Penyusutan cadangan minyak dan gas bumi mendorong pencariannya di lapisan lebih dalam perut bumi. Eksplorasi itu menemukan migas terperangkap di batuan serpih atau ”shale”, pada kedalaman 6.000 meter. Penerapan teknologi perekahan atau ”fracking” bisa mengangkat migas di batuan serpih ini.
Minyak dan gas bumi telah digunakan sejak dulu, di masa Mesir dan Tiongkok kuno. Bahkan, pemakaian gas alam atau metana dimulai lebih dulu daripada minyak yakni 600 Sebelum Masehi (SM) oleh bangsa Tiongkok.
Gas maupun gas bumi terbentuk lewat ”pemasakan” atau ”pematangan” endapan fosil pada suhu dan tekanan tinggi di lapisan bebatuan lempung. Itu berlangsung ribuan tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tempo dulu, migas yang dimanfaatkan terbatas yang ada di permukaan. Sumber energi itu merembes naik melalui celah batuan yang dipicu proses geologis atau tektonik.
Karena tereksploitasi selama ratusan hingga ribuan tahun untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, cadangan migas lambat laun tak lagi tersedia ”di atas meja”. Pencarian pun mulai mengarah ke ”dapurnya” di perut bumi, melalui pengeboran.
Pengeboran paling awal dirintis Tiongkok pada abad ke-4. Mereka mampu menembus batuan hingga kedalaman 243 meter, meski dengan alat sederhana yakni gurdi atau mata bor yang ditempelkan di ujung bambu sambung-menyambung, berfungsi sebagai pipa. Penambangannya memakai tali dan diangkat secara manual atau menggunakan tenaga hewan ternak.
Penemuan mesin uap pada pertengahan abad ke-19 mengubah cara pengeboran migas. Sistem bor bertenaga mesin dikenalkan pertama kali oleh insinyur Rusia FN Semyonov pada 1848. Lalu dikembangkan ke skala industri oleh Edwin L Drake pada 1859, membuka ladang migas dekat Titusville, Pennsylvania, Amerika Serikat.
Pengeboran
Teknologi pengeboran itu dibawa ke bumi Nusantara 12 tahun kemudian oleh J Reenrink asal Belanda, pada 1871. Lalu pemanfaatannya diperluas oleh Aeiko Janszoon Zijlker. Temuan minyak dalam jumlah signifikan di Langkat, Sumatera Utara, pada 15 juni 1885 jadi awal industri perminyakan Indonesia.
Dalam pencarian minyak bumi di Langkat itu, Zijlker juga menemukan sumber gas alam. Namun saat itu gas alam tak dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pemakaian gas alam baru dilakukan pada masa Kemerdekaan RI, yaitu tahun 1960-an di Sumatera Selatan dan Aceh.
Pada abad 19, era awal pengeboran bertenaga mekanik, dikenalkan pompa angguk. Pompa itu terdiri dari mesin penggerak poros piston dan tiang pengungkit yang bergerak mengangguk untuk menyedot minyak di dalam sumur. Dengan konstruksi itu, sekali anggukan dikeluarkan 5-40 liter minyak.
Pompa itu hanya mampu untuk sumur dangkal. Karena itu, belakangan digantikan dengan rig untuk mengebor sumur dalam. Rig berupa menara sebagai tiang penyangga sistem bor yang melubangi dan memasukkan pipa ke dalam sumur.
Ada beragam cara pengeboran antara lain memakai penggerak kompresor, dan memutar pipa bor dengan tenaga hidraulik atau sistem vibrasi. Untuk menembus batuan keras dipakai mata bor dari berlian (polycristalline diamond compact). Pengeborannya bisa menembus batuan keras hingga kedalaman ribuan meter. Kini, eksploitasi minyak umumnya di 5.000 meter di bawah permukaan tanah.
Migas serpih
Eksploitasi migas selama berabad lalu menguras cadangannya di kedalaman skala menengah. Jadi, perlu pengeboran lebih dalam, yakni ke lapisan batuan serpih sekitar 6.000 meter.
Lapisan itu terdiri dari batuan sedimen halus, berupa lempung yang ”menyerpih”, berlapis-lapis tipis dengan ketebalan sekitar satu milimeter. Itulah batuan serpih. Di dalamnya mengandung material organik disebut batuan induk.
Riset geologi menunjukkan, dari ”dapur” di batuan serpih itu hanya terlepas 30–40 persen migas, merembes ke lapisan batuan di atasnya. Sumber minyak itu selama ini dieksploitasi atau disedot. Sekitar 60-70 persen masih di batuan serpih, disebut minyak serpih (shale oil) dan gas serpih (shale gas). Migas serpih juga disebut migas non konvensional.
Pengeboran horizontal
Harta karun emas hitam itu kini jadi buruan. Untuk menembus batuan berbutir halus dan amat padat itu, digunakan teknologi khusus, di antaranya teknologi perekahan (fracking) berbasis tenaga hidrolik untuk menguak batuan hingga melepas migas yang terperangkap. Teknologi itu antara lain dikembangkan para peneliti di United States Geological Survey (USGS) sejak 40 tahun silam.
Mereka juga merancang sistem injeksi air dan pasir propan untuk menembus batuan bertekanan tinggi dan mengembangkan teknik pengeboran horizontal menyusuri lapisan serpih. Adapun cara konvensional memakai pengeboran vertikal.
Deposit di batuan serpih menyumbang 11 persen cadangan minyak dunia. Menurut Badan Informasi Energi AS, cadangan minyak serpih dari 41 negara 345 miliar barrel, di antaranya dari AS 58 miliar barrel pada 2013. Adapun cadangan gas serpih global pada 2013 naik dari 7.299 triliun kaki kubik (TCF). Produksi gas serpih diprediksi naik hingga 12 persen total suplai dunia menjelang 2035, setara 14 juta barrel minyak per hari.
Potensi di Indonesia
Potensi gas serpih di Indonesia menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 574 TCF, lebih besar dibandingkan dengan gas bumi 334,5 TCF. Potensi itu terpendam di 7 cekungan, yaitu Baong, Telisa, dan Gumai di Sumatera, sedangkan di Jawa dan Kalimantan masing-masing 2 cekungan. Riset gas serpih pun dilakukan di Sulawesi dan Papua.
Penemuan sumber energi itu mendorong pemerintah untuk mempercepat pengembangan Migas Non Konvensional sesuai visi dan misi Kementerian ESDM 2015-2019. Itu untuk memperkuat ketahanan energi nasional, menurunkan harga bahan bakar minyak, dan menekan emisi gas karbon.
”Jika potensi itu dikembangkan di Indonesia, dapat memenuhi kebutuhan energi domestik, bahkan dapat kembali menjadi pengekspor migas pada masa mendatang,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hulu Migas Kementerian ESDM saat itu, Naryanto Wagimin, Januari lalu.
Sejak 2013, Pertamina melakukan studi geologi dan geofisika pencarian sumber gas serpih di Langkat, Sumatera Utara. ”Untuk eksplorasi pengeboran, perlu studi kelayakan teknik perekahan yang tepat untuk batuan di Indonesia karena usia batuan lebih muda sehingga sulit dipecahkan, dibandingkan batuan di AS, misalnya,” ujar Djedi S Widarto, Chief New Energy & Green Technology di Pusat Teknologi Hulu Pertamina.
Penelitian gas serpih di Indonesia juga dilakukan Lembaga Migas, dan sejumlah perguruan tinggi di antaranya Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Trisakti. Pihak swasta nasional yang terlibat antara lain PT Sugico, PT Ephindo, PT Medco Energy, dan PT Bukit Energy. Selain itu, ada Corelab lembaga riset asing.
Menurut pakar geofisika yang juga mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Rovicky Dwi Putrohari, riset batuan serpih di Indonesia relatif singkat dan hasilnya minim dibandingkan riset di negara maju. Karena itu, perlu keterbukaan data dan dukungan dana dari pemerintah dan semua pihak terkait.
Oleh: YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 4 Februari 2015
Posted from WordPress for Android