Agustus 2015, Perusahaan Sawit Wajib Ubah Limbah Jadi Listrik
Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis (18/6), mengingatkan agar pemanfaatan teknologi ditingkatkan bagi pemenuhan energi. Berada di daerah tropis dan di jalur cincin api, Indonesia punya berbagai pilihan sumber energi baru dan terbarukan yang belum dioptimalkan.
“Sumber energi tidak harus dari dalam Bumi (bahan bakar fosil). Ada sinar matahari dan angin serta dari dalam Bumi, geotermal,” kata Jusuf Kalla pada sambutan pembukaan Pekan Lingkungan dan Kehutanan 2015 di Jakarta Convention Center, Jakarta, kemarin.
Selain memanfaatkan variasi energi yang melimpah di Indonesia, mantan Ketua Umum Palang Merah Indonesia itu mengingatkan agar masyarakat bijak dan efektif dalam memanfaatkan listrik. Kalla mencontohkan sejarah otomotif yang hingga kini konsumen cenderung memilih kendaraan irit bahan bakar seiring peningkatan harga minyak dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait pembangkit listrik di Indonesia, yang 52,8 persen di antaranya masih bergantung pada batubara, ia mengakuinya sebagai sumber energi kotor. “Kami tahu semua batubara sumber energi yang sangat kotor jika diproses tidak benar. Di sini teknologi dibutuhkan,” kata Kalla.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, meski pembangkit listrik tenaga uap dan pembangkit listrik tenaga diesel diklaim berbiaya murah, operasionalnya masih harus direpotkan kewajiban memenuhi baku mutu emisi dan air limbah serta pengelolaan limbah padat. Limbah berupa abu (fly ash dan bottom ash) dari instalasi pengolahan air limbah termasuk kategori limbah khusus atau limbah bahan berbahaya beracun.
Limbah cair sawit
Setelah seminar “Pemanfaatan Limbah Agro Industri sebagai Sumber Energi”, dalam rangkaian Pekan Lingkungan dan Kehutanan 2015, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK MR Karliansyah mengatakan, pihaknya sedang menyiapkan perangkat kewajiban bagi pabrik kelapa sawit untuk mengolah limbah cairnya menjadi sumber energi listrik. Namun, tantangannya, investor membutuhkan tarif kompetitif dan dukungan kesiapan jaringan listrik PLN ke konsumen.
“Paling tidak, Agustus tahun ini sudah keluar aturan itu (yang mulai mengharuskan pengolahan limbah cair pengolahan sawit menjadi listrik),” katanya.
Pengunjung pameran Pekan Lingkungan dan Kehutanan mengambil bibit pohon buah yang dibagikan gratis salah satu peserta pameran di Jakarta Convention Center, Kamis (18/6). Pameran menampilkan aktivitas pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan sejumlah instansi pemerintah dan perusahaan swasta.—KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Kewajiban pengolahan, lanjut Karliansyah, demi mencapai target pemerintah dalam perbaikan lingkungan dan penurunan emisi gas rumah kaca. Dalam RPJMN 2015-2019, indeks kualitas lingkungan hidup ditargetkan naik 66.5-68 persen serta emisi gas rumah kaca turun 26 persen.
Udin Hasanudin, pakar teknologi industri pertanian Universitas Lampung, mengatakan, limbah cair pengolahan sawit mengandung chemical oxygen demand rata-rata 50.000 miligram per liter yang berpotensi menimbulkan pencemaran. Selain itu, limbah yang diolah jadi kompos masih mengemisi 200 kilogram e-CO2 per ton tandan buah segar. Proses itu membuang metana yang berpotensi dipanen jadi biogas/sumber energi listrik.
Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulya mengatakan, penyesuaian harga jual segera dilakukan. Penyesuaian bukan hanya pada bioenergi, termasuk limbah sawit, melainkan juga sumber energi baru dan terbarukan lain.
“Tarif dalam sen dollar AS, tetapi transaksi tetap dalam rupiah untuk menghindari fragile rupiah terhadap dollar,” katanya. Itu berdasarkan pengalaman penetapan tarif pembelian listrik oleh PLN tahun 2014 yang menggunakan asumsi nilai tukar 1 dollar AS = Rp 10.500-11.000. Kini, nilainya lebih dari Rp 13.000.
Rida mengatakan, di Indonesia terdapat sekitar 850 pabrik kelapa sawit yang menghasilkan limbah cair. Dengan kapasitas produksi rata-rata 30-45 ton per jam tandan buah segar menghasilkan tenaga listrik sebesar 3.000 MW dari PLT biomassa dan 1.000 MW dari PLT biogas.
Dengan tarif kompetitif, itu menjadi potensi bisnis energi yang dimanfaatkan untuk mengaliri listrik di permukiman sekitar pabrik kelapa sawit atau perkebunan. “Pengolahan limbah jangan hanya untuk memenuhi baku mutu, tetapi juga untuk memperoleh pendapatan,” kata Udin.(ICH/B02)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Juni 2015, di halaman 13 dengan judul “Teknologi bagi Energi”.