Tektonik Lempeng dan Falsafah Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi

- Editor

Selasa, 11 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Teori tektonik lempeng yang lahir pada tahun 1967 mengajarkan bahwa kerak bumi ini terdiri dari beberapa Iempeng besar ukuran benua, masing masing terdiri dari bagian oceanik (lempeng samudra) dan kontinental (lempeng benua) yang bergerak relatif satu terhadap yang lain. Tebal lempeng benua rata-rata 35 km dan lempeng samudra sekitar 5 -10 km, tetapi di bawah suatu rangkaian pegunungan, tebal lempeng benua dapat mencapai sekitar 70 km.

Bergeraknya lempeng disebabkan karena magma cair dan panas yang berasal dari kedalaman secara kontinu keIuar ke atas permukaan bumi, ialah dalam hal ini melalui celah-celah ukuran sangat besar yang disebut Pematang Tengah Samudra (Mid-Oceanic Ridge) yang ditemukan sambung menyambung melingkari bumi ini sejauh puluhan ribu kilometer dan ditemukan mudah di kawasan samudra, dan mendorong menyamping bagian-bagian magma yang sudah membeku dan yang sudah membentuk kerak oceanic (kerak samudra).

Kecepatan gerak relatif lempeng-lempeng berkisar antara 1 sampai 18 cm/ setahun. Meskipun menurut ukuran manusia kecepatan ini adalah sangat kecil, namun dilihat dari kacamata geologi gerak ini sangat berarti, karena gerak 5 cm setahun misalnya, dalam satu juta tahun dapat ”menghanyutkan” suatu benua sejauh 50 km ke arah jurusan tertentu. (Benua Australia misalnya dengan kecepatan 6 cm pertahun sedang bergerak ke arah utara yang dalam beberapa juta tahun, kalau proses ini berlangsung tanpa gangguan dapat menjepit kepulauan Nusantara antara benua Australia dan Asia).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kerak samudra (oceanic) dalam perjalanan lanjutnya akan bertumbuk dengan kerak benua (kontinen) yang sudah stabil kedudukannya dan kerak samudera tersebut akan menekuk (menunjam) dengan suatu sudut ke bawah kerak benua pada tempat hambatan ini dengan kerak bumii yang lebih ringan tetap mengapungg di atas.

lndonesia merupakan wilayah di mana 3 buah lempeng ialah Lempeng Pasifik dari arah Timur, Lempeng Samudra India-Australia dari arah Selatan dan Lempeng Eurasia yang terletak di arah Barat laut,saling bertumbukan (Katili, 1971) (lihat gambar No. 3).

20160701_082109Lempeng oceanik Samudra India yang bergerak dari Selatan ke Utara dalam pola gerak konvergen ini akan menunjam ke bawah Lempeng benua Eurasia yang posisinya sudah stabil. Lempeng Samudra yang kaku dan tidak panas lagi itu akan terus menunjam dengan suatu sudut ke kedalaman yang makin tinggi suhunya. Pada kedalaman sekitar 150 km sebagian dari pada lempeng samudra itu akan meleleh dan lelehan-lelehan itu akan menerobos ke atas membentuk pusat-pusat magma. Sebagian daripadanya akan mampu bergerak terus ke atas, menembus permukaan bumi dan membentuk gunung-gunung api.

Maka dengan demikian dari arah samudra ke arah Kontinen Sunda akan dijumpai bentuk-bent fisik pada kerak bumi (disebut elemen-elemen tektonik) berupa: 1) Zona penunjam; ditandai oleh ada palung (trench, trog), 2) Zona busur kepulauan tanpa aktifitas gunung api (contoh: Kep. Mentawai), 3.Zona Cekungan Busur Muka, 4) Busur Volkanik/Gunang api (Peg.Barisan).4) Zona Cekungan Busur belakang 5) Daerah Kontinen Sunda, Kontinen Sunda nyatanya adalah bagian paling Tenggara dari Kontinen Eurasia.

Di Indonesia bagian Timur, proses pertumbukan antara lempeng oceanik Pasifik yang datang dari arah Timur, Lempeng Australia yang bergerak dari Selatan ke Utara dan Lempeng Eurasia (Kontinen Sunda) rupanya terpusat di kawasan Sulawesi Laut Banda. Penelitian lanjut masih diperlukan di kawasan dengan dengan keadaan geologi yang rumit ini demi lebih jelasnya pola tekonik yang juga menyangkut letak kedudukan dan tipe cekungan-cekungan sedimen.

Penelitian modern di Indonesia bagian Barat selanjutnya mengungkapkan bahwa gradien temperatur (= naiknya suhu per satuan kadalaman) dan aliran panas (heatflow = grad. temperatut x konduktifitas panas) di kawasan cekungan Busur Belakang dijumpai dengan nilai-nilai yang cukup tinggi, sedangkan diketahui bahwa hal tersebut adalah salah satu kriteria guna adanya pematangan (maturasi) zat-zat pembentuk hidrokarbon menjadi minyak bumi dan/atau gas bumi. Faktor-faktor lainnya untuk terbentuknya minyak dan gas adalah kriteria geokimia dan kriteria geologi, seperti antara lain adanya batuan asal dengan kandungan zat organik secukupnya serta adanya jebakan, batuan reservoir dan seterusnya.

Data hasil penyelidikan juga menunjukkan bahwa nilai-nilai gradien temperatur dan heatflow adalah umumnya rendah di kawasan Cekungan Busur Muka (Hamilton, 1978). Kenyataan ini sejalan dengan teori Tektonik Lempeng yang mengajarkan adanya lempeng yang telah ”dingin” di tempat penunjaman semenjak beranjak dari Pematang Tengah Samudera sebagai massa yang panas dan pijar, sedangkan seyogyanya bagian dasar kawasan Cekungan Busur Belakang selain Busur vulkanik akan berada pada tingkat lingkungan suhu lebih tinggi baik oleh adanya terobosan-terobosan diapir magma yang berasal dari daerah selubung bumi yang terletak di bawah kerak bumi dan yang selanjutnya berkumpul di bawah litosfer (Karig, 1971), ataupun oleh adanya aliran panas akibat proses pemekaran sekunder (secondary spreading center) di selubung bumi bagian atas ialah tepatnya di sebelah atas bidang permukaan lempeng oceanik yang sudah menunjam jauh di kedalaman itu, dan di bawah kawasan Cekungan Busur Belakang (Sleep & Teksoz, 1971).

Penyelidikan-penyelidikan terakhir juga menunjukkan bahwa sejarah pembentukan Cekungan Busur Belakang di kawasan/Indonesia Bagian Barat mengenal adanya pematahan bongkah (blockfaulting) sejak mula masa pengendapan sedimen Tersiar dengan juga terciptanya sesar-sesar ukuran utama yang menjurus dalam sekali (deep-seated faults) yang diperkirakan turut memungkinkan terobosan-terobosan magma panas ke atas berupa ”sills” di antara lapisan-lapisan Miosen yang dapat membantu maturasi hidrokarbon di daerah cekungan (Eubank & Makki, 1981; Pulunggono, 1983). Hal tersebut rupanya tidak lepas daripada adanya suatu fase tarikan atau perenggangan (tensional phase) yang mempengaruhi kawasan Cekungan Busur Belakang di zaman Tersier Awal, hal mana selain mengakibatkan adanya sesar-sesar normal utama tersebut di atas juga menyebabkan adanya perentangan (stretching) yang berakibat suatu penipisan pada batuan dan kontinental suatu cekungan busur belakang. Pada taraf selanjutnya akan terjadi proses pemekaran lebih lanjut di mana magma basaltik yang identik dengan material yang membentuk kerak oceanik akan dapat keluar di atas permukaan melalui suatu pusat pemekaran (spreading centre) yang baru, membentuk suatu tipe cekungan yang didasari oleh kerak oceanik seperti yang sedang berlangsung di laut Andaman dewasa ini.(Curray & Moore, 1975).

Namun menurut Bally (1980) pada cekungan-cekungan busur belakang di Sumatra yang letaknya pada arah penerusan Tenggara dari Laut Andaman,proses pemekaran lebih lanjut itu tidak penuh terlaksana atau “aborted” sehingga cekungan-cekungan busur belakang ini tidak sempat menjadi apa yang disebut ”marginal sea basins”. Menurut hemat kami, keadaan tersebut, mungkin sekali berkaitan dengan adanya fase kompresi (compressive phase) yang mempengaruhi daerah cekungan-cekungan busur belakang di Sumatra (c.q. Cekungan Palembang) sejak sekitar pertengahan zaman Tersier, menyusul fase tarikan yang telah disebut itu.

Selanjutnya penelitian juga menuniukkan bahwa Kontinen Sunda yang letaknya berbatasan sekali dengan kawasan cekungan-cekungan busur belakang, telah berperan sekali bagi adanya batuan klastik yang dewasa ini merupakan reservoir minyak/gas di cekungan-cekungan busur belakang, selain tentunya daerah-daerah tinggi setempat (local ”highs”) daripada batuan dasar yang terletak di kawasan cekungan busur belakang juga berperan sebagai daerah-daerah asal bahan klastik.

Jadi, dalam sejarah perkembangannya ”back are basins” di Sumatra (dan juga di Jawa-Laut Jawa) selain letak kedudukannya yang lebih menguntungkan dari segi suhu, telah mengalami proses proses (geologi) lebih lanjut yang turut membantu ”prospectiveness” di cekungan busur belakang, yang tidak (atau belum) dialami oleh ”fore are basins” (cekungan-cekungan busur muka).

Demikian pula cekungan-cekungan Pinggir Kontinen (Kalimantan Timur, Natuna ataupun Salawati) telah mengalami tektonik lebih lanjut seperti halnya cekungan busur belakang, yang tidak/belum dialami oleh cekungan-cekungan busur muka (lihat tabel).

Dalam beberapa tahun terakhir ini telah timbul suatu konsep baru yang pada hakekatnya adalah suatu varian tekhadap teori Tektonik Lempeng dan malah melengkapinya. Konsep tersebut yang dikembangkan di Amerika Serikat mempunyai dasar fikiran bahwa bergeraknya lempeng oceanik membawa serta pecahan-pecahan daripada lempeng benua yang lebih kecil ukurannya, ialah sekitar beberapa ratus kilometer, atau disebut kontinen-kontinen mikro yang semula berasal dari suatu kawasan kontinen besar yang pernah ada di belahan bumi bagian Selatan yang dikenal sebagai Benua Gondwana (seperti yang diajukan oleh Wegener dan dijelaskan oleh teori Tektonik Lempeng) yang pada sekitar 200 juta tahun yang lalu mulai terpisah-pisah menjadi beberapa bagian yang bergerak saling menjauh ke berbagai jurusan. Di antara kawasan-kawasan benua yang terus bergerak memisah itu terjadi kawasan-kawasan samudra purba yang bentuk modernnya adalah samudra-samudra yang kita kenal pada peta bumi dewasa ini. Jadi nyatanya lebih banyak benua yang berukuran lebih kecil (kontinen-kontinen mikro) yang bergerak selama itu yang mencakup beberapa periode waktu geologi. Akibatnya ialah bahwa kontinen-kontinen mikro dapat menumbuk dan menyatu (sutured) pada suatu kontinen purba yang sebelumnya sudah berada setempat. Benua Amerika Utara bagian Barat laut misalnya disimpulkan terdiri dari beberapa kontinen mikro yang asalnya dari suatu tempat di kawasan Pasifik Selatan yang ribuan kilometer letaknya dari pantai Barat Amerika Utara dewasa ini dan yang “dicangkokkan” pada suatu kontinen purba yang sudah ada. Setelah fase penyatuan bagian-bagian kontinen gerak penunjaman dari pada lempeng oceanik ke bawah kawasan kontinen yang sudah bertambah luas itu berjalan seperti sediakala.

Dalam hubungannya dengan permasalahan cekungan-cekungan berumur Tersiar di wilayah Indonesia (Sumatra Selatan, Sumatra Tengah), maka juga dapat disimpulkan bahwa sebagian dari pada batuan dasar (basement) yang berumur pra Tersiar (lebih tua dari 65 juta tahun) terdiri dari satu atau beberapa kontinen mikro yang sebelum zaman Tersiar telah menumbuk dan lalu menyatu dengan kontinen purba yang sudah ada setempat yang tak lain adalah Kontinen Sunda yang purba.

Implikasinya ialah bahwa zona-zona yang menandai tempat menyatunya kontinen mikro dan Kontinen Sunda Purba merupakan zona-zona yang “aktif” dengan semula didasari oleh kerak oceanik yang semakin menyempit dan malah dapat ”lenyap” di kawasan mana sedimentasi dan tektonik (pematahan, pelipatan, gerak lateral, gerak vertikal dan lain-lain) berlangsung aktif. Jadi cekungan sedimen umur Tersiar yang kita kenal sebagai cekungan busur belakang itu dalam konteks ini adalah cekungan yang berkaitan dengan zona sutur.

Penelitian menunjukkan bahwa justru di zona-zona yang relatif sempit dan memanjang itu dijumpai nilai-nilai heatflow yang tertinggi di kawasan cekungan serta dijumpai lapangan-lapangan minyak/gas utama saat ini.

Implikasi lanjut daripadanya ialah bahwa zona-zona ”aktif” tersebut yang antara lain menjurus Selatan-Utara (atau utara-Selatan) kea rah Selatan mungkin sekali meneruskan diri ke kawasan busur vulkanik dewasa ini. Secara teoritik malah dapat menjurus lebih jauh ke dalam wilayah cekungan busur muka (fore-arc basins) dewasa ini.

Jadi, cekungan-cekungan busur muka (fore-arc basins) dalam gambaran ini masih berkemungkinan mengandung bagian-bagian prospektif yang merupakan kelanjutan (extension) daripada suatu jalur yang dewasa ini sudah terbukti prospektif di kawasan cekungan busur belakang (back-arc basins), tetapi sudah jelas bahwa prospek minyak/gas lanjut terutama masih harus diharapkan dari kawasan cekungan busur belakang dan cekungan pinggir kontinen (lebih-lebih yang sudah terbukti berproduksi minyak/gas) berikut beberapa zona penerusannya yang dapat menjurus di wilayah busur volkanik (kawasan kaki pegunungan dan jalur-jalur di kawasan pegunungan) dewasa ini. Untuk wilayah Indonesia bagian barat hal tersebut berlaku untuk cekungan Sumatera Tengah, Cekungan Sumatera Selatan dengan beberapa jalur penerusannya dikawasan Pegunungan Barisan. Demikian pula juga sudah diduga adanya jalur (jabur) sedimentasi zaman Tersiar yang merupakan ”penghubung” antara cekungan Sumatra Utara dan kawasam lepas pantai di pantai Barat. Kemungkinan adanya jalur-jalur penerusan ke arah Selatan di Cekungan Jawa Barat Utara (dan Cekungan Jawa Timur?) juga tidak boleh diabaikan.

Namun kriteria tektonik dan kriteria lingkungan sedimemasi tersebut selain memerlukan penelitian yang lebih mandalam lagi di kemudian hari, masih tetap harus dilengkapi dengan riset lebih lanjut di bidang geokimia terutama yang menyangkut tipe bahan organic serta proses maturasi-nya yang juga melibatkan suhu ataupun di bidang geofisika berupa antara lain seismik refleksi dalam.

Suatu aspek lainnya di dalam usaha penemuan cadangan baru minyak dan gas bumi ialah diketahui adanya lapisan-lapisan batuan klastik befumur Iebih tua dari Tersiar yang berkemungkinan merupakan batuan resorvir. Dalam hubungan ini suatu pengertian yang lebih mendalam tentang Tektonik Lempeng yang menyangkut bidang-bidang penunjaman serta busur-busur purba akan sangat membantu.
————
Artikel ini merupakan kutipan dari Pidato Ilmiah Dies Natalis Universitas Trisaksi ke XVIII yang disampaikan oleh dosen tetap Fakultas Teknologi lndustri, Dr. Achmad Pulunggono pada tanggal 30 November 1983. Dimuat di Majalah Tridharma tahun 1983.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Berita ini 249 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB