yang sebesar 99 dollar AS per ton.
Karena rendahnya kapasitas dalam menghasilkan barang, sementara biaya investasi yang besar dan indeks pembangunan finansial sangat rendah, membuat ketergantungan terhadap hutang terus meningkat. ”Kita harus membiayai investasi dengan hutang dan dari 38 persen hutang pemerintah dalam bentuk obligasi itu dipegang asing,” ujarnya.
Untuk membayar utang, Indonesia mengandalkan ekspor komoditas, seperti batubara, sawit, dan gas. ”Batubara di Indonesia dikuasai hanya oleh 6 perusahaan yang kontraknya mau habis. Maka, keluarlah UU Minerba untuk melindungi mereka. Demikian halnya sawit yang 3,5 juta hektar lahannya ada di hutan,” tuturnya.
Dengan pola pembangunan yang mengabaikan dimensi lingkungan, Rektor IPB University Arif Satria mengingatkan, Indonesia dihadapkan pada krisis. ”Indonesia penyumbang sampah plastik di laut nomor dua terbesar di dunia setelah China. Data tahun 2019, seluas 35 juta hektar dari 125 juta hektar kawasan hutan dalam kondisi rusak berat,” ujarnya.
Krisis lingkungan ini pada akhirnya berdampak pada sumber daya alam, seperti kecukupan pangan. Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Global 2019, Indonesia berada di urutan ke-62 dunia dan kelima di Asia Tenggara. Sementara menurut Food Sustainability Index tahun 2018, Indonesia mendapat skor 59,1, tertinggal dari Etiopia.
”Krisis lingkungan dan sumber daya alam ini merupakan cerminan dari krisis tata kelola. Ini karena kita gagal mengatur para aktor negara, pasar, dan masyarakat yang berkepentingan terhadap sumber daya,” ujarnya.
Sementara itu, Amanda Katili dari The Climate Reality menyampaikan peran penting Emil Salim dalam memperjuangkan lingkungan hidup di Indonesia, termasuk juga mewacanakan tentang perubahan iklim. ”Jauh sebelum peran generasi muda menyikapi perubahan iklim global menguat, Pak Emil sudah lantang menyatakan bahwa melawan perubahan iklim adalah tindakan lintas generasi. Saya harap ada tindakan nyata untuk melanjutkan perjuangan Emil untuk menjaga bumi,” tuturnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 19 Juni 2020