Tim Evaluasi Tidak Rekomendasikan Pembukaan Lima Program Studi Kedokteran
Sejumlah lembaga mendesak Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi meninjau ulang pembukaan lima program studi kedokteran. Sebab, beberapa program studi tersebut tidak direkomendasikan Tim Evaluasi Pengusulan Program Studi Kedokteran bentukan Kemristek dan Dikti.
Beberapa lembaga itu adalah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), dan Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI). Sejumlah lembaga itu akan menarik diri dari tim evaluasi pengusulan prodi kedokteran hingga Menristek dan Dikti merespons desakan itu.
Ketua KKI Bambang Supriyatno, dalam jumpa pers, di Jakarta, Jumat (1/4), mengatakan, dari delapan perguruan tinggi yang mendapat izin dari Kemristek dan Dikti untuk membuka program studi kedokteran, lima di antaranya sebenarnya tidak direkomendasikan tim evaluasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tanya sendiri kepada Menristek, perguruan tinggi mana saja yang tidak direkomendasikan untuk membuka program studi (prodi) kedokteran. Dia pasti tahu,” ujar Bambang.
Delapan perguruan tinggi yang mendapat izin membuka program studi kedokteran itu ialah Universitas Khairun Ternate, Universitas Surabaya, Universitas Ciputra Surabaya, Universitas Muhammadiyah Surabaya, dan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Perguruan tinggi lain adalah UIN Alauddin Makassar, Universitas Bosowa Makassar, dan Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Mantan Ketua Tim Evaluasi Pengusulan Program Studi Kedokteran Arsitawati memaparkan, ada sejumlah aspek yang dilihat tim saat memeriksa perguruan tinggi yang mendaftar pembukaan prodi kedokteran. Beberapa aspek itu terkait kesiapan perguruan tinggi atau pemiliknya, visi-misi, kurikulum, lingkungan pembelajaran, ketersediaan sumber daya pengajar, sarana, dan biaya.
Sarana tidak memadai
Lima perguruan tinggi yang tak direkomendasi tim kebanyakan terganjal soal ketersediaan sumber daya pengajar, sarana prasarana pembelajaran, dan sarana rumah sakit pendidikan.
Bahkan, dari lima perguruan tinggi yang tak direkomendasikan, ada satu yang tak dievaluasi tim. “Kami memeriksa proposal perguruan tinggi dari Kemristek. Satu yang tak diperiksa katanya mendaftar sebelum moratorium prodi kedokteran dicabut pada 2014,” kata Arsitawati.
Bambang menambahkan, KKI bertanggung jawab melindungi masyarakat dari praktik dokter dan dokter gigi yang tak kompeten atau tidak profesional. “Kami khawatir jika ada program studi kedokteran yang sebenarnya tak layak dibuka tetapi tetap dibuka, nantinya membahayakan masyarakat,” ujarnya.
Untuk itu, KKI bersama IDI, PDGI, AIPKI, dan ARSPI mendesak agar Menristek dan Dikti meninjau kembali izin pembukaan prodi kedokteran lima perguruan tinggi. Selain itu, Menristek dan Dikti diminta membuat surat keputusan moratorium pembukaan fakultas kedokteran serta membina fakultas kedokteran dan kedokteran gigi berdasarkan akreditasi dan tingkat kelulusan uji kompetensi.
Sementara di Gorontalo, Menristek dan Dikti Muhammad Nasir justru menyampaikan, untuk memastikan layanan kesehatan di setiap provinsi lebih terjamin, fakultas kedokteran sebaiknya didirikan di semua provinsi. “Hendaknya di setiap provinsi, minimal ada satu fakultas kedokteran (FK),” ujarnya.
Menurut Nasir, moratorium program studi kedokteran sejak Januari 2016 tak berlaku di wilayah yang mengalami kekurangan tenaga medis, seperti di Indonesia bagian timur. Sebab, di wilayah itu jarang ada perguruan tinggi menghasilkan dokter atau perawat untuk mengabdi kepada warga setempat.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mendirikan prodi kedokteran. Pertama, perguruan tinggi yang mengajukan pendirian FK harus berakreditasi minimal B. Kedua, tersedia dosen untuk setiap mata kuliah. Ketiga, ada rumah sakit untuk praktik pendidikan kedokteran. Fasilitas rumah sakit itu tidak perlu dibangun sendiri oleh perguruan tinggi, tetapi bisa bekerja sama dengan rumah sakit daerah.(ADH/DNE)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 April 2016, di halaman 13 dengan judul “Tinjau Kembali Izin Menristek”.