SATU persen angka mujarab bagi Lembaga Survei Indonesia (LSI). Dengan tingkat kesalahan sebesar itu dalam memprediksi hasil pemilu legislatif lalu, LSI mencatat reputasi sebagai lembaga riset politik yang akurat.
Hal yang menarik bukan saja karena isinya membandingkan klaim-klaim kemenangan kandidat dengan hasil survei LSI. Lebih dari itu, data-data empirik yang dikumpulkan LSI direpresentasikan sebagai realitas objektif dan menjadi tolok ukur validitas klaim-klaim kemenangan calon presiden.
Dalam kerangka yang lebih luas, wawancara tersebut merupakan adegan kecil dari fenomena baru dalam wacana politik tanah air, yakni penggunaan metode survei untuk memahami perilaku dan pilihan politik masyarakat. Fenomena ini saya sebut sebagai kuantifikasi politik yang memadukan rasionalitas matematik dan logika kekuasaan. Di sini, politik telah jadi objek sains, bisa diamati dengan objektif, ilmiah, dan karenanya bersifat netral.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena kuantifikasi politik bukanlah hal yang baru. Di negara-negara Barat dengan tradisi demokrasi yang mapan, berjalannya sistem politik banyak dipengaruhi survei kuantitatif berbagai lembaga riset independen maupun media. Karena itu, munculnya LSI dan lembaga riset sejenis adalah hal yang wajar dalam proses demokrasi di tanah air, khususnya karena kemunculan lembaga-lembaga itu bertepatan dengan titik penting sejarah Indonesia, yakni pemilihan langsung presiden untuk kali pertama.
Sebagai sesuatu yang baru di Indonesia, wajar jika kiprah lembaga riset disambut respons kontroversial. Salah satu kritik yang paling menonjol adalah soal netralitas. Kecurigaan demikian muncul karena adanya koneksivitas antara beberapa peneliti dan kelompok politik tertentu. Juga adanya kecenderungan beberapa hasil survei yang seakan-akan memberikan keuntungan politis bagi kandidat presiden tertentu. Tetapi, lepas dari tuduhan muatan kepentingan dalam praktik kuantifikasi politik, ada satu pertanyaan yang lebih penting. Apa kontribusi dan implikasi dari kuantifikasi politik bagi praktik demokrasi di Indonesia?
Seperti diketahui, di era Orde Baru, politik bersifat paradoks. Pada satu sisi, sistem politik bersifat pasti karena semua keputusan politik berada di tangan Soeharto sebagai puncak piramida kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi, justru karena struktur kekuasaan bergantung pada satu indivividu, sistem politik Orde Baru diselimuti ketidakpastian. Itu disebabkan keputusan-keputusan politik sangat bergantung pada subjektiv itas Soeharto yang bersifat otoriter dan tidak pasti sehingga sulit diprediksi.
Setelah reformasi, struktur piramida kekuasaan Orde Baru terbongkar. Kekuatan-kekuatan politik menyebar horizontal melalui sistem demokrasi. Keputusan politik tidak lagi berada di tangan-tangan segelintir elite politik, tapi telah berpindah ke tangan setiap individu masyarakat. Perpindahan kekuatan inilah yang memungkinkan praktik kuantifikasi politik dilakukan karena satuan yang diamati bersifat individual.
Tentu saja, perpindahan kekuataan politik itu berimplikasi pada meningkatnya kompleksitas analisis politik karena jumlah individu yang diamati jauh lebih banyak dan lebih heterogen. Tetapi, ini bukan masalah signifikan karena dalam praktik kuantifikasi politik, politik bukan lagi suatu sistem yang tidak terukur dan tidak dapat diprediksi. Melalui seperangkat metode survei dan model statistik, politik telah berubah menjadi sebuah bidang koordinat yang disusun oleh satuan-satuan definitif yang terukur.
Patut dicatat, pengamatan positivistik demikian hanya bisa dilakukan dengan dua asumsi. Pertama, setiap individu bersifat otonom. Kedua, pilihan politik bersifat rasional. Secara epistemologis, kedua asumsi itu bermasalah karena terlalu mengandalkan pendekatan individual dan cenderung menafikan faktor-faktor struktural seperti kelas, agama, ideologi, dan etnisitas yang sangat berpengaruh dalam pilihan pol itik orang Indonesia.
Lepas dari konundrum epi stemologis di atas, implikasi substansial dari kuantifikasi politik adalah demistifikasi wacana politik. Proses demistifikasi ini kurang lebih sama dengan yang dilakukan sains terhadap fenomena alam melalui sistem pengetahuan modern. Dengan menelanjangi alam sampai ke bangunan terkecilnya, sains menghilangkan unsur-unsur mistik dalam interpretasi fenomena alam melalui penjelasan logika-empirisme yang menggantikan penjelasan metafisik.
Dalam praktik kuantifikasi pol itik, hal yang sama terjadi. Wacanapolitik bukan lagi sebuah kotak hitam yang penuh misteri dan menjadi wilayah eksklusif segelintir elite partai politik maupun eksekutif negara. Karenapilihan politik beradadi tangan individu, maka agenda kuantifikasi politik adalah untuk menguak misteri-misteri politik langsung dari tangan individu sebagai unit terkecil bangunan demokrasi.
Efek demistifikasi politik ada dua. Pertama, praktik kuantifikasi politik mem-berikan dorongan ke masyarakat untuk berpartisipasi aktif. Melalui partisipasi ini, masyarakat dapat melihat posisi dan peranmerekasebagaibagiandariwacana politik. Ini menstimulus kesadaran bahwapolitik ialah bagiandari kehidupan sehari-hari di mana politik menjadi hal biasa, tidak lagi istimewa.
Kedua, karena politik telah menjadi banal, ini memungkinkan demokrasi dilihat sebagai sebuah praktik sosial dalam kehidupan sehari-hari di mana setiap individu memiliki hak suara yang sama. Artinya, demokrasi dilihat sebagai sebuah proses, bukan sebagai tujuan.
Kedua efek demistifikasi itu, dalam jangka panjang, dapat menj adi katalisator bagi terciptanya sistem politik yang partisipatif. Pada tingkat ini, fungsi kuantifikasi politik tidak hanya untuk mengidentifikasi besaran suara dalam pemilu. Dia dapat berperan dalam proses pembuatan kebijakan publik di mana suara-suara rakyat yang direpresentasikan secara eksak dapat menjadi referensi bagi para pengambil keputusan.
Kuantifikasi politik bukan berarti tanpa konsekuensi. Di satu sisi, dia dapat memberikan data-data yang akurat, cepat, dan tepercaya sehingga ramalan-ramalan politik tidak lagi berdasarkan selera atau intuisi pengamat politik. Melalui teknologi representasi data yang real-time, praktik kuantifikasi politik memproduksi ke-pastian tentang pilihan-pilihan politik jauh sebelum realitas pol itik yang sebenaniya terjadi.
Tetapi di sisi lain, obsesi kepastian dalam praktik kuantifikasi politik itu cenderung mereduksi wacana politik ke dalam representasi matematik di mana angka menjadi realitas politik. Dalam situasi demikian, kuantifikasi politik pada gilirannya akan memistifikasi dirinya sebagai kebenaran politik yang paling valid. Pada titik ini, demokrasi sangat mudah tergelincir menjadi semata-mata permainan statistik.
Sulfikar, Amir, kandidat doktor di Dept. Science and Technolagy Studies, Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, NY. [amirs3@rpi.edu]
Sumber: Indo Pos, 25 Juli 2004