Sebagian masyarakat percaya kemunculan bintang Tsurayya di ufuk timur saat fajar jadi tanda berakhirnya pandemi Covid-19. Namun, keyakinan itu dinilai tidak memiliki dasar ilmiah.
KOMPAS/NASA, ESA, AURA/CALTECH—Citra gugus bintang terbuka Pleiades yang diambil oleh teleskop luar angkasa Hubble. Pleiades adalah kumpulan bintang yang terkenal dalam berbagai budaya. Orang Arab mengenalnya sebagai Tsurayya, sedangkan masyarkat Jawa menyebutnya Lintang Kartika. Kemunculan Tsurayya di ufuk timur pada pagi hari diyakini sebagian orang sebagai tanda berakhirnya pandemi Covid-19.
Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru tak hanya mengancam nyawa. Masyarakat yang sehat dan terpaksa harus berdiam di rumah pun mengalami kelelahan jiwa raga. Mereka pun berusaha mencari prediksi akhir pandemi, baik berdasar prakiraan epidemiolog, ahli statistika hingga tokoh agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu prediksi agamawan yang dibuat berdasar hadis adalah Covid-19 akan berakhir saat terbit An Najm atau bintang di pagi hari. An Najm adalah sebutan untuk bintang Tsurayya (Thurayya dalam sulih aksara Arab ke latin Inggris) atau secara internasional dikenal sebagai Pleiades.
Perkiraan itu kemudian dihitung sejumlah ahli hisab. Hasilnya, Tsurayya akan muncul di ufuk timur saat fajar pada 7 Juni 2020. Namun karena posisinya masih terlalu dekat ufuk, Tsurayya pun sulit diamati. Karena itu, Tsurayya diprediksi bisa diamati jelas pada 13 Juni 2020 dan waktu inilah yang dipercaya virus SARS-CoV-2 akan hilang.
Ramalan itu banyak beredar di media sosial. Sebagian orang mengamini, namun banyak juga yang menyangsikannya.
Dosen Studi Islam dan Masyarakat Muslim Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Moch Nur Ichwan, Jumat (8/5/2020) mengatakan pemakaian beberapa hadis tentang Tsurayya guna memprediksi akhir Covid-19 sebagai pemahaman mengada-ada, tak memahami konteks sejarah, dan kacau secara ilmiah.
KOMPAS/KOMPAS—Pleiades adalah gugus bintang terbuka di dekat rasi Taurus. Gugus bintang yang berjarak 440 tahun cahaya dari Bumi itu terdiri atas sekitar 1.000 bintang. Namun, ada tujuh bintang paling terang yang bisa dilihat langsung dengan mata saat langit benar-benar gelap sehingga gugus ini juga dinamai Seven Sisters atau Tujuh Bidadari.
Istilah ‘ahah yang disebutkan dalam hadis-hadis terkait kemunculan Tsurayya adalah penyakit pada tanaman buah alias hama. Hadis terkait ‘ahah umumnya muncul dalam pembahasan terkait larangan menjual buah yang berpenyakit. Karena itu, mengaitkan ‘ahah dengan Covid-19 juga tidak tepat karena keduanya jenis penyakit berbeda.
Kata ‘ahah memang bisa dimaknai sebagai penyakit menular pada hewan dan manusia. Namun penyebutan ‘ahah untuk hewan dan manusia dalam hadis yang lain itu tak terkait dengan Tsurayya. “’Ahah tidak dikaitkan dengan wabah yang mematikan,” katanya.
Meski demikian, kemunculan Tsurayya itu bukan berarti bintang ini yang membasmi ‘ahah. Sejak lama, masyarakat Arab menggunakan kemunculan Tsurayya di timur saat fajar sebagai tanda berakhirnya musim semi dan datangnya musim panas.
Sementara jika Tsurayya ada di barat saat fajar, seperti ditulis Danielle Adams di planetary.org, 18 Desember 2018, maka itu jadi tanda periode hujan lebat saat musim gugur.
Mengaitkan datangnya musim panas di Arab dengan acuan waktu Jakarta untuk memprediksi akhir pandemi Covid-19 seperti dalam perhitungan ahli hisab yang beredar juga tidak tepat. Jakarta tidak mengenal musim panas. Selain itu, datangnya musim panas di bulan Juni hanya berlaku di belahan Bumi utara. Di belahan Bumi selatan justru saatnya musim dingin.
Ichwan menilai krisis berkepanjangan dan musuh yang tak kasat mata membuat banyak orang kurang bisa bersabar. Kondisi itu membuat sikap kritis mereka menumpul hingga mencari-cari teks agama untuk memenuhi harapan mereka soal akhir Covid-19 meski teks yang digunakan salah kutip, lemah, bahkan palsu. “Emosi yang menang, bukan rasionalitas dan ilmu pengetahuan,” katanya.
Bintangnya bintang
Penyebutan Tsurayya sebagai An Najm atau bintang menunjukkan populernya Tsurayya di masyarakat Arab. Bintang par excellence (lebih baik dari yang lain) kata Adams. Namun, populernya Tsurayya atau Pleaides itu juga dikenal di banyak budaya.
Dalam mitologi Arab, Tsurayya merupakan bagian rasi yang digambarkan oleh seorang perempuan yang membentangkan tangan kanannya dan menekuk tangan kirinya. Bentangan tangan itu sangat panjang, hingga sekitar 70 derajat. Ujung kanan bentangan tangan perempuan itu di bintang Al Kaff al Khadhib (Beta Cassiopeia), sedangkan ujung tangan kirinya di bintang Al Kaff al Jadhma (Gamma Cetus). Sementara Tsurayya terletak di dada kanan perempuan itu.
KOMPAS/ROLAND LAFFITTE/MUSLIMHERRITAGE.COM–Tsurayya dalam mitologi Arab digambarkan sebagai seorang perempuan cantik. Tsurayya adalah bintang yang paling populer di Arab ‘par excellence’ hingga masyarakat Arab menyebutnya sebagai An Najm yang berarti bintang. Sebutan An Najm untuk Tsurayya itu juga ada dalam sejumlah hadis.
Dalam mitologi Yunani, nama Pleiades diberikan pada kumpulan bintang terang ini untuk menggambarkan tujuh Pleiad, anak Atlas dan Pleione. Karena itu, Pleiades juga disebut sebagai Seven Sisters. Namun karena ada lebih dari tujuh bintang terang di sana, nama Atlas dan Pleione juga ikut diabadaikan.
Sementara di Jawa, Tsurayya dikenal sebagai Lintang Kartika. Lintang dan kartika sebenarnya punya arti sama, yaitu bintang. Pengulangan penyebutan itu dinilai Widya Sawitar, peneliti etnoastronomi di Planetarium dan Observatorium Jakarta, menunjukkan keistimewaannya hingga disebut bintangnya bintang.
“Sebagian masyarakat menyebutnya Bintang Tujuh. Namun itu kurang tepat karena Bintang Tujuh sejatinya merujuk pada Bintang Biduk atau rasi Ursa Mayor yang ada di relief Candi Borobudur,” katanya.
Tujuh bintang terang di Lintang Kartika diyakini sebagai penggambaran tujuh bidadari dari kahyangan yang turun untuk mandi ke Bumi dalam legenda Jaka Tarub. Dalam Babad Tanah Jawi karya R Ng Yasadipura yang diterjemahkan Amir Rochkyatmo dkk (2004) disebutkan, satu bidadari yang akhirnya jadi istri Jaka Tarub bernama Dewi Nawangwulan atau Dewi Ratna Juwita.
Lintang Kartika juga diyakini menjadi ilham tari Bedhaya Ketawang, tarian sakral dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang secara harfiah bermakna tarian langit. Hubungan Lintang Kartika dengan Bedhaya Ketawang itu tidak hanya terkait jumlah penarinya, namun juga posisi penari dalam salah satu bagian tariannya.
KGPH Hadiwidjojo dalam Bedhaya Ketawang (1981) mengutip pendapat RT Warsadiningrat menyebut, tari ini semula bernawa Lenggotbawa yang diciptakan Bathara Guru pada tahun 167 dan ditarikan oleh tujuh bidadari yang diciptakan dari tujuh permata yang indah.
KOMPAS/WIKIPEDIA/CC–Legenda Jaka Tarub tentang tujuh bidadari yang turun dari kahyangan ke Bumi juga diyakini diilhami oleh Pleiades. Masyarakat Jawa menyebut Pleiades sebagai Lintang Kartika yang maknanya bintangnya bintang. Sejumlah literatur juga menyebut Lintang Kartika sebagai inspirasi tari sakral Bedhaya Ketawang.
Ratu Laut Selatan kemudian menambahkan dua penari lagi hingga total menjadi sembilan orang. Tarian ini dipersembahkan sebagai curahan cinta Sang Ratu pada Sultan Agung, Raja Mataram yang menurunkan raja-raja di Keraton Surakarta dan Yogyakarta hingga kini. (Kompas, 10 April 2014)
Di luar budaya Arab, Yunani dan Jawa, banyak budaya juga mengenal Pleiades. Karenanya, bintang ini punya banyak nama. Bangsa Babilonia menyebutnya Mul yang juga berarti bintangnya bintang, ada pula Soraya (Persia), Krittika (Sansekerta), dan Subaru (Jepang).
Gugus terbuka
Saat langit cukup gelap, keberadaan Tsurayya bisa diamati dengan mata telanjang. Ia terlihat sebagai titik-titik cahaya redup yang menggerombol di dekat bintang Aldebaran, bintang terterang di rasi Taurus dan juga bintang terterang ke-13 di langit malam.
Namun untuk bisa menyaksikan kilauan bintang-bintang biru didalamnya yang mengagumkan, dibutuhkan binokuler. Sedangkan untuk bisa melihat selubung kabutnya yang juga berwarna biru, dibutuhkan teleskop dengan kemampuan lebih baik.
Hingga April lalu, Tsurayya masih bisa disaksikan di langit Barat Jakarta sesaat setelah Matahari terbenam. Namun saat ini, Tsurayya tidak bisa disaksikan lagi. Dia akan kembali terlihat di timur sesaat sebelum Matahari terbit pada akhir Juni. Waktu terbaik mengamati Tsurayya adalah di bulan November, saat dia akan terlihat sepanjang malam.
Tsurayya, Pleiades atau dalam astronomi populer dengan sebutan M45 (M menunjukkan nama katalog bintang Messier) adalah gugus bintang terbuka. Dia berisi bintang-bintang biru terang yang masih dibalut kabut debu sisa pembentukannya. Kondisi itu menandakan umur gugus ini masih sangat muda, terbentuk sekitar 100 juta tahun lalu.
KOMPAS/STELLARIUM–Posisi Pleiades, Tsurayya atau Lintang Kartika yang akan mulai terlihat di ufuk timur saat menjelang Matahari terbit mulai pertengahan Juni nanti. Namun posisinya sata itu masih terlalu rendah hingga lebih menarik di amati pada minggu-minggu berikutnya. Peta bintang yang diambil dari Stellarium ini menunjukkan posisi Pleiades dilihat dari Jakarta pada 10 Juli 2020 sekitar pukul 4.00 WIB. Saat itu, ketinggi Pleiades baru sekitar 20 derajat dari horison.
Gugus merupakan kumpulan bintang-bintang yang terikat secara gravitasi. Ikatan gravitasi itulah yang membedakan gugus bintang dengan rasi. Rasi ditentukan berdasarkan penampakannya dari Bumi sehingga bintang dalam rasi bisa saja saling berjauhan.
“Terbentuknya gugus bintang adalah proses yang lazim di alam,” kata ahli fisika bintang yang juga dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung Hakim L Malasan.
Pleiades terbentuk dari awan molekuler yang sangat besar hingga kemudian runtuh dan terfragmentasi. Fragmen kecil itu akan jadi bintang saat proses pembakaran nuklir di intinya dimulai. Karena berasal dari awan besar yang sama, bintang-bintang itu lahir hampir bersamaan, dalam jumlah besar dan terikat secara gravitasi.
Setelah bintang terbentuk, gas sisa materi yang ada akan menyelimuti bintang-bintang. Bintang baru akan terlihat saat angin bintang menyibak sisa-sisa materi tersebut. Warna pada gas yang menyelubungi bintang adalah refleksi dari cahaya bintang di sekitarnya.
Meski demikian, gugus ini diyakini para ahli tak akan bertahan lama. Kehancuran Pleiades sebagai gugus itu bisa dipicu banyak hal.
Karena terbentuk bersamaan, Pleiades punya bintang dengan massa beragam. Bintang bermassa besar akan berevolusi lebih cepat hingga berumur pendek dan berakhir jadi supernova. Ledakan supernova tak akan menceraikan gugus, tapi lubang hitam yang terbentuk akan menarik bintang-bintang anggota gugus di sekitarnya.
Keberlangsungan gugus juga ditentukan ikatan gravitasnya. Sebagai gugus terbuka, interaksi antarbintang relatif lebih lemah dibanding gugus bintang berbentuk bola. Bintang bermassa kecil lebih berpeluang untuk lepas dari gugus.
Selain itu, sebagai benda yang mengitari pusat galaksi Bimasakti, gaya pasang surut galaksi juga bisa mendeplesi atau mengurangi massa gugus. Gaya tarik ke pusat galaksi akan selalu dilawan gaya sentrifugal (keluar) obyek hingga akan memengaruhi keseimbangan gugus.
“Banyak astronom percaya Pleiades akan hancur 1 miliar tahun lagi saat memasuki awan molekuler raksasa yang ada di lengan spiral galaksi Bimasakti,” tambah Hakim.
Pembentukan Tsurayya dan kehancurannya yang cepat dalam skala waktu astronomi adalah proses alamiah alam semesta. Demikian pula dengan hilangnya virus SARS-CoV2 pemicu Covid-19. Semua butuh proses dan waktu. Hanya intervensi rasional dan kesabaran menghadapinya yang bisa mempercepat akhir pandemi ini.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 12 Mei 2020