Teknologi pemadaman kebakaran lahan gambut hingga kini belum ada yang efektif mematikan sumber api pada kedalaman rawa gambut. Sejauh ini, hanya hujan yang mampu melakukannya. Namun, teknologi mengendus ancaman kebakaran sudah ada.
Sejauh ini, teknologi pemantauan yang umum digunakan berkutat pada pembacaan titik panas. Bisa juga api telanjur muncul dan terlambat untuk memadamkannya mengingat lokasi api itu umumnya sulit dijangkau dengan infrastruktur dan sarana terbatas.
Di sisi lain, gambut yang telanjur kering, apalagi terbakar, akan sulit dipulihkan atau kembali seperti sediakala. Gambut yang salah satu fungsinya sebagai penyimpan air-seperti halnya perbukitan atau pegunungan karst-akan kempis dan kehilangan daya serap. Belum lagi, kehilangan keanekaragaman hayati serta pelepasan emisi karbon yang sangat dahsyat dari gambut yang terbakar akan sangat berkontribusi pada laju perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak ada pilihan selain menjaganya dari bahaya kekeringan atau kebakaran. Selain upaya teknis pembasahan seperti yang sedang disiapkan Badan Restorasi Gambut (BRG), pemantauan untuk memastikan bahwa lahan itu basah harus dilakukan.
Adalah sistem teknologi pemantauan SESAME (Transmisi Data Hasil Sensor secara Waktu Nyata) dari Negeri Sakura. Peralatan tersebut akhir-akhir ini kerap disebut-sebut oleh BRG. Sistem pemantauan gambut itu sebenarnya telah lama digunakan di Laboratorium Alam Hutan Gambut Taman Nasional Sebangau serta hutan atau lahan lain di Kalimantan.
Alat ini multifungsi. Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, misalnya, sejak 2014 memakai SESAME untuk mengukur ketinggian permukaan air waduk. Jadi, petugas waduk tak perlu lagi secara manual memantau ketinggian muka air bendungan.
Bahkan, dalam waktu dekat, 49 unit SESAME dipasang di aliran sungai atau irigasi dari Waduk Jatiluhur. Jadi, tanpa menanti birokrasi atau permintaan buka-tutup air, pengelola waduk bisa menentukan pemenuhan air secara efisien.
Di Pintu Air Katulampa Bogor pun akan dipasang alat bersistem sederhana itu. Ketinggian air Katulampa yang jadi peringatan kewaspadaan banjir di Jakarta diketahui secara waktu nyata.
“Saat saya di Hokkaido, Jepang, Pak Takahashi (Hidenori, Wakil Kepala NPO Hokkaido Kalimantan Exchange Association) bilang ke saya bahwa Kapuas banjir. Ia tahu dari data SESAME yang dibaca di handphone,” kata Bambang Setiadi, peneliti senior gambut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Selasa (3/5), di Jakarta.
SESAME untuk pemakaian di gambut dilengkapi sensor pembaca tinggi muka air, suhu udara, aliran karbon, dan curah hujan. Untuk teknologi seri terbaru, SESAME II-05d dilengkapi penunjuk kecepatan dan arah angin, kelembaban, dan tekanan udara setempat.
Peralatan yang dikembangkan Midori Engineering Laboratory Co Ltd di Sapporo, Jepang, itu memakai sensor yang ditanam di kedalaman gambut. Hasil pembacaan sensor disalurkan ke alat perekam yang bisa langsung dikirim ke server lewat sambungan sinyal operator telekomunikasi berbasis GSM/ GPRS atau W-CDMA.
Mengingat banyak lokasi gambut di Indonesia di daerah remote atau belum terjangkau sinyal operator telekomunikasi, alat itu bisa memakai teknologi pengiriman data lewat satelit. Itu tentu dengan biaya peralatan dan operasional berlangganan data satelit jauh lebih mahal.
Saat ini server peralatan SESAME di Indonesia berada di Hokkaido, Jepang. Itu terutama untuk riset dan proyek Indonesia-Jepang REDD+ di Taman Nasional Sebangau dan sekitar. Karena Indonesia tertarik memakai sistem teknologi pemantauan itu untuk restorasi gambut, pihak Hokkaido setuju memindahkan server ke kantor Geotech BPPT di Serpong, Banten.
Dari server BPPT, data akan disajikan ke BRG; Badan Nasional Penanggulangan Bencana; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; serta Unit Hujan Buatan BPPT. Bahkan, BRG mengusulkan agar informasi tersaji di Istana Negara.
“Jadi, Presiden bisa melihat langsung perkembangan restorasi, apa yang kurang dari upaya restorasi kami,” kata Kepala BRG Nazir Foead. Secara waktu nyata, Presiden dan warga (jika akses informasi dibuka kepada publik) bisa melihat kondisi atau kerentanan gambut.
“Kalau tinggi muka air drop atau gambut kering, bisa diperintahkan ada hujan buatan agar gambut basah dan tak rentan banjir,” ujar Bambang.
Sejauh ini, belum jelas berapa unit SESAME yang akan dipakai BRG untuk memantau pekerjaannya di 2 juta hektar lahan yang harus direstorasi. Menurut Hidenori Takahashi yang juga Kepala Hokkaido Institute of Hydro-Climate, satu unit SESAME bisa dipakai di satu lanskap seluas 2-3 kilometer persegi. “Kecuali jika ada kanal. Harus dipasang satu-satu pada gambut yang terbelah kanal,” katanya.
Menurut Bambang, harga per unit peralatan SESAME berkisar Rp 60 juta dengan baterai yang dayanya diisi dengan panel surya. Pihak BRG memetakan kebutuhan teknologi SESAME yang bisa dipakai di lebih dari 400 kawasan hidrologis gambut di tujuh provinsi lokasi proyek.
Seperti berinvestasi pada peringatan dini tsunami ataupun gempa yang mahal, pembangunan infrastruktur dan sistem itu perlu dana. Dengan kondisi Indonesia tiap tahun ada kebakaran lahan dengan kerugian Rp 221 triliun (pada 2015), teknologi itu perlu untuk menyudahi kebakaran gambut di Indonesia.
Namun, butuh kesadaran semua pihak untuk menjaga gambut basah. Teknologi itu tak berguna jika pengawasan minim serta warga dan pengguna lahan gambut menilai gambut berguna jika dikeringkan.–ICHWAN SUSANTO
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Menjaga Gambut Tetap Basah”.