Pemerintah menyatakan, risiko lingkungan dan sosial rencana pembangunan tanggul laut raksasa di Jakarta sudah diperhitungkan. Namun, sejumlah ahli menyangsikan proyek itu berguna memitigasi bencana, bahkan sebaliknya akan membawa bencana baru.
Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad, di Jakarta, Senin (6/10), mengatakan, proyek tanggul laut raksasa itu untuk mengatasi rob dan reklamasi berupa pembuatan pulau-pulau buatan. Pembangunan tanggul laut raksasa Jakarta akan dimulai 9 Oktober 2014 dengan peletakan batu pertama di depan Waduk Pluit. ”Disepakati, fase pertama dibangun tanggul laut sepanjang 32 kilometer. Selain itu, akan dibangun 17 pulau buatan (reklamasi),” katanya.
Tanggul 32 km dengan sumber dana pemerintah (Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta) itu sepanjang 8 km di antaranya diperkirakan butuh dana Rp 3,5 triliun. Sisanya tanggung jawab pihak swasta yang mendapat konsesi pembangunan 17 pulau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sudirman mengatakan, fase pertama diakomodasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta. ”Artinya, desainnya sudah diintegrasikan dengan 13 muara sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, termasuk diperhitungkan risiko lingkungan dan sosialnya. Kami memakai ahli-ahli dari Belanda,” katanya. ”Untuk fase kedua yang nilai proyeknya Rp 400 triliun hingga Rp 500 triliun masih jangka panjang. Fase ketiga masih diperdebatkan.”
Menurut Sudirman, tujuan akhir proyek itu untuk menanggulangi rob. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan lahan yang meningkat.
Reklamasi
Namun, Ketua Kelompok Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB) Muslim Muin mengingatkan, proyek itu punya risiko lingkungan sangat besar. Ia meragukan proyek itu untuk menanggulangi risiko bencana. ”Saya lihat tujuan utamanya mendapat lahan melalui reklamasi. Jangan menggunakan istilah penanggulangan bencana karena justru proyek ini bisa membawa bencana baru,” katanya.
Menurut Muslim, jika tanggul laut Belanda yang jadi acuan, kondisi alamnya sangat berbeda. ”Belanda memang menghadapi ancaman badai laut sehingga butuh tanggul raksasa. Namun, di Belanda tidak ada 13 sungai seperti Teluk Jakarta. Perlu diingat juga, Belanda harus terus memompa air laut di dalam tanggul. Bagaimana dengan biaya memompa air ini?” katanya.
Menurut Muslim, pihaknya sudah menyampaikan risiko pembangunan tanggul laut itu setahun lalu.
Pendapat senada disampaikan ahli kelautan dari Badan Pengkajian dan Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT) Widjo Kongko. Berdasarkan kajian yang dilakukan lembaganya setahun lalu, risiko penurunan kualitas air di dalam tanggul amat tinggi.
Tanggul itu juga berpotensi memperparah banjir Jakarta dan menyebabkan ketergantungan sangat tinggi terhadap pemompaan sepanjang tahun. Seperti Muslim, kata Widjo, lembaganya resmi menyampaikan masukan terkait dengan risiko pembangunan itu sejak setahun lalu. ”Sudah beberapa kali dalam diskusi bersama Menko Ekonomi dan pihak terkait, termasuk Pemprov DKI,” katanya. (AIK)
Sumber: Kompas, 7 Oktober 2014