Penemuan ekor pesawat AirAsia QZ 8501 di dasar perairan Selat Karimata memunculkan harapan penemuan kotak hitam penyimpan data penerbangan yang sangat dicari. Saat ini, fokus tim SAR adalah menyelam dan mengupayakan pengangkatan puing, salah satunya menggunakan balon pengapung.
Sebelum mengangkat bagian ekor pesawat yang diperkirakan memiliki berat 20 ton itu, tim penyelam perlu menyurvei kondisi puing untuk menetapkan penempatan rangkaian kawat pengait dan kantong gas pengangkat. Sejak tim penyelam TNI Angkatan Laut menemukan bagian ekor, survei lanjutan itu selalu terkendala arus laut dan kekeruhan air.
Menurut Erwin Widodo, anggota tim operasi pengangkatan puing AirAsia yang juga anggota Maritime Highlight Group di Batam, paling tidak ada tiga skenario pengangkatan: menggunakan balon udara (lift bag), lengan pengangkat dari kapal (crane), dan kombinasi keduanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemasangan balon juga ada dua alternatif, yaitu menggunakan kawat pengait pada balon yang dipasang di luar puing atau menempatkannya di dalam badan pesawat.
Balon itu terdiri atas paduan bahan terpal, karet, dan kawat penguat di dalamnya. Balon juga terdiri atas beberapa ukuran, yang mampu mengangkat beban dari beberapa ratus kilogram hingga 2.000 ton.
Untuk mengangkat pesawat atau kapal karam, penyelam akan memasangkan pengait pada bagian-bagian yang ditentukan. Jika telah terpasang dan cukup kuat ikatannya, barulah dilakukan pengisian gas dengan menjulurkan pipa karet untuk memasukkan gas.
Gas yang dipompa oleh mesin dari kapal telah ditetapkan tekanannya untuk tiap balon terpasang. Balon-balon itu harus memberi efek keseimbangan saat mengangkat ke permukaan.
Sebelum ditarik ke darat oleh kapal, bagian puing pesawat itu akan ditempatkan di tongkang atau ponton. Proses itu sangat ditentukan oleh kondisi gelombang laut.
Sementara itu, penggunaan crane di kapal menjadi alternatif lain jika kondisi perairan relatif tenang dan jarak pandang di bawah permukaan tidak buruk. ”Selain itu, badan pesawat tidak tertimbun lumpur,” kata Erwin. Jika kondisi lingkungan baik, pengangkatan dengan crane hanya memakan waktu setengah hari.
Pengangkatan dengan crane, menurut Kepala Seksi Program Baruna Jaya Balai Teknologi Survei Laut BPPT M Ilyas, juga dapat dilakukan dengan Baruna Jaya I. Namun, kemampuan pengangkatannya terbatas, berkisar 3 ton-7 ton. Kawat dari crane dapat dijulurkan hingga sedalam 50 meter. Crane juga digunakan untuk menurunkan perahu karet dari geladak.
Portal crane berada pada bagian belakang kapal. Rangka crane itu berbentuk A yang dapat direntangkan ke belakang kapal dan diangkat ke depan, bertumpu pada engsel di kanan-kiri. Pada sisi kanan kapal ada tiga portal tegak (gantry) yang digunakan untuk menurunkan alat pengukur parameter laut.
Faktor penting
Proses pengangkatan, ujar Erwin, pada umumnya sangat tergantung kemampuan dan keselamatan penyelaman. Jika arus kuat dan air keruh, penyelaman tidak dapat dipaksakan. Dalam hal ini, keselamatan penyelam paling utama.
Sejauh ini, operasi manual memasang pengait dan menentukan posisi pengait belum dapat tergantikan dengan peralatan lain. Penggunaan robot dan sistem sonar belum memungkinkan menggantikan tenaga manusia. ”Karena tingkat akurasi masih relatif rendah,” kata Erwin, yang telah terlibat dalam operasi pengangkatan kapal karam sejak 10 tahun lalu.
Menurut dia, pengangkatan puing pesawat relatif lebih mudah karena lebih ringan dibandingkan dengan mengangkat kapal yang memiliki berat ribuan ton. Keputusan pengangkatan obyek tenggelam itu tergantung pada pemilik pesawat dan pemerintah. Puing dapat diinvestigasi untuk mengetahui penyebab kecelakaan demi perbaikan struktur pesawat versi berikutnya.
Secara keseluruhan, prioritas proses pengangkatan adalah menemukan jenazah penumpang dan kotak hitam.
Oleh: YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 10 Januari 2015