Tantangan Mengamati Hilal

- Editor

Sabtu, 4 Mei 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ramadhan 1440 Hijriah diperkirakan akan dijalani umat Islam Indonesia secara bersama, antara 6 Mei – 4 Juni 2019. Kebersamaan itu diharapkan jadi penyejuk situasi masyarakat yang menghangat pascapemilu.

Ketetapan 1 Ramadhan 1440 Hijriah baru akan diputuskan dalam sidang isbat Kementerian Agama (Kemenag) pada Minggu (5/5/2019). Namun dari data posisi Bulan, kemungkinan besar puasa akan dimulai Senin (6/5/2019). Perkiraan itu juga sesuai dengan kalender hijriah yang dibuat sejumlah organisasi massa Islam dan pemerintah.

Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofiiska (BMKG) menyebut ijtimak atau kesegarisan antara Matahari-Bulan-Bumi yang jadi tanda dimulainya fase Bulan baru (new moon) akan terjadi pada Minggu (5/5/2019) pukul 05.45 WIB.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Itu berarti saat Matahari terbenam pada Minggu petang, ketinggian Bulan di seluruh Indonesia antara 4,52 derajat-5,75 derajat dan umurnya antara 9,72 jam-13,01 jam. Sementara besaran sudut elongasi atau jarak sudut antara Matahari-Bulan berkisar antara 5,67 derajat-6,98 derajat.

Dengan kriteria imkannur rukyat atau kemungkinan terlihatnya hilal yang diacu saat ini, yaitu minimal ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat dan umur 8 jam, maka hilal berpeluang besar bisa diamati di seluruh Indonesia, Minggu petang. Karena itu, jika ada kesaksian melihat hilal baik dengan mata telanjang atau bantuan teleskop, ada fotonya atau tidak, kesaksian itu akan diterima.

Dengan demikian, Syakban 1440 H akan berumur 29 hari dan 1 Ramadhan kemungkinan akan dimulai Senin (6/5/2019).

Sementara hilal Syawal 1440, ijtimak diperkirakan terjadi Senin, 3 Juni 2019 pukul 17.01 WIB. Saat Matahari terbenam hari itu, ketinggian Bulan masih terlalu rendah. Di Indonesia tengah dan timur, Bulan pun terbenam lebih dulu di banding Matahari. Karena itu, Ramadhan akan digenapkan 30 hari dan 1 Syawal 1440 diprediksi jatuh pada Rabu, 5 Juni 2019.

Posisi Bulan itu membuat awal dan akhir Ramadhan tahun ini diperkirakan akan dirayakan seluruh umat Islam Indonesia secara bersama. Perbedaan awal Ramadhan dan Lebaran yang menjadi soal sensitif, diprediksi tidak akan terjadi tahun ini.

“Semoga kebersamaan ini bisa jadi penyejuk di masyarakat, merayakan Ramadhan dengan penuh kedamaian, kegembiraan, dan saling memaafkan,” kata anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama yang juga dosen Astronomi, Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, Jumat (3/5/2019).

KOMPAS/SITA NURAZMI MAKHRUFAH–Anggota laboratorium Falak Ruhani Al Hikam Jakarta menunggu hilal di Masjid Raya KH Hasyim Asy’ari, Jakarta Barat Kamis (14/6/2018)

Sains hilal
Meski hilal Ramadhan kemungkina besar bisa diamati Minggu (5/5/2019) petang, mengamati hilal bukanlah persoalan mudah. Kondisi alam, cuaca, peralatan hingga pengalaman pengamat amat menentukan keberhasilan melihat hilal.

Rintangan awal terbesar mengamati hilal adalah awan. Sebagai negara tropis yang dikelilingi lautan, uap air di Indonesia sangat tinggi hingga awan mudah terbentuk. Di sekitar ufuk atau horison, awan juga seringkali terbentuk saat senja. Padahal, disitulah pengamatan hilal harus dilakukan.

Karena itu, “Pemilihan lokasi pengamatan hilal menjadi kunci,” kata Peneliti Astronomi dan Astrofisika BMKG Rukman Nugraha. Selama ini, hilal banyak di amati di pantai karena dianggap memiliki medan pandang ke arah ufuk yang lebih bebas dibandingkan pengamatan di pegunungan atau gedung tinggi.

Dari pengalaman BMKG mengamati hilal tiap bulan (month) di 20 lokasi se-Indonesia sepanjang tahun, citra hilal terbanyak diperoleh dari wilayah Indonesia tengah, baik di Sulawesi maupun Nusa Tenggara Timur. Wilayah itu memiliki tutupan awan lebih jarang dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Selain lokasi pengamatan, konfigurasi antara Matahari dan Bulan jadi kondisi alamiah yang penuh tantangan. Hilal adalah bulan sabit tipis yang terlihat pertama kali setelah ijtimak setelah Matahari terbenam. Dari batasan itu, rentang waktu terlihatnya hilal, dari Matahari terbenam hingga Bulan terbenam, sangat sempit.

Untuk Ramadhan 1440 H di Indonesia kali ini, rentang waktu terihatnya hilal antara 22-28 menit. Itupun tidak berarti semua rentang waktu itu hilal bisa teramati. Sekitar 10 menit pertama, cahaya senja masih akan sangat kuat yang mengurangi peluang terlihatnya hilal. Sedangkan 10 menit terakhir, hilal akan makin redup karena hampir terbenam.

“Realitasnya, hanya 10 menit waktu tersisa untuk mengamati hilal dengan baik,” kata Rukman.

Di sisi lain, atmosfer akan melemahkan cahaya apapun saat berada di dekat horison. Matahari yang saat di atas kepala terlarang untuk diamati secara langsung, seringkali bisa diamati dengan nyaman saat di dekat horison. Pelemahan itu pun berlaku untuk cahaya hilal yang memang sudah lemah.

Lemahnya cahaya hilal itu terjadi saat cahaya langit senja masih kuat. Cahaya senja yang merah itu akan makin kuat jika langit penuh debu dan uap air. Kondisi itu membuat kontras antara hilal dan cahaya latar belakang sangat kecil.

Hilal akan tampak seperti benang cahaya tipis. Untuk hilal Ramadhan kali ini, bila dibandingkan dengan saat purnama, bagian Bulan yang bercahaya itu hanya 0,25-0,37 persen. Karena itu, jika pengamat tak awas, maka hilalpun tidak akan teramati. Selain itu, penglihatan pengamat juga bisa tersamarkan oleh cahaya benda lain yang disangka hilal.

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL–Citra hilal 1 Zulhijah 1439 Hijriah yang diperoleh tim dari Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Pasuruan, Jawa Timur pada Minggu (12/8/2018) pukul 17.40 WIB.

Benda langit yang bisa mengaburkan kesaksian pengamat yang tak profesional itu bisa berupa obyek langit lain di sekitar Matahari, seperti planet atau komet, pantulan sinar Matahari di awan hingga sinar lampu suar.

“Persoalan kontras dan pelemahan cahaya hilal oleh atmosfer membuat cahaya hilal yang sudah lemah itu hanya 37-40 persennya yang bisa diamati dalam panjang gelombang visual,” kata Moedji.

Berbagai kendala itu, lanjut Rukman, bisa diatasi dengan bantuan teleskop yang dilengkapi sistem pengarah (pointing) dan penjejak (tracking) obyek langit yang baik. “Penggunaan teleskop akan meningkatkan kontras antara cahaya hilal dengan cahaya langit senja hingga hilal lebih mudah diamati,” katanya.

Kini, teleskop pengamatan hilal pun kerap dilengkapi dengan detektor atau alat perekam CCD (charge-coupled device) hingga hilal yang diamati bisa ditunjukkan pada orang lain. Cara ini akan meningkatkan kualitas kesaksian pengamat hilal hingga bisa dibuktikan secara ilmiah.

KOMPAS–Pengamatan Hilal – Badan Hisab Rukyat Kanwil Kementerian Agama DI Yogyakarta menggelar pengamatan hilal di Pusat Observasi Bulan Bukit Bela-belu, Desa Parangtritis, Kretek, Bantul, DI Yogyakarta. Kamis (1/9). Hilal tidak tampak dari lokasi pengamatan itu. Pengamatan tersebut menjadi salah satu acuan penentu awal Zulhijjah 1437 Hijriah atau Hari Raya Idul Adha mendatang.Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA)01-09-2016

Meski demikian, lanjut Moedji, penggunaan teknologi pun seringkali belum cukup membantu pengamat profesional untuk mengamati hilal. Batasan tinggi Bulan minimal 2 derajat, elongasi 3 derajat dan umur Bulan 8 jam pun sebenarnya masih diperdebatkan di kalangan astronom karena dianggap tidak didasari atas bukti-bukti ilmiah yang kuat.

“Meski tinggi, elongasi dan umur hilal Ramadhan ini cukup tinggi dibanding batas minimum yang disyaratkat, hilal tetap relatif sulit diamati,” katanya.

Karena itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional bersama astronom dan ahli falak Indonesia pernah mengusulkan kriteria minimum baru penampakan hilal. Kriteria baru itu disebut Rekomendasi Jakarta 2017 karena dirumuskan dalam Seminar Internasional Fikih Falak di Jakarta pada 2017.

Namun, kriteria baru itu belum diadopsi pemerintah. Situasi itulah yang membuat pengembangan sains dan teknik pengamatan hilal perlu terus dilakukan di Indonesia. Dengan demikian, penentuan awal bulan hijriah ke depan bisa benar-benar didasarkan atas bukti ilmiah yang kuat.

Oleh M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 4 Mei 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB