Keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 11 domain aplikasi percakapan Telegram menjadi langkah perdana yang dilakukan Indonesia untuk mencegah penyebaran paham radikal melalui layanan pesan itu. Langkah tegas tersebut dilakukan setelah kelompok teroris berafiliasi Negara Islam di Irak dan Suriah di Indonesia teridentifikasi memanfaatkan layanan Telegram sejak 2015.
Pada Agustus 2015, empat anggota Tim Hisbah yang kemudian menjadi sel teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) ditangkap oleh Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Kepolisian Negara RI karena diduga telah merencanakan aksi teror pada perayaan 17 Agustus di tiga lokasi, yaitu kuil, gereja, dan kantor kepolisian, di Kota Solo, Jawa Tengah. Penangkapan itu mengungkap fakta baru, Telegram menjadi layanan pesan yang digunakan untuk merencanakan aksi teror.
Ibadurrahman alias Ali Robani alias Ibad yang menjadi amir atau pemimpin sel teroris itu mendapat instruksi langsung dari rekan masa kecilnya, yaitu Bahrun Naim, untuk melakukan aksi teror melalui komunikasi di salah satu kanal Telegram dan grup Facebook. Konten-konten propaganda Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) juga dikirimkan Bahrun kepada Ibad melalui layanan media sosial itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terbaru, Ghilman Omar Harridhi, pelaku pemasangan bendera NIIS di Markas Kepolisian Sektor Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 3 Juli lalu, terinspirasi konten radikal di Telegram sebelum melakukan aksi. Sejak 2015, Ghilman aktif mengikuti empat kanal Telegram yang memuat konten propaganda NIIS, yaitu Manjanik, Ghuroba, UKK, dan Khilafah Islamiyah.
Terkait berbagai temuan itu, Densus 88 Antiteror pun berupaya untuk memantau komunikasi di dalam grup Telegram yang dioperasikan jaringan NIIS. Namun, upaya itu belum cukup untuk meredam masifnya penetrasi konten radikal yang dapat dikontrol oleh siapa pun dan di mana pun.
Polri secara intensif berkomunikasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memperkuat operasi siber. Dan, langkah Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memblokir 11 domain Telegram disambut positif Polri.
“Tidak hanya Telegram, kami juga berdiskusi dengan Kemkominfo agar berkoordinasi dengan Google dan Facebook untuk meredam radikalisme di dunia maya. Intinya, kami ingin semua pihak memahami bahwa kelompok teroris masih sangat bebas melakukan kampanye radikal di media sosial sehingga langkah nyata dan tegas dibutuhkan,” ujar Martinus.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA–Pengguna Telegram mengakses aplikasi tersebut di telepon selulernya di Jakarta, Minggu (16/7). Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 11 domain aplikasi percakapan Telegram yang dinilai sebagai medium penyebaran paham radikalisme dan terorisme.
Rudiantara memastikan pula bahwa pemerintah memiliki data terkait 170.000 kanal atau grup di Telegram yang digunakan kelompok teroris untuk menyebarkan propaganda radikal hingga langkah pembuatan bom.
Keunggulan
Telegram diciptakan oleh dua kakak beradik asal Rusia, yakni Pavel Durov dan Nikolai Durov, pada 2013. Sebelumnya, Pavel dikenal karena mendirikan VKontakte yang menjadi media sosial paling populer di Rusia mengalahkan Facebook.
Ketika Amerika Serikat dan negara-negara Eropa mendesak agar Telegram menutup kanal kelompok teroris, Pavel menolak mentah-mentah permintaan itu meski pada Desember 2016 ia akhirnya menutup 78 kanal bermuatan terorisme dari 12 bahasa. Akan tetapi, alih-alih menghapus atau membuka enkripsi kanal kepada pemerintah sejumlah negara dalam upaya kontraterorisme, Pavel tetap membiarkan ratusan ribu kanal NIIS lainnya dengan alasan menjamin kebebasan berpendapat para pengguna.
Menurut Ahmet S Yayla dan Anne Speckhard dalam jurnal ilmiah berjudul Telegram: the Mighty Application that ISIS Loves yang diterbitkan International Center for the Study of Violent Extremism pada Mei 2017, enkripsi yang menjadi fasilitas utama Telegram adalah salah satu faktor utama aplikasi tersebut menjadi favorit kelompok teroris, terutama NIIS. Keamanan enkripsi Telegram dikategorikan dalam tingkat militer (military grade).
Selain itu, keputusan Telegram untuk memperkenalkan versi komputer yang melengkapi layanan di gawai menjadikan Telegram semakin bebas diakses. Melalui versi komputer, semua pengguna bisa mengunggah video dalam ukuran besar dan langsung bisa terhubung dengan seluruh kanal Telegram. Bahkan, secara otomatis setiap data yang diunggah memiliki tautan sehingga siapa pun yang tak tergabung dengan kanal juga bisa mengakses video atau gambar itu.
Kanal atau grup di Telegram pun terbuka bebas. Siapa pun bisa bergabung tanpa perlu menunggu invitasi dari admin kanal itu. Oleh karena itu, mudah mendapatkan tautan berupa undangan untuk bergabung dengan kanal terbuka hingga “kanal rahasia”.
Bahkan, dalam laporan Institut Penelitian Media Timur Tengah (MEMRI), 11 Juli lalu, ditemukan panduan untuk bergabung dengan kanal Telegram jaringan NIIS berbahasa Indonesia melalui situs https://justpaste.it. Situs itu menampilkan tahapan demi tahapan untuk bergabung dengan kanal di gawai Android.
Kelompok teroris akan berevolusi memenangi perang siber. Alhasil, perlu ada penguatan pendekatan lunak untuk menyebarkan kontraideologi agar seluruh pihak, terutama generasi muda, menilai radikalisme tidak relevan dengan kehidupan bangsa Indonesia.(MUHAMMAD IKHSAN MAHAR)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juli 2017, di halaman 2 dengan judul “Terorisme dan Pemblokiran Telegram”.