Produk Jurnalistik Berkualitas Jadi Harapan
Kian kuatnya tren media daring semakin menggeser dominasi media cetak. Penutupan koran Sinar Harapan pada awal tahun ini memperkuat fenomena itu. Memudarnya era media cetak itu menuntut inovasi baru jurnalisme, mengingat media daring memiliki tradisi berbeda.
“Selain persoalan internal, secara bisnis (media cetak) memang sulit. Biaya cetak sangat tinggi. Biaya redaksional untuk berita yang memenuhi standar tinggi juga mahal. Secara bisnis tidak berkelanjutan sehingga harus ditutup,” kata Aristides Katoppo, salah satu pendiri koran Sinar Harapan, dalam diskusi di Jakarta, Selasa (19/1).
Sinar Harapan merupakan salah satu koran nasional yang terbit sejak 1961. Koran sore itu pernah beroplah hingga 250.000 per hari. Media lain yang tutup mulai tahun ini ialah harian berbahasa inggris, Jakarta Globe. Sebelumnya, harian Jurnal Nasional lebih dulu tutup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini, Sinar Harapan hanya terbit dalam bentuk digital. “Apakah ada harapan? Saya serahkan generasi baru,” kata Aristides.
Berbeda dengan Aristides, wartawan senior Kompas, Bre Redana, beranggapan, media cetak akan bertahan. “Jika berpikir linier, media cetak memang akan tutup. Namun, peradaban ini kenyataannya tidak hanya dilihat secara linier, bisa bersifat siklus juga. Saya percaya koran masih akan dibutuhkan oleh peradaban yang turut dibesarkan oleh tradisi media cetak,” kata Bre.
Perubahan
Peneliti dan pengajar jurnalisme, Ignatius Haryanto, mengatakan, penurunan media cetak bersifat global, bukan khas Indonesia. Media cetak besar dunia, seperti The Guardian dari Inggris, pun menghentikan edisi cetaknya dan hanya menerbitkan edisi daring. “Ada yang bilang, media cetak terakhir tahun 2043. Tetapi, saya yakin di Indonesia hingga tahun itu masih ada media cetak walaupun mungkin formatnya berubah,” katanya.
Menurut Aristides, tantangan ke depan sebenarnya bukan hanya perubahan media cetak menuju media digital. Namun, tantangan terbesar juga dihadapi dunia jurnalisme. “Apakah tradisi jurnalisme kita bisa bertahan di tengah perubahan ini?” ujarnya.
Aristides mengatakan, kebiasaan mencari informasi dan berpikir generasi muda saat ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Tradisi membaca buku cetak dan berpikir serius digantikan dengan kebiasaan membaca informasi pendek dan sepenggal-penggal, selain juga ketertarikan pada visual ketimbang tulisan. “Untuk bertahan di dunia yang penuh ketidakpastian, jurnalisme harus bertransformasi dan berinovasi,” katanya.
Bre mencontohkan pendangkalan dalam tradisi jurnalistik dengan pemberitaan kasus terorisme baru-baru ini. Media- media yang mengandalkan kecepatan, seperti televisi dan daring, memberitakan adanya ledakan bom di beberapa lokasi tanpa verifikasi. Belakangan terbukti, informasi itu keliru. Tak hanya itu, media justru memberitakan tentang sepatu polisi dan hal kecil lain ketimbang mengupas terorisme secara mendalam.
Ignatius mengatakan, secara bisnis, media daring menyisakan banyak masalah. Belum ditemukan strategi iklan untuk media daring. Secara substansi, media daring di Indonesia identik dengan kecepatan dan cenderung dangkal. “Di luar negeri, beberapa media daring sudah menunjukkan produk berkualitas dan mendalam. Ini tantangan bagi media daring,” ucapnya. (AIK)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Januari 2016, di halaman 11 dengan judul “Tantangan Baru Jurnalisme”.