Pembangunan tanggul laut raksasa dari Bekasi hingga Tangerang tak hanya akan menggusur belasan ribu warga nelayan. Megaproyek itu dipastikan mengancam ekosistem mangrove dan mengubah habitat alami burung-burung migran yang rutin singgah ke hutan terakhir di utara Jakarta itu.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Pekerjaan Umum, inisiator proyek itu, diminta membuka detail rancangan pembangunan. Apalagi, ekosistem mangrove berada di kawasan konservasi Suaka Marga Satwa Muara Angke yang dilindungi undang-undang.
”Kami memberi syarat harus tetap ada sirkulasi laut. Kalau tidak, kami tidak setuju (pembangunan tanggul),” kata Sonny Partono, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Sabtu (11/10), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hingga kini, Sonny belum mengetahui proyek itu apakah telah dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan atau dokumen lingkungan.
Ia juga mengatakan, di utara Jakarta terdapat Suaka Margasatwa (SM) Muara Angke seluas 25 hektar. SM Muara Angke adalah benteng terakhir penyangga kehidupan alami Jakarta. Organisasi pelestarian burung dunia, Birdlife International, mengategorikan Muara Angke daerah penting bagi burung.
Menurut Sonny, ia belum pernah dimintai masukan atas proyek senilai Rp 500 triliun yang dimulai tahun ini. Ia menegaskan, SM Muara Angke harus dipertahankan dan dilestarikan.
”Belum pernah ada (pengajuan perubahan peruntukan/fungsi hutan) dan kami tidak akan setuju. SM Muara Angke itu satu-satunya daerah (hutan konservasi) di ibu kota negara. Luasnya tinggal sedikit. Kalau mau diubah dan dikurangi lagi, maaf saja. Tidak setuju,” katanya.
Pakar mangrove Institut Pertanian Bogor yang aktif di Lembaga Riset Kehutanan Internasional (CIFOR), Daniel Murdiyarso, memastikan dampak penanggulan akan sangat besar dari sisi komposisi jenis dan keberadaan mangrove secara umum. ”Jangankan tanggul raksasa, pematang tambak udang atau ikan yang tidak memperhatikan hidrologi dan keutuhan substrat (lumpur) sudah cukup untuk mematikan mangrove dalam skala besar,” ungkapnya.
Oleh karena itu, tuturnya, banyak proyek restorasi dan upacara penanaman mangrove sering gagal. Itu karena tidak memperhatikan dua hal tersebut (hidrologi dan lumpur).
Keunikan ekosistem mangrove ditandai keberadaan air payau berkadar garam tertentu dan proses pasang-surut yang diadaptasi formasi mangrove. Penanggulan memisahkan ekosistem mangrove dari laut. ”Ekosistem mangrove mungkin berubah, bahkan punah,” katanya. Ia tidak pernah mendengar presentasi tanggul laut raksasa secara formal ataupun nonformal. (ICH)
————–
Tanggul Laut Raksasa; Dokumen Lingkungan Dipertanyakan
Sejumlah pihak mempertanyakan keberadaan dokumen lingkungan proyek pembangunan tanggul laut raksasa Jakarta. Penanggung jawab proyek diminta membuka kepada publik untuk diuji dampaknya oleh masyarakat.
Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum pernah melihat studi terintegrasi pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall). ”Kurang tepat kalau melakukan tanpa kajian mendalam,” katanya di Jakarta, Jumat (10/10).
Pembangunan tanggul bagian dari Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara (NCICD) masih menyisakan banyak pertanyaan. Contohnya, kata Kuntoro, kondisi subduksi atau penurunan muka tanah di utara Jakarta serta pengaruh perubahan iklim atas kenaikan muka air laut. ”Akibat penggundulan hutan di hulu Sungai Ciliwung dan Cisadane, apa efeknya pada aliran sungai? Kalau belum bisa menjawab pertanyaan ini, apakah giant sea wall bisa menjawab persoalan utama?” katanya.
Ditanya respons UKP4 atas proyek yang telah dicanangkan pemancangan tiang pertamanya, kemarin, Kuntoro menyerahkan kepada pemerintah baru. ”UKP4 tinggal seminggu lagi. Saya tahu diri agar tidak bertanya aneh-aneh,” katanya.
Pertanyaan keberadaan dokumen lingkungan megaproyek itu juga dilayangkan Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB). ”Sampai sekarang tidak jelas apakah sudah ada atau belum dokumen lingkungan/analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) tanggul raksasa Jakarta ini,” katanya.
Secara terpisah, praktisi hukum lingkungan Andy I Nababan mempertanyakan pemancangan tiang baja Kamis lalu. Ia menilai itu bagian proyek pembangunan, bukan sebatas pencanangan.
”Apa groundbreaking sudah ada izinnya? Dari mana? Izin tak bisa keluar kalau tak ada amdal/ dokumen lingkungan. Bagaimana bisa dokumen lingkungan terbit kalau RTRW dan KLHS belum ada,” kata Andy, yang pernah mendampingi KLH terkait proses hukum reklamasi pantai utara Jakarta.
Tidak rasional
Ahli kelautan Institut Teknologi Bandung, Muslim Muin, menilai megaproyek tersebut lebih pada keputusan politis, bukan teknis. ”Secara teknis proyek ini tidak masuk akal. Padahal, biayanya sangat besar, termasuk operasional yang harus ditanggung negara setiap tahunnya. Belum lagi bicara dampak,” katanya.
Pembuatan tanggul laut, menurut Muslim, lebih untuk melindungi 17 pulau reklamasi, bukan melindungi Kota Jakarta. Itulah sebabnya, swasta yang mendapat konsesi pembangunan pulau-pulau reklamasi itu bersedia membangun tanggul pesisir tahap I.
Sebelumnya, peneliti pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo Kongko meminta agar naskah akademis tanggul raksasa dibuka kepada publik dengan mengundang banyak ahli (Kompas, 9/10). (ICH/AIK)
Sumber: Kompas, 13 Oktober 2014