”Kupandang langit penuh bintang bertaburan. Berkelap-kelip seumpama intan berlian. Tampak sebuah lebih terang cahayanya. Itulah bintangku bintang kejora yang indah selalu.” Lirik lagu ini menggambarkan planet Venus.
KOMPAS/ESO—Ilustrasi gambaran permukaan Venus yang terlindungi oleh atmosfer tebal. Keberadaan asam sulfat di planet itu memungkinkan terjadinya petir.
Kupandang langit penuh bintang bertaburan
Berkelap-kelip seumpama intan berlian
Tampak sebuah lebih terang cahayanya
Itulah bintangku bintang kejora yang indah selalu
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anak-anak Indonesia tentu akrab dengan lagu ”Bintang Kejora” ciptaan AT Mahmud tersebut. Selasa (15/9/2020) subuh, sang bintang Kejora itu terlihat di ufuk timur. Cahayanya yang sangat terang dan kemunculannya yang selalu menyertai Matahari membuat benda ini mudah dikenali.
Meski masyarakat Nusantara menyebutnya bintang, seperti Lintang Panjer Isuk atau Lintang Panjer Sore (Jawa) atau Bintoeng Bawi (Bugis), bintang Kejora sejatinya adalah planet Venus. Di masa lalu, semua benda terang di langit di sebut bintang, belum ada pembedaan antara bintang, planet, meteor, atau komet seperti dalam astronomi modern.
Sebagai planet yang jaraknya ke Matahari lebih dekat dari Bumi, Venus hanya akan terlihat sesaat sebelum Matahari terbit atau sesudah terbenam. Posisinya pun hanya berada di sekitar horizon. Planet ini tidak akan pernah terlihat tinggi di atas kepala atau terlihat saat tengah malam.
KOMPAS/STELLARIUM—Posisi planet Venus dilihat dari Jakarta pada Senin (27/4/2020) pukul 18.30 WIB. Venus terlihat di bawah arah barat-barat laut. Di atas Venus terlihat Bulan dan sebelah kiri atasnya ada rasi Orion alias Lintang Waluku.
Selama beberapa dekade terakhir, astronom berharap menemukan adanya kehidupan di planet terdekat dari Bumi tersebut. Namun, kondisi Venus yang ekstrem membuat planet ini tidak berada dalam urutan atas daftar tempat-tempat di tata surya yang bisa menopang kehidupan Bumi.
Meski dianggap sebagai kembaran Bumi karena ukuran, massa, dan proses geologi yang mirip, kehidupan di Venus sering dianggap bagaikan neraka. Dengan 96 persen atmosfernya terdiri atas karbon dioksida, suhu rata-rata permukaannya 464 derajat celsius, dan tekanan di permukaan mencapai 90 kali permukaan Bumi, banyak ahli pesimistis ada kehidupan di sana.
Namun, studi Jane S Greaves dari Universitas Cardiff, Inggris, dan rekan yang dipublikasikan di jurnal Nature Astronomy, Senin (14/9/2020), menemukan adanya gas fosfin di atmosfer Venus. Gas ini ditemukan pada ketinggian 50-60 kilometer di atas permukaan Venus. Di bagian ini, suhunya telah turun hingga mencapai 20-30 derajat celsius.
Fosfin adalah senyawa kimia yang tersusun atas satu atom fosfor dan tiga atom hidrogen. Keberadaan senyawa ini sering dijadikan tanda adanya kehidupan di planet atau satelit lain di tata surya.
Keberadaan fosfin di Venus itu pertama kali terdeteksi oleh tim peneliti menggunakan teleskop radio James Clerk Maxwell Telescope di Hawaii, Amerika Serikat, pada Juni 2017. Untuk mengonfirmasinya, tim mengamati kembali menggunakan teleskop radio Atacama Large Millimeter/Submillimeter Array di Chile pada Maret 2019.
Hasilnya, fosfin di lapisan atmosfer Venus itu mencapai 20 bagian per miliar (ppb). Artinya, dalam 1 miliar molekul atmosfer Venus ada 20 molekul fosfin. Jumlah itu cukup besar, setara dengan fosfin yang terdeteksi di Jupiter dan Saturnus, tetapi jauh lebih besar dibandingkan yang terdeteksi di Bumi.
Seperti dikutip dari BBC, fosfin di Bumi dihasilkan oleh mikroba di usus hewan, seperti penguin, atau di lingkungan dengan oksigen terbatas, seperti rawa. Namun, senyawa ini juga bisa dihasilkan oleh industri atau proses abiotik, seperti aktivitas vulkanik, kilat, atau jatuhan meteorit.
Namun, karena tak ada pabrik dan berbagai proses abiotik, di Venus hanya mampu dihasilkan fosfin 10.000 kali lebih kecil dibandingkan yang terdeteksi. Maka, dugaan utama atas keberadaan senyawa tersebut dihasilkan oleh mikroba tertentu yang ada di Venus.
”Sejak dulu para ahli sudah menduga, kalaupun di Venus ada kehidupan, kehidupan itu tidak akan berada di permukaan Venus, tetapi di atmosfer bagian atasnya,” kata peneliti astrobiologi yang juga Guru Besar Astronomi Institut Teknologi Bandung, Taufiq Hidayat, yang tidak terlibat dalam penelitian.
KOMPAS/STELLARIUM—Planet Venus atau bintang Kejora dari langit Jakarta yang terlihat pada 4 Mei 2019 sekitar pukul 05.00.
Sekadar tanda
Meski ditemukan adanya tanda kehidupan, para ahli mengingatkan, masih terlalu dini untuk menyimpulkan ada kehidupan di Venus. ”Penemuan ini hanya pengingat bahwa masih banyak lagi yang harus manusia pelajari tentang Venus,” kata Victoria Meadows, ahli astrobiologi di Universitas Washington, AS, seperti dikutip Space.com.
Skeptisme perlu dijaga mengingat lingkungan Venus yang ekstrem. Awan Venus sangat tebal dan 75-95 persen terdiri atas asam sulfat yang bisa menghancurkan struktur seluler organisme Bumi.
Untuk bertahan hidup dalam lingkungan tinggi asam sulfat tersebut, William Bains, ahli biokimia dari Institut Teknologi Massachusetts AS, yang terlibat dalam penelitian mengatakan, mikroba di udara Venus harus memiliki sistem biokimia yang berbeda dengan organisme Bumi. Setidaknya mereka harus memiliki semacam sistem pelindung.
”Pada prinsipnya, bentuk kehidupan di air dapat bersembunyi dalam cangkang pelindung yang keras meski diguyur asam sulfat,” katanya. Namun, bagaimana mikroba tersebut makan, bernapas, atau bertukar gas masih jadi paradoks.
Selain itu, keberadaan fosfin sebagai tanda kehidupan juga digugat para ahli. Terlebih, temuan jumlah fosfin di Venus yang 1.000 kali lebih banyak dibandingkan di Bumi juga dirasa hal yang ganjil. Matthew Pasek, ahli astrobiologi dan geokimia dari Universitas South Florida, AS, yang juga tidak terlibat dalam riset menilai, Bumi dengan segala aktivitas biologisnya seharusnya memiliki jumlah fosfin lebih besar dari Venus.
Sejumlah ahli juga mengingatkan, fosfin tidak selalu dihasilkan dari aktivitas biologi. Karena itu, pembuktian di laboratorium di Bumi perlu dilakukan untuk memperkuat hipotesis tersebut.
Karena itu, dibutuhkan lebih banyak misi ke Venus untuk mendeteksi lebih lanjut potensi adanya kehidupan di Venus. Pada dekade 1960-1990-an, berbagai misi Venera milik Uni Soviet telah banyak mengumpulkan informasi tentang Venus, termasuk memotret permukaan Venus untuk pertama kali melalui Venera 9 pada tahun 1975.
Peluang yang kecilnya mengenai adanya kehidupan di Venus membuat planet ini tidak banyak dieksplorasi selama beberapa tahun terakhir. Terakhir, misi ke Venus dilakukan oleh wahana Venus Express milik Uni Eropa yang diluncurkan pada 2005 dan Akatsuki milik Jepang yang menuju Venus pada 2010.
Kini, untuk menjawab ada tidaknya kehidupan di Venus itu akan sangat bergantung pada wahana-wahana antariksa masa depan. Seperti dikutip dari
New York Times, sejumlah proposal pengiriman wahana ke Venus saat ini masih dalam penilaian. Salah satunya diusulkan AS yang ingin mengirimkan wahana Davinci+ dan Veritas ke Venus.
”Idealnya ada wahana pendarat yang dijatuhkan kembali ke Venus. Tentu dengan teknologi yang sudah disesuaikan dengan kondisi permukaan Venus (yang ekstrem),” kata Taufiq.
Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 16 September 2020