Dampak perubahan iklim kerap diasumsikan terjadi secara perlahan. Namun, data-data terbaru menemukan titik kritis perubahan iklim bisa datang lebih cepat sehingga harus ada upaya nyata untuk mengerem lajunya. Kajian juga menemukan Bumi tidak akan lagi mampu menyerap peningkatan emisi karbon dioksida akibat ulah manusia.
Studi yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Columbia, yang diterbitkan di jurnal Nature pada 23 Januari 2019, untuk pertama kali mengukur efek perubahan iklim yang terjadi akibat ulah manusia selama abad ke-21. Kajian ini menunjukkan siklus alam terganggu. Tahun-tahun lebih basah tidak bisa lagi menjadi kompensasi atas hilangnya penyerapan karbon selama tahun-tahun lebih kering yang disebabkan kekeringan ataupun gelombang panas.
DOKUMEN SAVE OUR BORNEO –Salah satu warga Arut melintas di kanal yang baru dibuka di kawasan hidrologis gambut di daerah Kolam, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada pertengahan November lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti diketahui, faktor antropogenik atau perilaku manusia meningkatkan konsentrasi karbon dioksida(CO2) di atmosfer Bumi dan menghasilkan perubahan tidak wajar pada sistem iklim planet ini. Secara alami, Bumi memiliki kemampuan untuk menyerap emisi CO2. Saat ini, biosfer laut (terumbu karang) dan ekosistem di darat (hutan, sabana, dan lainnya) menyerap sekitar 50 persen dari pelepasan emisi ini.
Namun, kemampuan ekosistem darat dan biosfer untuk menyerap emisi itu memiliki batas. Contohnya, saat ini terumbu karang di berbagai belahan dunia banyak yang mengalami pemutihan (bleaching) dan mati akibat lautan mengalami pemanasan dan jadi lebih asam akibat konsetrasi CO2 meningkat.
”Jika tanah mencapai tingkat penyerapan karbon maksimum, pemanasan global dapat dipercepat dan akan membawa konsekuensi penting bagi manusia dan lingkungan. Ini berarti kita semua perlu bertindak sekarang untuk menghindari konsekuensi yang lebih besar dari perubahan iklim,” kata Pierre Gentine, profesor teknik bumi dan lingkungan dari Univeraits Columbia, yang memimpin penelitian ini, seperti dirilis dalam laman kampus ini.
Bekerja dengan mahasiswa PhD-nya, Julia Green, Gentine mengkaji variabilitas siklus hidrologi, seperti kekeringan dan banjir serta tren pengeringan jangka panjang terhadap kemampuan alam untuk menyerap sebagian emisi CO2.
Untuk menentukan jumlah karbon yang tersimpan dalam vegetasi dan tanah, Gentine dan Green menganalisis produktivitas bioma bersih (NBP), yang didefinisikan oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim sebagai hilangnya karbon dari suatu daerah, sama dengan produksi ekosistem bersih dikurangi karbon hilang dari gangguan seperti kebakaran hutan atau panen hutan.
Hasil riset itu menemukan, nilai NBP saat ini hampir dua kali lebih tinggi di dalam tanah yang lembab. ”Masalahnya, jika kelembaban tanah terus berkurang, laju penyerapan karbon oleh tanah akan berkurang pertengahan abad ini seperti yang kami temukan dalam model. Maka, kita akan melihat peningkatan besar dalam konsentrasi CO2 di atmosfer dan itu berarti akan berdampak terhadap efek pemanasan global dan perubahan iklim,” kata Green.
Peran gambut
Kajian itu juga menunjukkan peran penting untuk menjaga tanah tetap lembab agar bisa menyerap karbon. Pengeringan lahan-lahan yang basah dan lembab akan memicu pelepasan karbon lebih banyak ke atmosfer. ”Kelembaban tanah memainkan peran besar dalam siklus karbon. Tanah yang lembab memiliki kemampuan untuk menyerap karbon,” kata Gentiene.
Salah satu lahan yang diketahui menjadi penyimpan karbon tertinggi adalah hutan tropis dan lahan gambut. Masalahnya, hutan dan lahan gambut di Indonesia saat ini terus mengalami degradasi masif.
Studi terpisah yang dilakukan Kepala Laboratorium Data Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo S Pranowo dan para peneliti dari Leibniz Center for Tropical Marine Research Jerman menemukan, degradasi lahan gambut di Asia Tenggara jadi salah satu penyumbang emisi karbon utama di dunia. Jumlah emisi 1.389 juta metrik ton hanya dari oksidasi lahan gambut dan 289 juta metrik ton dari kebakaran hutan.
Studi yang diterbitkan di jurnal internasional Nature edisi November 2018 itu menemukan, pembukaan lahan gambut mengakibatkan karbon yang semula tersimpan di dalamnya terangkut ke sungai lalu ke pesisir. Kondisi itu memicu peningkatan keasaman perairan dan mengancam ekosistem.
Dalam kajian Widodo itu juga disebutkan, penumbuhan kembali tanaman di hutan sekunder di Indonesia mereduksi emisi karbon sampai 105 juta metrik ton, tetapi data terbaru menunjukkan, kenaikan jumlah emisi karbon hingga 42 persen menjadi 149 juta metrik ton per tahun. Sebab, degradasi lahan gambut meningkatkan emisi karbon dari tanah 200 persen, yakni rata-rata 183 ton karbon per meter persegi per tahun.
Selain dari pelepasan saat pembukaan hutan, karbon dari lahan gambut yang terdegradasi terbawa ke sungai 21-25 juta metrik ton per tahun. ”Karbon yang terbawa melalui sungai ini terbawa ke laut,” ujar Widodo. Konsentrasi karbon yang meningkat di perairan membuat laut kian asam.
”Lautan yang kian asam membawa dua dampak besar, yakni kandungan oksigen terlarut berkurang dan hilang. Dampak berikutnya, pertumbuhan cangkang kerang dan kerangka terumbu karang dari kalsium karbonat terhambat atau bahkan terhenti,” katanya.
Sementara pelepasan emisi karbon di atmosfer, dalam berbagai kajian, telah diidentifikasi sebagai salah satu penyebab meningkatnya frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 29 Januari 2019