Tumbuhan Katang-katang Ancaman Baru Penyu Belimbing

- Editor

Selasa, 2 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tanaman katang-katang yang umumnya ditemukan hidup merambat di pantai-pantai ternyata menjadi ancaman baru untuk reproduksi penyu. Hal ini disampaikan Fitri Pakiding, peneliti penyu dari Universitas Negeri Papua, Senin (1/4/2019), di Manokwari, Papua Barat.

Peraih Whitley Fund for Nature 2014 ini menyampaikan pengamatannya terkait relasi tanaman ini dengan telur penyu di Pantai Jeen Womom, pesisir pantai utara Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Suasana di Pantai Pulau Um, Malaumkarta, Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Rabu (20/2/2019). Seperti umumnya di pantai-pantai lain, tumbuhan katang-katang yang merambat di pantai juga terdapat di pulau ini. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti Universitas Negeri Papua, akar tanaman katang-katang ini menembus hingga sarang penyu. Akibatnya, akar ini membungkus telur dan menyerap seluruh nutrisi sehingga menggagalkan penetasan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di pantai peneluran penyu belimbing (Dermochelys coriaceadi) atau spesies penyu terbesar tersebut, akar tanaman katang-katang menembus kedalaman pasir hingga sarang tempat penyu meletakkan telur. Akibatnya, akar katang-katang (Ipomoea sp) menyedot nutrisi di dalam telur penyu hingga kering.

Hal ini menambah lagi ancaman keberadaan penyu belimbing yang terancam punah (endangered) menurut klasifikasi IUCN. Di Indonesia, penyu berwarna kehitaman ini bertelur di Taman Pesisir Jeen Womom yang meliputi area pesisir Jamursba Medi (Jeen Yessa) dan Warmon (Jeen Syuab). Lokasi ini satu-satunya pantai yang rutin disambangi penyu belimbing untuk bertelur.

Katang-katang dikenal sebagai spesies tanaman pantai yang umum ditemui di pantai tropis, termasuk Indonesia. Di Tambrauw, jenis katang-katang yang hidup merupakan subspesies Ipomoea pes-caprae spp atau biasa disebut batatas pantai oleh masyarakat setempat. Disebut batatas atau ubi jalar karena kemiripannya dengan ubi jalar.

Ancaman katang-katang itu mulai terdeteksi pada akhir tahun 2016 ketika Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Negeri Papua (LPPM Unipa) melakukan survei penyu di pantai Jeen Womom. Menurut Fitri, ancaman batatas itu berasal dari akarnya yang menembus pasir dan masuk ke sarang penyu, lalu membungkus seluruh telur.

”Akar itu menyerap seluruh nutrisi di dalam telur sampai kering kerontang,” katanya dalam siaran pers, Senin.

Hal itu diungkapkan Fitri di sela-sela pertemuan tahunan Program Bentang Laut Kepala Burung atau Bird’s Head Seascape (BHS) di Manokwari, Papua Barat. Pertemuan ini melibatkan berbagai LSM lingkungan yang terlibat dalam proyek BHS, antara lain CI Indonesia, WWF Indonesia, The Nature Conservancy (TNC), Rare, Starling Foundation, dan Yayasan Kehati.

Gagal menetas
Dessy Lontoh, peneliti dari LPPM Unipa, yang secara rutin mengambil dan menganalisis data penyu belimbing di Tambrauw, juga menyatakan bahwa batatas pantai adalah ancaman baru yang serius karena telah menyebabkan hampir seluruh sarang penyu pada satu periode bertelur gagal menetaskan tukik.

”Hanya sekitar 1 persen sarang yang bisa menetas. Sisanya gagal karena tanaman batatas ini,” ucapnya.

Dessy mencontohkan, dalam suatu survei, timnya menghitung 500 sarang penyu, tetapi hampir semua gagal menetas karena diselimuti oleh batatas. Survei terakhir tahun 2018 mencatat ada 350 sarang penyu, tetapi hanya 200 yang dapat diselamatkan dengan cara membuat sarang relokasi, sedangkan sisanya hanyut terbawa ombak atau terbelit batatas.

Dessy mengungkapkan, salah satu penyebab utama meluasnya ancaman batatas adalah dinamika alami Pantai Jeen Womom. Terdapat periode ketika ombak besar dan air laut meninggi sehingga membuat sebagian pesisir berada di bawah permukaan air.

Akibatnya, penyu berusaha mencari tempat bertelur lebih jauh ke arah daratan, yang biasanya juga menjadi habitat tanaman batatas. Ia menjelaskan, solusi temporer yang ditempuh ada tiga, melingkupi sarang dengan pelindung semisal kayu dari batang kelapa, membersihkan pantai dari batatas, dan membuat sarang relokasi ketika telur yang menetas segera dipindahkan ke tempat lain yang aman.

Menurut Dessy, hanya cara ketiga, yaitu sarang relokasi, yang terbukti berhasil cukup baik.

Senior Program Manager Papua Barat CI Indonesia Yance de Fretes menduga, hal ini merupakan fenomena alam kompetisi memperebutkan habitat di antara dua spesies karena terjadinya perubahan lingkungan.

Ia juga menyarankan agar dilakukan penelitian untuk memastikan penyebab dan menemukan solusi jangka panjangnya.

Oleh ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 1 April 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
BJ Habibie dan Teori Retakan: Warisan Sains Indonesia yang Menggetarkan Dunia Dirgantara
Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Berita ini 12 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Rabu, 11 Juni 2025 - 20:47 WIB

Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB