Menyiapkan generasi muda agar profesional yang mampu bekerja berdampingan dengan dan memanfaatkan teknologi cerdas yang berkembang pesat di era revolusi industri 4.0 ini perlu metode tersendiri. Pendidik di sekolah dan perguruan tinggi perlu mengubah cara penyiapan sumber daya manusia Indonesia.
“Cara menyiapkan SDM pun harus berubah. Target pendidikan adalah membentuk insan yang memiliki ras ingin tahu, berpikir kreatif, dan mampu memecahkan masalah secara kolabortif. Jadi, guru bukan bukan lagi hanya fokus menghasilkan anak pintar yang hanya punya nilai akademis tinggi. Pembentukan karakter jadi sangat menentukan,” kata Ina Liem, Infopreneur dari Jurusanku.com di Jakarta, Senin (9/4/2018).
Pendidikan yang masih menjejalkan banyak konten seperti yang selama ini terjadi tidak membuat anak menjadi mampu memecahkan masalah. Ketika sumber konten ada di mana-mana, peran guru dan dosen sebagai penyampai materi mudah tergantikan oleh internet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Mahasiswa tidak hanya dibekali keilmuan, namun jug pembentukan karakter yang sesuai kebutuhan industri 4.0. Pemilihan mahasiswa berprestasi atau Atma Jaya Student Awards 2018 di Jakarta untuk memotivasi mahasiswa berprestasi terbaik secara akademik maupun nonakademik yang berguna untuk kemjuan Indonesia.
“Pemberi kerja tidak peduli pada berapa banyak ilmu yang dikuasai. Yang paling penting justru bagaimana pekerja bisa memecahkan masalah dengan bekal ilmu yang dimiliki. Jelas peran pengajar harus berubah,” kata Ina yang aktif memberikan konsultasi tentang tren pendidikan dan karir ke sekolah dan perguruan tinggi.
Menurut Ina, penyiapan SDM menghadapi Revolusi Industri 4.0 sudah sering dibahas pemerintah. Namun, penyesuaian peran guru/doaen dan dunia pendidikan untuk berdaptasi dengan tuntutan baru ini masih belum banyak dipahami.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Infopreneur dri Jurusnku.com, Ina Liem
Perubahan yang penting dalam peran pendidik di era digital dan revolusi industri ke-4, lanjut Ina, para pendidik membuat strategi pembelajaran yang memperkuat karakter anak-anak muda memiliki rasa ingin tahu, berpikir kreatif, dan mampu memecahkan masalah secara kolaboratif.
Pembelajaran dengan berbasis proyek untuk memecahkan persoalan riil di masyarakat, termasuk dengan pendekatan kolaborasi lintas ilmu, mampu memperkuat hardskills dn softskills siswa.
Masih Konvensional
Ina menyampaikan, nyatanya pendidikan masih umum dijalankan secara konvensional. Masih banyak materi belajar disampaikan secara konvensional. Misalnya, mahasiswa diminta merancang mesin penggilingan tebu. Tiap kelompok membuat rancangan sendiri.
Pertanyaannya, siapa yang membutuhkan mesin itu kelak? Jika diwujudkan jadi mesin betulan, akankah ini menjawab kebutuhan masyarakat? Lagipula, mampukah mereka mewujudkan rancangannya ke dalam produk jadi?
Cara belajar seperti ini hanya akan mencetak tenaga pelaksana yang bekerja atas perintah (pegawai). Rasa ingin tahu tidak berkembang, begitu juga pola pikir entrepreneurial.
Sulit mengharap inovasi dari generasi yang dibentuk dengan cara seperti ini. Berbagai karakter yang dibutuhkan industri masa depan juga sulit terasah, utamanya determination dan work ethics (etos kerja) yang makin langka di masa sekarang.
Menurut Ina, pembelajaran perlu diperkuat pula melalui metode design thinking. Para siswa/ mahasiswa harus didorong menemukan problema nyata di masyarakat.
“Peran pendidik adalah memastikan pelajar mendapat dukungan akademik berikut thinking road map untuk menemukan solusinya. Melalui metode real problem-based learning, tiap kelompok pelajar akan menghasilkan solusi nyata. Belajar pun jadi relevan,” ujar Ina.
Di era industri tahap ke-4 akan ditandai dengan makin canggihnya teknologi 3 D printing, Internet of Things, dan Artificial Intelligence. Generasi muda perlu dididik untuk mampu menangkap peluang kerja/usaha yang terbuka. Dengan berkembangnya 3D printer, kreativitas untuk mengembngkan miniindustri terbuka.
Di lain sisi, industri 4.0 juga ditandai oleh IoT atau Internet of Things (berbagai alat dihubungkan dengan internet melalui sensor, kamera, dan sebagainya). IoT akan melanda berbagai bidang, dari transportasi, layanan kesehatan, keamanan, pemerintahan, manufaktur, perikanan, pertanian, termasuk pendidikan dan lain-lain. Potensi cyber crime juga meningkat.
“Jelas SDM yang akan dibutuhkan beda, baik bidang keilmuan, cara berpikir, metode kerja, maupun karakter individunya. Dari sisi hard skills, apapun bidang studinya perlu dibekali kemampuan memanfaatkan dan mengolah data. Namun modal softskills jadi makin penting,” kata Ina.
Pemikiran inovatif
Secara terpisah, Ketua Bidang Penjaminan Mutu dan Kerja Sama Internasional Majelis pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Edy Suandi Hamid dalam Rapat Koordinasi Nasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah wilayah Indonesia Timur di Makassar, pekan lalu, mengatakan dunia pendidikan tinggi harus berjalan di depan dalam memasuki era industri keempat atau Industri 4.0. Pemikiran-pemikiran inovatif dan alternatif-alternatif menghadapi dampak Industri 4.0 seharusnya sudah menjadi fokus kajian yang rutin di kampus.
Edy mengatakan hal ini bukan saja dimaksudkan untuk memberikan bekal pada anak didiknya agar lulusannya dan masyarakat tidak gagap memasuki era Industri 4.0 , namun yang lebih utama adalah memberikaan pemikiran kontributif dan mencerahkan bagi masyarakat secara keseluruhan.
“Kita tidak bisa membiarkan proses perubahan drastis yang terjadi mengalir saja secara alamiah. Sebaliknya, melalui perguruan tinggi kita harus ikut mendesain untuk masuk dan menyiapkan diri menghadapinya. Lebih bagus lagi bisa ikut mengarahkan jalannya industri 4.0 itu, jadi bukan sekedar pengikut, tapi menjadi trend setter. Di sini peran perguruan tinggi sangat ditunggu,” kata Edy yang juga anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia ini.
Dikatakan Edy, Era Industri 4.0 akan terus memunculkan teknologi baru yang melahirkan lompatan-lompatan inovatif, yang dari satu sisi bisa mengembangkan berbagai produk-produk peradaban baru yang cepat dan canggih, namun di sisi lain juga bisa menimbulkan gangguan pada existing industry dan lapangan kerja.
“Berbagai dampak yang bisa bersifat disruptif dari inovasi teknologi yang pasti muncul ini harus diantisipasi. Bagaimana antisipasinya? Kampus menjadi tumpuan untuk memberikan jawaban dengan kajian-kajian atau riset yang dilakukannya,” ujar Edy yang juga Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini.–ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 10 April 2018