Perbankan di Uni Eropa telah menutup 9.100 kantor cabang dan memangkas sekitar 50.000 orang staf pada 2016. Hal ini terjadi sejalan dengan meningkatnya penggunaan layanan perbankan daring (online) oleh nasabah. Secara keseluruhan sudah ada 48.000 kantor cabang yang ditutup di Uni Eropa selama kurun 2008-2016. Pengurangan ini mencapai seperlima dari jumlah kantor cabang yang ada (Kompas.com, 13/9/2017). Inilah tantangan sejati bagi bank: disrupsi teknologi.
Apa itu disrupsi teknologi (disruptive technology)? Disrupsi teknologi merupakan sesuatu yang menggeser teknologi yang telah mapan dan menggoyang industri atau produk yang kemudian melahirkan industri baru (Prof Clayton M Christensen, 1997). Berikut beberapa contoh disrupsi teknologi. Personal computer (PC) telah menggeser mesin tik. Surat elektronik telah menggantikan menulis surat dan mengganggu bisnis kantor pos dan industri kartu ucapan. Telepon seluler telah menggantikan industri telepon tetap dan laptop menggantikan PC. Pun telepon pintar telah menggeser kamera saku, pemutar MP3, dan kalkulator. Jaringan media sosial telah menggeser telepon, surat-el, dan pesan singkat (SMS).
Di Indonesia telah lahir bank nirkantor (branchless banking). Bank nirkantor atau Layanan Keuangan Tanpa Kantor (Laku Pandai) merupakan kegiatan jasa layanan perbankan dan jasa keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor lembaga keuangan secara fisik. Laku Pandai memanfaatkan teknologi dan pihak ketiga yang bekerja sama dengan bank terutama untuk melayani unbanked dan unbankable people. Nasabah cukup mempunyai nomor telepon seluler bukan rekening bank untuk menerima kiriman uang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak terbayangkan sebelumnya, kini muncul perusahaan teknologi finansial (tekfin). Cara mereka dalam memberikan kredit kepada debitor begitu berbeda dari praktik perbankan konvensional. Misalnya, tanpa agunan, tanpa tatap muka antara kreditor atau investor dan debitor, lebih cepat, dan mudah. Begitu pula dalam menggali dana masyarakat yang disebut investor.
Faktor kunci keberhasilan
Lantas, apa saja faktor kunci keberhasilan (key success factors) bagi bank agar mampu menghadapi disrupsi teknologi?
Pertama, bank harus berani berdamai dengan tantangan disrupsi teknologi seperti munculnya perusahaan tekfin yang terus melaju. Bank berani berdamai berarti bank harus berbenah diri dengan aneka jurus. Katakanlah, bank wajib meningkatkan anggaran teknologi untuk mengembangkan sayap bisnis berbasis teknologi sehingga mampu bersaing dengan perusahaan tekfin. Bank dapat menjalin kerja sama dengan perusahaan tekfin untuk menggarap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kiat non-organik itu lebih efektif, efisien, dan cepat daripada membangun sendiri dari awal.
Mengapa? Karena segmen itu menjadi pasar target perusahaan tekfin dengan masuk ke pasar keuangan wong (orang) cilik. Meskipun dipandang kecil, UMKM terdiri dari 61 juta usaha sehingga sanggup menyerap 114 juta tenaga kerja. Selain itu, UMKM mengandung margin yang mahatebal sehingga menjadi mesin penghasil pendapatan dari bunga (interest income) yang gurih habis.
Terlebih ketika kelak pemerintah menurunkan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 9 persen menjadi 7 persen. KUR ditujukan kepada pelaku UMKM dengan plafon kredit di atas Rp 10 juta hingga Rp 25 juta (mikro) dan hingga Rp 500 juta (KUR ritel) melalui bank pelaksana yang telah ditetapkan pemerintah. Penurunan itu bertujuan final supaya UMKM makin terjangkau oleh kredit perbankan. Untuk plafon kredit hingga Rp 10 juta, telah tersedia ultra mikro (UMI) dengan suku bunga kredit sebesar 2-4 persen, dan ini amat rendah.
Akan tetapi, cepat atau lambat, KUR dan UMI akan menggerus rezeki Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sebab, suku bunga kredit BPR jauh lebih tinggi, padahal segmen mikro menjadi bisnis inti mereka. Liriklah suku bunga kredit BPR untuk modal kerja 27,48 persen, investasi 24,56 persen, dan konsumsi 25,27 persen per Juli 2017. Mestinya pemerintah mempertimbangkan pula kelestarian bisnis 1.617 BPR yang telah membangun ekonomi rakyat.
Selama ini, segmen UMKM telah menyelamatkan ekonomi ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-1998 dengan tetap bertahan dengan perkasa. Mimpinya, UMKM dan UMI dapat menjadi sokoguru ekonomi rakyat untuk mendukung perekonomian nasional.
Kedua, bank pun harus berani berubah seturut dengan sifat teknologi yang terus berubah. Jangan lupa disrupsi teknologi juga (akan) mengubah bukan hanya sektor jasa keuangan seperti perbankan, perusahaan pembiayaan (multifinance), perasuransian, pegadaian, pasar modal, melainkan juga sektor lainnya, seperti sektor ritel, pendidikan, kesehatan, manufaktur, pertanian, dan transportasi.
Akibatnya, bank harus segera menata diri untuk melakukan antisipasi lini bisnis apa saja yang bakal terkena disrupsi teknologi. Paling rawan terkena disrupsi teknologi adalah pegawai yang langsung berkaitan dengan layanan produk dan jasa perbankan di kantor cabang. Kok bisa? Karena fungsi layanan nasabah (front office) itu sangat mudah tergeser dengan pemanfaatan teknologi. Itulah sebabnya banyak kantor cabang kecil (secara fisik) terpaksa ditutup demi efisiensi.
Tingkat efisiensi perbankan tampak terang benderang pada rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang menurun (membaik) dari 81,37 persen per Juli 2016 menjadi 78,85 persen per Juli 2017 di tengah ambang batas 70-80 persen. Hal itu menyiratkan bank telah efisien, tetapi masih jauh jika dibandingkan dengan BOPO bank di ASEAN 40-60 persen. Artinya, bank wajib terus mengerek tingkat efisiensi supaya lebih mampu bersaing.
Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menetapkan BOPO menjadi 60-70 persen pada semester I-2018 dan 50-60 persen pada semester II-2018. Hal itu sebagai langkah antisipasi bagi bank dalam menepis serbuan bank asing yang terus merangsek Indonesia.
Ketiga, salah satu kiat jitu untuk menaikkan tingkat efisiensi adalah berinovasi dengan memanfaatkan teknologi. Efisiensi merupakan kunci sukses menjadi pemenang dalam persaingan yang semakin sengit.
Inovasi berbasis teknologi pun menjadi kunci kelestarian bisnis. Apa manfaat teknologi bagi perbankan? Beberapa manfaat dapat disebut, misalnya meningkatkan tingkat layanan (service level): dengan ATM, nasabah akan lebih leluasa dalam memberdayakan kekuatan finansialnya; mempercepat antaran jasa (service delivery): dengan sistem online banking, nasabah akan dengan cepat menerima transfer dari mitra bisnisnya di ujung dunia sekalipun; meningkatkan efisiensi (efficiency lever): tidak menuntut banyak personel yang berarti biaya rendah tetapi dengan hasil tinggi; meningkatkan efektivitas (effectivity lever): dengan personel sedikit tetapi efektif.
Manfaat lain, meningkatkan produktivitas pegawai (employee productivity): pegawai akan lebih cepat menyelesaikan tugas dengan menggunakan komputer; meningkatkan layanan kepada nasabah (customer service): dengan sistem online banking, nasabah dapat terlayani dengan cepat dan akurasi tinggi dan meningkatkan kemampuan penjualan (sales capabilities): dengan internet banking, phone banking, SMS banking, mobile banking, tawaran produk dan jasa serta transaksi perbankan akan lebih cepat sampai kepada nasabah.
Tengok saja BRI sebagai satu-satunya lembaga keuangan yang memiliki satelit sendiri, BRISat, sudah selayaknya menjadi bank paling efisien. Dengan satelit itu, BRI dapat memaksimalkan kapasitas produk dan jasa perbankan untuk meningkatkan kecepatan layanan sampai ke daerah yang terpencil sekalipun. Itulah inovasi.
Sayangnya, ketika Satelit Telkom 1 tidak berfungsi pada 25 Agustus 2017, ribuan ATM pun terkapar, yakni 4.700 ATM Bank BCA, 2.000 ATM Bank Mandiri, 1.500 ATM BNI, dan 300 ATM BRI. Akibatnya, ribuan nasabah merugi. Itu berarti ATM BRI masih terhubung dengan Satelit Telkom 1, padahal semestinya sudah terhubung dengan BRISat sejak diluncurkan pada 2016.
Hal itu menegaskan bahwa bank wajib meningkatkan manajemen risiko terutama risiko teknologi yang termasuk risiko operasional. Mengapa? Mengingat dalam kemajuan teknologi pasti tersembunyi risiko (inherent risk). Untuk mitigasi risiko teknologi, bank wajib melakukan audit teknologi yang dilakukan oleh pihak eksternal. Ini mutlak.
Menyikapi disrupsi
Keempat, pemerintah melalui Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan wajib untuk mengawal sektor jasa keuangan dalam menghadapi disrupsi teknologi dengan aneka aturan.
Setiap aturan wajib melindungi kepentingan konsumen, nasabah, atau investor. Anehnya, terkait dengan suku bunga kredit perusahaan tekfin, Otoritas Jasa Keuangan menyatakan hal itu tak perlu diatur. Sebab, dalam industri keuangan konvensional, mereka berada dalam posisi price maker. Sementara dalam bisnis tekfin, calon peminjam menjadi price maker, bukan price taker (tabloid Kontan, 4-10/9/2017).
Pernyataan itu dapat dianggap permisif. Padahal, terdapat perusahaan tekfin yang menawarkan suku bunga kredit terlalu tinggi. Untuk itu, suku bunga kredit perusahaan tekfin perlu diatur untuk melindungi kepentingan nasabah. Jangan sampai nasabah menjadi sapi perah.
Kelima, ketika muncul ATM pertama kali di Indonesia sekitar 30 tahun lalu, banyak prediksi mengatakan kelak tak ada lagi antrean di teller di bank. Ternyata sampai kini masih ada.
Hal itu menyiratkan bahwa budaya Eropa jauh berbeda dari budaya Indonesia. Orang Indonesia suka bertemu dengan orang lain yang berarti teller dan customer service masih diperlukan. Akhir tutur, pengurangan pegawai perbankan sebagai akibat disrupsi teknologi tak perlu terlalu ditakutkan. Namun, tetap waspada bagai mengantisipasi dampak gunung meletus. Berbekal aneka faktor kunci keberhasilan demikian, bank bakal tetap mampu menghadapi tantangan disrupsi teknologi dengan trengginas.
Paul Sutaryono, Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2017