Tren Kekeringan Meningkat

- Editor

Rabu, 28 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Munculnya sirkulasi siklonik di Samudera Pasifik sebelah timur perairan Filipina meningkatkan peluang hujan lebat hingga angin kencang di sejumlah wilayah Indonesia. Sekalipun demikian, musim kemarau diperkirakan masih akan berlangsung hingga September 2019.

Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, sirkulasi siklonik di Samudera Pasifik menyebabkan terjadinya pemusatan awan di wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, sebagian besar Kalimantan dan Papua. Kondisi ini meningkatkan potensi hujan lebat dan angin kencang yang bisa disertai petir dalam tiga hari ke depan.

Wilayah yang berpotensi hujan lebat pada Senin (26/8/2019) meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua. Sedangkan pada Selasa (27/8) meliputi Aceh, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Papua. Sedangkan untuk Rabu (28/8) meliputi Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Papua.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

–Intensitas hujan tahun 2019 lebih rendah dibandingkan 2018, hal ini berakibat pada kekeringan yang lebih parah. Sumber: BMKG

Peluang hujan ini diperkirakan bersifat sementara dan lokal. “Sebagian besar zona musim akan mengalami keterlambatan awal musim hujan tahun ini. Karena kekeringan tahun ini terkait erat dengan kondisi bawah normal dari suhu muka laut indonesia, maka ada potensi kekeringan ini berlanjut mengikuti kondisi suhu muka laut Indonesia tersebut,” kata Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika(BMKG) Supari di Jakarta.

Kondisi bawah normal di perairan Indonesia, menurut Supari, diperkirakan masih akan terjadi hingga Oktober 2019. “Kita patut waspada bahwa kekeringan ini masih akan berlanjut setidaknya untuk September 2019,” kata dia.

Supari menambahkan, berdasarkan data sifat hujan di berbagai wilayah Indonesia, intensitas kekeringan tahun 2019 ini lebih parah dibandingkan tahun 2018. Daerah yang mengalami kondisi hujan bawah normal juga lebih luas dibanding tahun lalu.

Data BMKG menunjukkan, sebagian besar wilayah Jawa, Bali, Nua Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, telah mengalami hari tanpa hujan lebih dari 60 hari. Lama hari tanpa hujan ini dikategorikan ekstrem.

Supari menambahkan, berdasarkan kajiannya, tren kekeringan di wilayah Indonesia yang berada di selatan Katulistiwa, seperti Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini, merupakan salah satu konsekuensi perubahan iklim.

-Periode kemarau tahun 2019 juga menunjukkan lebih panjang dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun ini musim hujan diperkirakan terlambat. Sumber: BMKG

Anomali
Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, kekeringan yang masih melanda sebagian besar wilayah Indonesia lebih dipengaruhi oleh lebih dinginnya suhu Samudera Hindia di sebelah barat Sumatera. Fenomena ini dikenal sebagai IOD (Indian Ocean Dipole) positif.

“Untuk El Nino tidak lagi berperan karena beberapa data menunjukkan sudah berakhir,” kata Siswanto.

Fenomena IOD diidentifikasi dengan index Dipole Mode yang menyatakan beda suhu muka laut di Samudera Hindia bagian barat atau sebelah timur Afrika dan bagian timur, yaitu barat Sumatera bagian selatan. Siklus IOD mirip El Nino dan La Nina di Pasifik, masing-masing punya anomali positif dan negatif. IOD positif menandakan suhu muka laut barat Sumatera lebih dingin dibanding bagian lain di timur Afrika

“Pengaruh IOD positif dari Samudera Hindia masih signifikan hingga Oktober,” kata dia.

Menurut Siswanto, saat ini para ilmuwan iklim dunia tengah melakukan lokakarya di Belitung untuk memahami perilaku iklim hingga ribuan tahun lalu. “Ada 50 peneliti dari 14 negara yang saat ini bertemu, di antaranya membahas soal El Nino dan juga IOD ini,” kata dia.

Salah seorang peneliti Australia Bethany Ellis yang mengkaji variabilitas IOD positif selama 350 tahun terakhir menemukan ada indikasi peningkatan tren. “Data dia diekstrak dari jejak di koral daerah barat Sumatera, Selat Sunda dan Pantai Selatan Jawa,” kata Siswanto.

Ahli paleoiklim Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Yudawati Cahyarini, yang menjadi koordiantor lokakarya ini mengatakan, Indonesia merupakan negara maritim, yang terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudera Hindia sehingga menjadi lokasi yang penting untuk studi iklim.

“Untuk memahami fenomena El Nino atau IOD di masa sekarang dan prediksi ke depan diperlukan data dan pengetahuan iklim dari masa lampau dalam skala waktu geologi ribuan tahun silam sampai masa sekarang,” kata dia.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 27 Agustus 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB