Gelombang tsunami Aceh tergolong terbesar sepanjang sejarah dalam hal jumlah korban jiwa yang tewas. Sedangkan dilihat dari ketinggiannya, kesimpulan sementara menunjukkan gelombang pasang laut itu tertinggi setelah tsunami akibat letusan gunung Krakatau pada tahun 1883, yang mencapai 36 meter dari permukaan tanah.
Di Lhok Nga yang berada di tenggara Meulaboh diketahui tsunami mencapai ketinggian 34,5 meter. Ini merupakan yang tertinggi yang dapat dilihat dari jejak terjangan tsunami pada pohon kelapa yang masih bertahan. Sementara itu di Meulaboh —lokasi terdekat dengan pusat gempa di Samudra Hindia—belum ditemukan tanda-tanda yang menunjukkan ketinggian tsunami Diduga kuat tsunami di daerah ini lebih tinggi daripada di Lhok Nga.
Inilah kesimpulan peneliti dari International Tsunami Survey Team (ITST) yang melakukan survei lapangan ke Banda Aceh dan Sumut, 19-30 Januari lalu. Ada 33 peneliti dari Turki, Jepang, Rusia, Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia yang memaparkan hasil penelitian di Jakarta, Senin (31/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Dr Ir Subandono Diposaptono dari Departemen Kelautan dan Perikanan, tim yang dibagi dalam 3 kelompok menyisir pantai di Kabupaten Serdang Bedagai-Sumut, dan Pulau Simeulue, dan pantai barat Aceh dari Meulaboh (Aceh Barat) hingga Nagan Raya.
Di bagian lain survei dilakukan di Banda Aceh, Lhok Seu-mawe, Sibolga, dan Pulau Nias. Sementara kelompok lain melakukan pengukuran run-up dan penetrasi gelombang di Banda Aceh dan Sabang.
Secara keseluruhan tim telah mengukur detail seluruh daerah bencana tsunami, yang menyangkut karakteristik gelombang tsunami, tingkat kerusak-an yang ditimbulkan, serta studi mengenai paleo tsunami melalui identifikasi tsunami deposit pada lapisan tanah.
Paleo tsunami
Para peneliti melakukan penggalian untuk melacak riwayat terjadinya tsunami atau paleo tsunami hingga ratusan sampai ribuan tahun lalu.
Pakar tsunami dari Turki, Prof Dr Dogan Perincek, menjelaskan, dari lapisan sedimen yang tampak pada lubang yang digali sedalam 40 meter di Simeulue, diketahui pulau tersebut pernah mengalami tsunami sekitar 500-2000 tahun lalu.
Dari hasil pencatatan dan pengukuran yang dilakukan tim, di Simeulue, khususnya bagian utara, tinggi gelombang maksimum tercatat 15 meter, sementara tinggi gelombang di bagian selatan maksimum 3-4 meter.
Namun, jumlah korban jiwa hanya 8 orang dari 78.000 lebih penduduk Simeulue. Hal ini dimungkinkan karena penduduk Simeulue telah memiliki pengetahuan tentang tsunami dan memiliki standard operation procedure.
Di Simeulue, ujar Subandono, tim menemukan adanya perubahan geomorfologis pantai. Di bagian utara, yang berjarak sekitar 41 km dari episentrum, terjadi kenaikan permukaan pantai 1 hingga 1,5 meter. Hal ini sangat jelas terlihat dengan tereksposnya terumbu karang dan juga mangrove. Sementara di bagian selatan dan timur pulau terjadi penurunan. Tim mencatat adanya kenaikan air laut di pantai Sibolga
(2,5 m), Sirombu Pulau Nias (5 m), Banda Aceh (20,8 m), Lhok Nga (34,5 m), dan Ulee Lheu (15,6m).
Tim melaporkan, dari garis-garis yang tampak pada tembok bangunan yang tersisa, diketahui bahwa gelombang tsunami di beberapa lokasi di Aceh dan Sumut terjadi dua hingga lima kali.
Akibat gempa dan tsunadil terjadi subsidensi atau penurunan pantai sejauh 57 meter di Banda Aceh. Hasil survei dari ITST akan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. (YUN)
Kompas, 1 Februari 2005