Penggalian arkeologis di situs Gunung Tambora menghasilkan temuan lengkap sehingga bisa untuk merekonstruksi kehidupan sosial budaya sebelum 200 tahun lalu di kawasan itu. Tantangan ke depan adalah mentransformasikan temuan itu agar bermanfaat bagi masyarakat.
Temuan-temuan dari penggalian situs Gunung Tambora itu dipaparkan Kepala Balai Arkeologi Denpasar I Gusti Made Suarbhawa dalam seminar bertema “Bencana dan Peradaban” yang digelar Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) di Denpasar, Bali, Kamis (10/9).
Made Suarbhawa memaparkan, artefak yang ditemukan di Tambora itu antara lain aneka pecahan keramik, kereweng, aneka senjata dan perkakas dari logam, fragmen tulang binatang, konstruksi rumah dari kayu, batu umpak, kopi, padi, alat tenun, dan kerangka manusia. “Temuan kami lengkap untuk menggambarkan kehidupan masyarakat Tambora saat letusan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski artefaknya lengkap, hingga kini belum ditemukan pusat Kerajaan Tambora. Kemungkinan artefak yang kebanyakan ditemukan di Desa Oibura, Kabupaten Bima, itu masih berupa permukiman di kawasan pinggiran ataupun pedesaan.
Ketua Tim Penelitian Situs Tambora dari Arkenas Sony Wibisono mengatakan, berdasarkan temuan-temuan itu, tahun ini rumah penduduk Tambora berhasil direkonstruksi. Rekonstruksi rumah panggung berbahan kayu itu dibangun di sekitar lokasi penggalian di Oibura.
Daud Aris Tanudirjo, dosen Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM), yang jadi penanggap diskusi mengingatkan, arkeolog juga bertugas menyampaikan pengetahuan dan nilai budaya masa lampau untuk pembelajaran di masa kini dan mendatang. “Kita biasanya asyik mendokumentasi dan merekonstruksi, tetapi melupakan aspek pembelajarannya bagi publik,” ucapnya.
Ekskavasi peradaban Tambora yang terkubur letusan gunung api punya karakteristik mirip dengan situs Liyangan di Jawa Tengah, yang terkubur letusan Gunung Sindoro. “Seharusnya, tak semua harus dibuka. Bisa juga disisakan beberapa artefak dalam kondisi asli tertutup material gunung api agar warga bisa belajar tentang bahaya letusan gunung api,” katanya.
Selain itu, filolog Perancis yang mengajar di University of Malaya, Henri Chambert Loir mengatakan, perlu dikaji teks- teks lama yang ditulis warga pribumi tentang Tambora. Ada tiga naskah pribumi menceritakan Tambora, yakni Bo’ Sangaji Kai atau kronik Kerajaan Bima, Syair Kerajaan Bima, dan legenda lokal Asal Mulanya Meletus Gunung Tambora diterbitkan PP Roorda van Eysinga pada 1841. Dari tiga naskah itu, kita bisa belajar tentang respons masyarakat Bima menyikapi bencana. (AIK)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 September 2015, di halaman 13 dengan judul “Transformasikan Penggalian Arkeologi”.