Durasi remaja Indonesia menggunakan internet antara lain untuk permainan daring dan media sosial yang lebih dari 20 jam per minggu.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Kristiana Siste membuat Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) untuk mengetahui tingkat adiksi remaja pada internet. KDAI merupakan hasil dari penelitian untuk kelulusan doktor ilmu kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kecanduan terhadap internet perlu mendapat perhatian serius. Di Jakarta, prevalensi kecanduan (adiksi) internet di kalangan remaja mencapai 31,4 persen, sedangkan di dunia berkisar 4,5-19,1 persen dan dewasa muda berkisar 0,7-18,3 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Durasi remaja Indonesia menggunakan internet antara lain untuk permainan daring dan media sosial yang lebih dari 20 jam per minggu. Remaja laki-laki yang mencandu internet kebanyakan menggunakannya untuk permainan daring, sedangkan remaja perempuan untuk media sosial.
Fenomena itu diungkap Kristiana Siste dalam disertasi berjudul Pengembangan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) bagi Remaja: Studi Konektivitas Fungsional Otak Melalui FMRI Bold, Prevelansi, Penelusuran Faktor Risiko, dan Proteksi dalam ujian untuk meraih gelar doktor bidang ilmu kedokteran pada Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (19/11/2019). Disertasi yang dipromotori Doktor Ilmu Kedokteran Jiwa pada Fakultas Kedokteran UI Martina Wiwie Nasrun ini mendapat yudisium A.
Kristiana mengatakan, prevalensi adiksi internet (AI) lebih tinggi di Asia daripada Eropa dan Amerika karena faktor budaya remaja Asia yang sulit berekspresi di lingkungannya. Sebaliknya, mereka lebih memilih berekspresi di dunia maya. Prevalensi AI pada anak remaja Jakarta lebih tinggi daripada China dan India.
Kecanduan internet dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik berupa obesitas dan hipersomnia, sedangkan dampak psikologis dapat menyebabkan bunuh diri, gangguan depresi, serta ansietas/kecemasan. Adapun dampak terhadap fungsi sosial meliputi terganggunya relasi dengan orang sekitar dan isolasi diri.
”Namun, adiksi internet ini belum dianggap masalah serius. Peran keluarga untuk membuat anak adiksi juga besar karena sebagian besar keluarga menyediakan internet dengan leluasa di rumah,” ujar Kristiana.
Ia menyarankan agar gejala kecanduan internet bisa dideteksi sejak dini. Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) yang ia susun untuk penelitian disertasinya bisa digunakan untuk keperluan itu.
Kristina menjelaskan, angka prevalensi Indonesia yang tinggi, sekitar 31,4 persen, karena adanya kemudahan mengakses telepon pintar. Sekitar 96 persen penggunaan internet dilakukan di rumah yang disediakan orangtua.
”Hasil diskusi kelompok terpumpun dengan orangtua, mereka merasa lebih senang anak bermain di dalam rumah daripada di luar rumah. Jadi, orangtua kurang mengawasi pemakaian internet. Selain itu, faktor risiko emosi dan perilaku anak Indonesia lebih tinggi sehingga mendorong penghindaran. Saat cemas, lebih suka berselancar di dunia maya,” tutur Kristiana.
Ia memaparkan, di China ada kebijakan nasional dengan mengadakan kemah musim panas bagi remaja berisiko tinggi sehingga bisa teralihkan dari internet. Dalam sistem game online, ada sistem yang membatasi bermain maksimal dua jam, lalu permainan terhenti secara otomatis, dan bisa bermain lagi dua jam kemudian.
Ada pula kebijakan ketika anak mengunduh gim, harus dengan akun orangtua. Di sekolah ada screening rutin pada adiksi internet dan kejiwaan. ”Indonesia belum ada kebijakan nasional. Jadi, AI lebih mudah terjadi,” lanjutnya.
Menurut Kristiana, instrumen untuk mengukur AI yang lazim dipakai, yakni internet addiction test (IAT) yang terdiri atas 20 pertanyaan, belum semua cocok dengan budaya dan kondisi remaja di Indonesia. Untuk itu, perlu dibuat kuesioner screening yang akurat seperti KDAI yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia dan melibatkan remaja.
Ketua Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran UI Suhendro mengatakan, kuesioner untuk mengetahui adiksi internet pada remaja Indonesia atau KDAI sudah dibuat dalam bentuk aplikasi.
Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 19 November 2019