Otak adalah pusat dari seluruh gerak dan refleks individu di dunia. Ketika saraf tulang belakang sebagai pengantar informasi dari dan ke otak rusak, tubuh pun menjadi lumpuh. Namun, seiring kemajuan teknologi, aktivitas sederhana tangan bisa dikembalikan melalui lengan robotik melalui cip yang ditanamkan di otak.
Lebih dari satu dasawarsa, Erik G Sorto (34) lumpuh pada bagian leher ke bawah setelah saraf tulang belakangnya rusak karena tertembak. Kini, menggunakan lengan robotik, pria itu sudah mampu minum sendiri menggunakan gelas dengan menggunakan sedotan.
Bahkan, ia juga bisa bermain “batu, kertas, dan gunting” menggunakan lengan robotiknya. Wajahnya semringah di atas kursi khusus dengan berbagai perlengkapan alat bantu canggih yang menempel di kursinya, ketika ia memperagakan kemampuan terbarunya itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adalah pikiran Sorto sendiri yang mengendalikan lengan robotiknya untuk bergerak sesuai keinginannya. “Ini sangat luar biasa. Saya menunggu momen ini selama 13 tahun untuk bisa minum bir sendiri,” kata Sorto, pasien kuadriplegia (kelumpuhan karena penyakit atau cedera yang mengakibatkan hilangnya kemampuan sebagian atau semua anggota gerak tubuh) seperti dikutip The Wall Street Journal, Kamis (21/5).
Kemampuan menggerakkan lengan robotik sesuai perintah otak tersebut hasil penelitian dan pengembangan tim peneliti dari California Institute of Technology (Caltech), Keck Medicine of University of Southern California (USC), dan Rancho Los Amigos Rehabilitation Center Downey California, AS.
Dalam laporan yang dipublikasi di jurnal Science, 22 Mei 2015, Richard Andersen, Guru Besar Neurosains di California Institute of Technology, yang juga salah satu anggota tim peneliti yang mengembangkan alat bantu robotik itu, menerangkan, robot lengan Sorto bergantung pada sinyal yang dikirim dari cip khusus yang ditanam pada posterior parietal korteks (PPC), bagian dari otak yang mengendalikan niat dan aktivitas.
Dalam uji klinis, tim bersama para ilmuwan dari Caltech menanamkan dua lapisan elektroda kecil (4 milimeter x 4 milimeter) pada posterior parietal korteks di otak Sorto. Setiap lapisan terdiri atas 96 elektroda aktif yang masing-masing menangkap sinyal neuron.
Lapisan elektroda itu, melalui kabel khusus, terhubung komputer yang membaca sinyal neuron, yang lalu menerjemahkan niat apa yang dikehendaki untuk disalurkan ke lengan robot. Itu yang memampukan pasien seperti Sorto mengendalikan gerakan lengan robotiknya untuk melakukan apa yang dikehendaki/perintah otak.
Pada kasus Sorto, lengan robotiknya bergerak sesuai perintah dengan gerakan yang natural dan lebih mengalir. Ini berbeda jika cip hanya ditanamkan pada bagian otak yang mengatur gerakan otot. Sebab, bagian otak yang mengatur gerakan otot, mengatur banyak sekali otot sehingga sinyalnya lebih detail dan spesifik. Gerakan yang dihasilkannya menjadi lambat dan patah-patah.
“Ketika menggerakkan lengan, kita tentu tidak berpikir otot mana yang akan bergerak dan bagaimana detail gerakannya. Dalam uji coba ini, kami berhasil membaca niat dari otak dengan meminta subyek membayangkan gerakan yang diinginkan,” kata Andersen, seperti dikutip dari laman www.caltech.edu.
Kini, para ilmuwan itu berniat menanamkan alat yang sama pada sensor korteks otak pasien dengan harapan bisa menyimulasikan sensasi sentuhan pada pasien lumpuh. “Ketika menyentuh sebuah obyek, robot akan memberikan sinyal balik kepada pasien,” ujar Andersen kepada The New York Times, Kamis (21/5).
Profesor Charles Y Liu, Direktur University of Southern California Neurorestoration Center, yang juga ahli bedah saraf, mengatakan, misi utamanya adalah mengubah penemuan menjadi standar terapi bagi pasien. “Sangat jelas bahwa pendekatan yang benar-benar baru dalam menangani pasien lumpuh akibat penyakit dan cedera saraf sangat diperlukan. Robot dan komputer dengan kendali otak langsung berpeluang mengubah hidup orang banyak,” kata Liu.
Kasus-kasus lain
BBC melaporkan, memanfaatkan kemampuan otak yang sehat untuk mengatasi organ tubuh yang tidak berfungsi berkembang pesat, terutama di Amerika Serikat. Sebelum Sorto, tahun 2012, Cathy Hutchinson (58) menggunakan lengan robotik untuk minum kopi pertama kali sejak ia terkena stroke 15 tahun sebelumnya.
Selain itu, pada 2014, dalam the Journal of Neural Engineering, Jan Scheuermann mampu menggenggam dan menggerakkan berbagai benda menggunakan lengan robotik layaknya lengan yang normal berkat penelitian ilmuwan dari University of Pittsburgh, AS. Bahkan, perempuan berusia 55 tahun itu mampu menerbangkan pesawat tempur F-35 dalam simulator melalui pikirannya.
Meski demikian, kemajuan teknologi yang memanfaatkan kinerja otak itu masih dalam lingkup laboratorium. Teknologi tersebut masih membutuhkan cip yang ditanamkan di otak dan kabel penghubung dari otak. Itu dinilai berisiko menimbulkan infeksi. Ke depan, ilmuwan masih ingin mengembangkan teknologi agar mampu mengontrol lebih banyak sel otak.
Peneliti lain, Andrew Pruszynski dari Western University Canada dan Jorn Diedrichsen dari Institute of Cognitive Neuroscience, University College London, berkomentar, kemajuan teknologi robot dalam 15 tahun terakhir menjadi bukti bahwa tubuh robotik dengan kendali otak atau komputer, tinggal selangkah lagi menjadi kenyataan.(ADHITYA RAMADHAN)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Mei 2015, di halaman 14 dengan judul “Pikiran yang Menggerakkan”.