Peneliti Yale University, AS, menemukan metode yang akan menekan biaya tes diagnostik Covid-19. Alih-alih usap tenggorokan, sampel tes diambil dari air liur atau saliva.
Lebih murah, lebih cepat, tetap akurat. Tiga hal ini yang dijanjikan sekelompok peneliti dari Yale University, Amerika Serikat, melalui skema pengujian Covid-19 yang mereka ciptakan. Metode yang diberi nama ”SalivaDirect” ini bahkan sudah mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA).
Pada prinsipnya, SalivaDirect mirip dengan mekanisme tes swab RT-qPCR (real time quantitative polymerase chain reaction) yang kini digunakan sebagai standar. Namun, metodenya disederhanakan sehingga ada dua perbedaan: pertama, asal sampel diambil; dan kedua, langkah yang dilakukan sebelum komponen genetika virus SARS-CoV-2 terdeteksi melalui mesin PCR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sesuai namanya, SalivaDirect menggunakan air liur atau saliva sebagai sampel, sedangkan tes konvensional, seperti yang diketahui, mengambil sampel dari rongga hidung-tenggorokan (nasopharyngeal swab).
CHANTAL B.F. VOGELS, ANNE L. WYLLIE, NATHAN D. GRUBAUGH, ET AL.—Skema tes SalivaDirect. Dalam skema ini tampak langkah-langkahnya tidak melibatkan proses ekstraksi yang biasa dilakukan dalam pengujian RT-qPCR konvensional.
Menggunakan saliva sebagai sampel memiliki keuntungan bahwa virus tetap stabil selama tujuh hari baik di suhu 4 derajat celsius, suhu ruangan (25 derajat celsius), maupun 30 derajat celsius sehingga tidak membutuhkan swab kit khusus.
”Cara kami ini dapat diterapkan secara luas karena tidak membutuhkan tabung penyimpanan khusus yang berisi pengawet dan hanya membutuhkan reagen yang umum. Dengan begitu, proses ini tidak akan terlalu terganggu apabila ada kelangkaan alat swab ataupun reagen khusus,” kata Chantal Vogels peneliti Yale School of Public Health yang memimpin penelitian ini dalam publikasi yang diterbitkan pada Sabtu (15/8/2020) akhir pekan lalu.
Dengan saliva, pengambilan sampel juga tidak memerlukan tenaga kesehatan terlatih yang saat ini sedang terjadi kekurangan tenaga kesehatan. Selain itu, metode pengambilan sampel di rongga hidung dan tenggorokan (nasofaring) juga dapat memicu batuk dan bersin sehingga tenaga medis berpotensi terpapar droplet infeksius.
Kemudian, apabila dalam uji konvensional sampel perlu diekstraksi untuk mendapatkan RNA dari material-material lain, SalivaDirect tidak melewati proses ini. Sampel air liur yang didapatkan justru langsung dipanaskan untuk menginaktivasi virus dan dicampur enzim proteinase-K. Enzim ini akan menghilangkan pecahan protein pada sampel tersebut dan membiarkan RNA virus berdiri sendiri.
Tanpa perlu swab kit, dan tidak melewati proses ekstraksi dan purifikasi, proses diagnotik Covid-19 dapat lebih murah.
”Pengujian yang luas sangatlah penting untuk mengendalikan pandemi ini. Dengan penyederhanaan metode yang kami susun ini, biaya pengujian sampel seharusnya bisa ditekan,” kata Nathan Grubaugh, salah satu anggota tim peneliti yang juga assistant professor di Yale.
Grubaugh, sebelumnya, bersama koleganya, Anne L Wyllie, dan Albert Ko telah meneliti mengenai potensi saliva sebagai sampel Covid-19.
Penelitian mereka yang dipublikasikan hasilnya pada April 2020 lalu menunjukkan bahwa saliva merupakan kandidat yang valid untuk dijadikan sampel. Penggunaan saliva dapat membuka peluang bagi pasien untuk mengambil sampelnya secara mandiri dan mengirimkannya ke laboratorium.
FDA pada hari yang sama juga menyetujui mekanisme SalivaDirect digunakan dalam kondisi darurat. ”Saliva Direct adalah sebuah inovasi yang dapat mengurangi permintaan terhadap peralatan dan bahan baku pengujian yang sekarang sedang langka,” kata Asisten Sekretaris Bidang Kesehatan FDA yang juga koordinator pemeriksaan pengujian Covid-19 Brett P Giroir.
Pakar mikrobiologi Fatwa Adikusuma menyambut baik temuan ini karena saat ini seluruh dunia sedang bersama-sama membutuhkan reagen dan peralatan untuk diagnostik Covid-19.
Fatwa mengatakan, proses purifikasi dan ekstraksi memang akan membuat sampel RNA yang akan diuji menjadi lebih baik karena protein akan terpisah dari ”benda” lain seperti protein.
”Tetapi, sebenarnya keberadaan benda-benda ini tidak terlalu mengganggu. Terlebih lagi, memurifikasi RNA ini perlu reagen, column, dan waktu yang signifikan. Kalau seandainya bisa menggunakan RNA yang tidak purified, maka bisa skip proses purifikasi,” kata Fatwa saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (19/8/2020).
Epidemiolog Harvard Michael Mina juga mengatakan, hal tersebut merupakan terobosan yang positif. Proses SalivaDirect akan menekan biaya bahan baku tes PCR 30-90 persen.
”Biaya bahan baku (SalivaDirect) kurang dari 5 dollar AS, dibandingkan tes biasa yang mencapai 15-50 dollar AS. Hal ini bisa membuat tes PCR lebih mudah diakses oleh negara-negara berpendapatan rendah dan menengah,” kata Mina melalui akun Twitter-nya.
Diuji ke atlet NBA
Dalam proses penelitian SalivaDirect ini, peneliti membandingkan hasil deteksi SARS-CoV-2 melalui saliva dan swab nasofaring. Hasilnya, SalivaDirect dan swab konvensional 97 persen sama pada sampel positif Covid-19 dan 100 persen pada sampel negatif.
Untuk proses validasi lebih jauh, Vogels mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan Asosiasi Bola Basket Nasional AS (National Basketball Association/NBA) dan Perhimpunan Atlet Bola Basket Profesional AS (National Basketball Players Association/NBPA).
Para staf klub dan atlet NBA yang kini berkompetisi secara terisolasi di Orlando, Florida, AS, akan juga dites menggunakan metode SalivaDirect.
”Para pemain kami turut bersemangat terlibat dalam penelitian ini. Tidak hanya memberikan alternatif tes bagi para pemain, tetapi juga karena dapat berkontribusi pada kemajuan penelitian melawan virus ini,” kata Chief Medical Officer NBPA Joe Rogowski.
Oleh SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Editor: KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 19 Agustus 2020