DALAM mitologi Yunani dikenal makhluk bernama Chimera, perpaduan tiga binatang: singa, ular, dan kambing. Ilmu genetika pada awal abad XXI menemukan organisme dengan kelainan genetik—memiliki lebih dari satu set gen—pada manusia. Fenomena itu disebut sebagai chimerism.
Penemuan ini menyadarkan dunia ilmu pengetahuan bahwa pemeriksaan deoxyribonucleic acid (DNA) tidak selamanya membuat kita memperoleh kebenaran. Manusia dengan chimerism disebut chimera. Chimera terbentuk lewat perpaduan dua atau lebih sel telur yang dibuahi. Ia juga dapat terjadi akibat transplantasi organ.
Perpaduan dua sel telur yang dibuahi itulah yang berlangsung ketika Lydia Fairchild masih di dalam rahim ibunya. Itu pula yang menjadi pangkal masalah hukum ketika Lydia, sebagai warga negara Amerika Serikat, sudah menjadi seorang ibu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 2002, Lydia—yang sedang mengandung anak ketiga—mengajukan permohonan bantuan pemerintah karena dia tidak sanggup membesarkan kedua anaknya setelah berpisah dengan suaminya, Jamie Townsend. Untuk memproses permohonan itu diperlukan pembuktian bahwa kedua anak tersebut memang anak kandungnya.
Hasil pemeriksaan DNA sungguh mengejutkan. Jamie dinyatakan sebagai ayah kandung kedua anak itu, tetapi tidak ada indikasi bahwa Lydia adalah ibu kandung mereka. Lydia dituduh sengaja menggunakan anak orang lain untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara menjadi ibu pengganti (surrogate mother).
Walau mempunyai catatan kelahiran di rumah sakit untuk kedua anak itu, Lydia tetap dicurigai dan diselidiki. Bahkan, kesaksian Leonard Dreisbach, dokter spesialis kandungan yang membantu persalinan Lydia, tidak dapat menjadi bukti. Dia dituntut untuk menyerahkan kedua anaknya kepada negara. Prosedurnya berbelit-belit, sampai tiba waktu Lydia melahirkan anak ketiganya.
Pada saat kelahiran anak ketiga, jaksa meminta saksi untuk melihat dengan mata kepala sendiri pengambilan darah bayi untuk pemeriksaan DNA. Hasilnya lagi-lagi mencengangkan. Tes DNA menyatakan bahwa bayi yang lahir dari rahim Lydia bukanlah anak Lydia.
Akan tetapi, akhirnya kebenaran tetap menjadi milik orang yang benar. Pembela Lydia menemukan artikel di New England Journal of Medicine tentang yang dialami dan ditemukan pada Karen Keegan (52) di Boston, Massachusetts, AS. Keegan, yang memerlukan transplantasi ginjal, menjalani pemeriksaan DNA untuk mendapatkan donor yang cocok. Hasil pemeriksaan menunjukkan, dia tidak mempunyai hubungan genetik dengan dua dari tiga anaknya. Hanya hasil pemeriksaan pada anak bungsunya yang memperlihatkan kecocokan.
Keegan lantas menceritakan bahwa dia pernah menjalani operasi tiroid. Dokter menelusuri riwayat operasi hingga menemukan bagian dari tiroid yang diangkat. Hasil pemeriksaan DNA dari nodul tiroid ini menunjukkan ada hubungan antara Keegan dan kedua anaknya. Dokter pun menyimpulkan bahwa Keegan memiliki chimerism, kelainan genetik yang sangat langka (baru ditemukan 30 kasus di dunia).
Menyatu
Chimera bermula dari dua sel telur yang dibuahi. Pada awal kehamilan, oleh sebab yang tidak diketahui, salah satu kembaran terserap oleh anak lainnya dan menyatu. Walau menyatu, sel kembaran yang terserap tidak menghilang, tetapi hidup dalam satu bagian tubuh tertentu saudara kembarnya. Jadi, chimera manusia adalah satu orang yang mempunyai dua set gen.
Penemuan ini membuat dokter memutuskan untuk mengembangkan pemeriksaan pada Lydia. Tes DNA dilakukan terhadap keluarga dekatnya. Hasilnya menunjukkan DNA anak Lydia cocok dengan DNA ibu kandung Lydia. DNA Lydia dari contoh yang diambil dari berbagai bagian tubuhnya juga diperiksa. Akhirnya ditemukan, meski DNA dari kulit dan rambut Lydia tidak cocok dengan DNA anak-anaknya, DNA dari leher rahimnya cocok. Lydia ternyata memiliki dua set DNA. Kembaran Lydia hidup dalam sel pada ovariumnya. Kembarannya itulah ibu kandung anak yang dilahirkan.
Setelah kurang lebih satu setengah tahun, tuntutan terhadap Lydia digugurkan. Pembela Lydia, Alan Tindell, menyatakan, ”Hasil pemeriksaan DNA dapat membuat seseorang lepas dari hukuman mati.”
Pemeriksaan DNA adalah analisis terhadap pola profil genetik, suatu teknik biologi molekuler yang berkembang sebagai hasil penemuan Sir Alec Jeffreys dari Universitas Leicester, Inggris, pada 1984. Ini dipakai, antara lain, untuk pengujian forensik. Setiap orang memiliki pola DNA yang unik.
Pada mulanya DNA dari tubuh seseorang diyakini 100 persen sama, dari bagian mana pun contoh diambil. Kisah Lydia dan Karen—walau jarang ditemukan—membantah kesimpulan itu. Chimera sebagai suatu fenomena mesti dipertimbangkan oleh pengadilan ketika mempelajari hasil pemeriksaan DNA yang ternyata mengandung kemungkinan untuk membuat keputusan yang keliru.
Rose Chen, Dokter, Menetap di Taiwan
Sumber: Kompas, 7 April 2014