Rencana pemerintah meningkatkan baku mutu emisi pembangkit listrik tenaga uap disambut baik. Langkah ini merupakan wujud partisipasi Indonesia menurunkan emisi nasional sekaligus meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Karena itu, pengetatan baku mutu emisi agar dilakukan secara signifikan dengan melihat hasil pemantauan pada pembangkit-pembangkit listrik eksisting.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menghimpun 24.764 megawatt (MW) atau hampir 50 persen total kapasitas pembangkit di Indonesia, seluruhnya memenuhi baku mutu emisi yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2008. Pada pembangkit yang didirikan dalam fast track program (FTP) 1 dan 2 atau setelah 2006/2008 menunjukkan performa 30-60 persen di bawah baku mutu.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Margaretha Quina, Sabtu (11/11), di Jakarta, mengatakan, pembangunan pembangkit listrik baru—sekitar 21.000 MW dari batubara pada program 35.000MW—akan menghasilkan emisi yang memperparah kualitas udara apabila tak disertai pengetatan baku mutu secara signifikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Beban emisi diproyeksikan bertambah dengan masif. Dari semua pembangkit termal, yang paling relevan pengetatan baku mutunya adalah PLTU Batubara,” ujarnya.
Beban emisi diproyeksikan bertambah dengan masif. Dari semua pembangkit termal, yang paling relevan pengetatan baku mutunya adalah PLTU Batubara.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Lanskap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Merak, Banten, Kamis (19/5). PLTU yang berkapasitas lebih dari 4.000 megawatt tersebut telah menggunakan pembangkit dengan teknologi ramah lingkungan yang mampu menangkap limbah debu batubara.
Baku mutu emisi PLTU Batubara yang berlaku saat ini membatasi total partikulat (PM) pada 100 mikrogram per meter kubik (mg/m3), sulfur dioksida 750 mg/m3, dan nitroks 750 mg/m3 untuk PLTU-B pasca-2008. Ini jauh lebih longgar dibandingkan dengan India dan China yang mensyaratkan baku mutu emisi untuk PLTU-B baru untuk parameter PM pada 30 mg/m3, SO2 pada 100 mg/m3, dan NOx pada 100 mg/m3, dan merkuri pada 0,03 mg/m3. Dalam draf revisi Permen No 21/2008, KLHK memasukkan pembatasan emisi merkuri (Kompas, 10 November 2017).
Belajar dari kedua negara tersebut, kata Quina, Indonesia bisa menerapkan pengetatan baku mutu emisi pada pembangkit listrik berdasarkan kapasitas dan atau umur pembangkit. Ia yakin hal ini dapat dilakukan mengingat data KLHK menunjukkan pembangkit listrik dalam FTP 1 dan 2 menunjukkan performa 30-60 persen di bawah baku mutu.
Prevalensi penyakit
Fajri Fadhillah, peneliti di Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL, menambahkan, pengetatan baku mutu emisi jangan dilihat sebagai beban modal pembangunan pembangkit listrik, tetapi harus melihat juga keuntungan yang diperoleh. Keuntungan yang diperoleh misalnya dalam bentuk menurunnya prevalensi penyakit yang berkaitan erat dengan emisi dari PLTU Batubara.
”Jadi, selain studi mengenai ketersediaan teknologi yang tersedia dan juga dampak ekonominya, sebaiknya KLHK bersama dengan kementerian lain yang terkait juga melakukan studi mengenai keuntungan kesehatan yang dapat diperoleh dari kebijakan pengetatan baku mutu emisi PLTU Batubara,” katanya.
Bondan Adrinyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengingatkan, pemantauan kualitas udara yang dilakukan organisasinya pada Januari hingga Juni 2017 di 21 lokasi wilayah Jabodetabek terindikasi memasuki level tidak sehat. Konsentrasi polutan debu (PM) 2,5 harian melebihi baku mutu emisi WHO (25 mg/m3 dan baku mutu udara ambien nasional (65 mg/m3).
Di wilayah Jakarta Pusat hanya kurang dari 20 hari waktu yang menunjukkan sehat pada periode itu. Merujuk pada jurnal terbaru Lanset, ia menunjukkan PM2,5 berkorelasi sangat dekat dengan penyakit kanker paru, cardiovascular, dan berbagai penyakit kronis mematikan.
Dihubungi sebelumnya, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dasrul Chaniago masih belum mau menyebutkan angka baku mutu emisi pada draf revisi Permen LH No 21/2008. Namun, ia memberikan petunjuk. ”Kalau lebih longgar, buat apa (permen) direvisi,” katanya.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 13 November 2017